search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Perayaan Imlek di Bali Disebut Galungan Cina
Minggu, 29 Januari 2023, 18:00 WITA Follow
image

beritabali.com/ist/Perayaan Imlek di Bali Disebut Galungan Cina

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Di Bali ketika sedang perayaan Imlek, banyak orang yang menyebutnya sebagai Galungan Cina. "Rahajeng galungan cina semoga berkelimpahan rejeki dan selalu dalam lindungan Tuhan," begitulah kiranya Ucapan yang sering disampaikan. 

Masyarakat Bali memang kerap menyebut Tahun Baru Imlek sebagai Galungan Cina seperti hari raya yang dirayakan umat Hindu di Bali setiap 6 bulan sekali yakni Galungan dan Kuningan. Lantas bagaimana asal usulnya sehingga perayaan Imlek bisa disebut Galungan Cina

Menurut Mangku IB Adnyana, Pendeta Kongco Dwipayana, kedekatan antara budaya Bali dengan Cina menjadikan keduanya berakulturasi dan saling merayakannya.

Saat perayaan Imlek, masyarakat Hindu juga ikut merayakan dengan melakukan persembahyangan. Di Kongco Dwipayana, Denpasar, misalnya, tidak hanya terdapat patung-patung dewa kepercayaan masyarakat Cina, tetapi juga pelinggih-pelinggih masyarakat Hindu.

Total ada empat bangunan utama di Kongco Dwipayana yakni bangunan khusus pemujaan dewa-dewa Cina, Gedong Sang Budha dan Dewi Kuan In, Pura untuk memuja Dewa-Dewa Hindu, dan Kolam 7 Dewi. Bahkan, juga ada stana Nyai Roro Kidul di bagian pelataran.

Umat yang datang, Hindu, Budha, maupun Konghucu, melakukan persembahyangan di setiap bangunan. Mereka tidak membatasi persembahyangan pada dewa-dewa yang mereka biasa puja sehari-hari saja. 
 
“Kita melaksanakannya secara Hindu dan juga secara Budha serta Konghucu,” katanya. 

Persembahyangan juga dilakukan dengan menghantarkan sesajen. Umat Hindu yang datang bersembahyang bahkan membawa sarana persembahyangan khusus seperti pejati dan buah-buahan. Masyarakat keturunan Cina juga melakukan hal serupa dengan membawa buah-buahan untuk dipersembahkan.

 

Setelah selesai melakukan persembahyangan, umat akan diberikan air suci seperti yang biasa dilakukan Umat Hindu. Mereka juga mendapatkan bija untuk ditaruh di kening.

Disamping itu, seperti dilansir dari Balebengong.id, warga Hindu di Bali bahkan kerap menghubungkan Galungan Cina dengan cuaca ekstrem, semacam angin ribut dan hujan deras. 

Karena hampir pada setiap perayaan Galungan Cina, angin memang berhembus sangat deras. Sebutan Galungan Cina mungkin terasa lebih akrab, lebih dekat, dan lebih bersaudara, daripada kata Imlek yang memang asing di telinga warga Bali.

Apalagi, pada zaman Orde Baru, pemerintah melarang perayaan Tahun Baru Imlek di depan umum. Pelarangan itu termaktub dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, di mana rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.

Kata Imlek takut diucapkan, setidaknya sejak tahun 1968 hingga tahun 1999. Sebutan Galungan Cina perlahan kemudian meredup. Ini terjadi terutama ketika masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan Tahun Baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut Inpres Nomor 14/1967.

Lalu kenapa Imlek disebut Galungan Cina di Bali? Ketika pertanyaan itu diajukan kepada warga di Bali, mereka akan menjawab dengan polos. Jawaban mereka antara lain karena pernik-pernik untuk merayakan Galungan juga ada dalam perayaan Imlek, seperti penjor (dari tebu), tamiang, endongan, dan sampian gantung.

Editor: Juniar

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami