search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Stigma Negatif Orang Tua Jadi Tantangan Esports di Indonesia
Kamis, 24 Maret 2022, 22:10 WITA Follow
image

bbn/sport.tempo.co/Stigma Negatif Orang Tua Jadi Tantangan Esports di Indonesia

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Senior Vice President UniPin Community, Debora Imanuella mengaku kalau tantangan perkembangan esports di Indonesia berasal dari kalangan orang tua. Alasannya, mereka masih memiliki stigma negatif tentang game.

"Tantangan esports di Indonesia adalah orang tua, karena stigma mereka masih negatif terkait game," kata Debora dalam konferensi pers virtual, Kamis (24/3/2022).

Ia menyebut kalau banyak orang tua menilai esports di Indonesia adalah sekadar main game. Padahal, katanya, esports tidak sesempit itu.

Untuk itulah, UniPin terus melakukan edukasi ke komunitasnya yang dikenal sebagai UNITY. Menurutnya, main game juga harus memiliki sebuah tujuan.

"Kami terus mengedukasi bahwa main game itu harus punya tujuan. Entah itu menjadi atlet, bekerja di balik layar, dan lainnya. Sebab dari game, anak-anak bisa sukses, bisa cari uang sendiri, punya jiwa kompetitif, dan lainnya," terang Debora.

Senada dengan Debora, Ajeng Raviando selaku Psikolog juga menyebut hal serupa. Menurutnya, banyak orang tua yang masih belum mengerti terkait sesuatu yang positif dari esports ataupun game yang dimainkan anaknya.

Alasan utamanya adalah kesenjangan generasi. Faktor lainnya adalah munculnya pandemi yang membuat aktivitas kini beralih ke online.

"Misal orang tua itu dari generasi X, punya anak generasi Z. Mereka kadang tidak paham apa yang anak-anaknya lakukan. Orang tua seringkali memiliki stigma negatif terkait aktivitas anaknya. Padahal selama pandemi, anak-anak beraktivitas online seperti pendidikan, belajar bersama teman-teman, semua lewat online," kata dia di sesi terpisah.

"Contohnya esports, dinilai buang-buang waktu, tidak produktif. Itu dinilai hanya dikarenakan anak-anak kita berada di depan layar gadget," sambung Ajeng.

Untuk itulah, stigma negatif terkait esports masih perlu dibenahi. Dengan demikian, aktivitas anak-anak di ranah tersebut bisa jadi sesuatu yang baik.

"Kalau orang tua tidak diedukasi esports itu apa, maka mereka akan menyimpulkan kalau esports adalah game saja. Padahal esports adalah kompetisi, analisa yang baik, kerja sama tim, melatih kemampuan strategi, dan pengambilan keputusan," jelas dia. (Sumber: Suara.com)

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami