Trauma Kompleks: Luka Jiwa Tak Terlihat di Balik Senyum Seorang Anak Muda
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Kisah seorang laki-laki muda berusia 20 tahun yang datang dengan keluhan sulit tidur, kelelahan, kesedihan, dan upaya bunuh diri.
Ia bekerja di restoran sebuah tempat yang ramai dan penuh interaksi namun jiwanya sepi dan terluka. Ia tidak tahu mengapa ia tidak bisa tidur. Malam-malamnya diisi kecemasan, kebingungan, dan ketakutan yang tidak bisa ia jelaskan.
Ia mencoba menenangkan diri di balkon rumah, meminum dua butir obat tidur, bahkan menenggak alkohol demi meredakan pikirannya yang kacau. Tapi rasa tenang itu tak kunjung datang.
Di balik gejala-gejala yang tampak di permukaan ada insomnia, kelelahan, kurang fokus, menarik diri, hilangnya semangat, dan keinginan mengakhiri hidup, terungkaplah sebuah cerita yang jauh lebih dalam dimana ia mengalami kekerasan seksual dari ibu kandungnya.
Trauma ini bukan hanya mengejutkan dari segi moral dan sosial, tetapi juga meninggalkan luka psikis yang amat dalam. Ia mencoba mengakhiri hidup dengan meminum panadol sebanyak tiga puluh butir dan pernah mencoba menggoreskan pisau ke lengan dengan tujuan mengakhiri hidup.
Trauma Kompleks: Luka Jiwa yang Tidak Tampak
Dalam psikiatri, peristiwa seperti ini bisa masuk dalam kategori Trauma Kompleks, yakni trauma yang terjadi berulang, bersifat interpersonal, dan berasal dari figur yang seharusnya menjadi sumber keamanan, bukan ancaman.
Ini berbeda dari trauma akut seperti kecelakaan atau bencana alam. Trauma kompleks menghantam inti kepribadian berupa rasa aman, rasa berharga, dan kepercayaan terhadap dunia dan manusia lain.
Trauma ini juga menjelaskan mengapa pasien mengalami gejala disosiasi, seperti bingung tanpa sebab, merasa tidak sadar saat berdiri di balkon, atau tidak bisa mengingat apa yang baru saja ia lakukan. Disosiasi adalah salah satu mekanisme pertahanan diri yang muncul ketika pikiran tidak sanggup memproses pengalaman traumatik secara utuh meski seringkali menambah penderitaan.
Gejala lain yang muncul adalah anhedonia (hilangnya minat pada aktivitas yang dulu menyenangkan), keletihan emosional, gangguan nafsu makan, ketidakmampuan berkonsentrasi, dan keinginan untuk mengakhiri hidup. Semua ini sangat konsisten dengan episode depresif berat, yang dalam banyak kasus terjadi bersamaan dengan Gangguan Stres Pascatrauma.
Namun pada kasus trauma kompleks kondisinya melampaui gejala klasik dari gangguan stress pasca trauma dengan penambahan gangguan emosi, identitas diri yang terfragmentasi, kesulitan relasi, dan rasa bersalah atau malu yang intens. Secara relasional, individu dengan trauma kompleks mengalami kesulitan membentuk kepercayaan, keintiman, dan regulasi emosi dalam hubungan interpersonal.
Mereka cenderung menarik diri atau malah membentuk hubungan yang disfungsi (misalnya relasi penuh ketergantungan, atau relasi yang abusive) karena melibatkan pengkhianatan terhadap hubungan paling mendasar dalam kehidupan manusia.
Duka yang Tak Diakui, Rasa Sakit yang Tak Diizinkan
Sulit membayangkan beban emosi seseorang yang bukan hanya menjadi korban kekerasan seksual, tetapi juga dari sosok ibu, figur yang secara budaya dan biologis diasosiasikan dengan kasih sayang. Dalam banyak masyarakat, termasuk Indonesia, ibu dianggap suci, tak tersentuh, dan tak mungkin bersalah.
Maka, bagaimana seseorang bisa memproses realitas ketika justru ibu adalah pelakunya? Trauma seperti ini dapat menghambat proses diri, yakni perjalanan menuju keutuhan diri. Emosi seperti marah, malu, benci, atau jijik terhadap ibu kandung bisa menjadi tabu internal, membuat si individu tidak hanya menyangkal emosinya, tetapi juga kehilangan koneksi dengan dirinya yang otentik.
Konflik ini menjadi jauh lebih kompleks ketika object of love berubah menjadi object of terror. Hal ini memicu gejala depresi yang ekstrem, di mana individu mengalami ketakutan kehilangan objek sepenuhnya, sekaligus merasa bersalah karena menyimpan kemarahan terhadap dirinya.
Rasa sakit yang muncul sering kali terjadi karena individu tidak mampu mentoleransi ambivalensi untuk mencintai dan membenci sosok yang sama dalam waktu bersamaan. Emosi-emosi yang tidak terproses ini sering kali diproyeksikan keluar, atau diarahkan ke dalam seperti dalam bentuk self-blame, self-harm, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup.
Luka yang tidak bisa diungkap menjadi semacam fantasi internal yang terus-menerus disangkal, dan justru memperparah penderitaan. Jika tidak dihadapi, bayangan ini akan terus mengganggu kesadaran dalam bentuk mimpi buruk, kecemasan tak beralasan, disosiasi, atau dorongan autodestruktif.
Namun, kita percaya bahwa dalam setiap kegelapan terdapat benih terang. Ini bukan proses mudah, karena melibatkan pembongkaran fantasi-fantasi ideal tentang cinta ibu, serta penerimaan akan agresi dan kerentanan dalam hubungan intim.
Melalui proses terapi yang memungkinkan pengakuan terhadap emosi-emosi terlarang tersebut, individu diberi kesempatan untuk berdamai dengan bayangannya, tidak dengan meniadakan masa lalu, tetapi dengan mengintegrasikannya ke dalam kesadaran diri.
Inilah jalan menuju transformasi psikospiritual dimana penderitaan menjadi bahan bakar untuk pertumbuhan dan penyembuhan. Hasilnya adalah reparasi internal berupa pemulihan terhadap rasa diri yang utuh dan tidak lagi dikoyak oleh rasa bersalah atau kebencian yang tidak terproses.
Upaya Bunuh Diri: Teriakan yang Tak Terdengar
Meminum tiga puluh butir panadol. Menggoreskan pisau ke tangan. Dalam ruang sunyi jiwa manusia, bunuh diri kerap bukanlah sekadar keinginan untuk mati, melainkan bentuk komunikasi terakhir dari penderitaan yang tak bisa diungkap dengan kata-kata.
Upaya bunuh diri dipandang sebagai teriakan yang tak terdengar, yang muncul dari konflik bawah sadar yang tidak terselesaikan, relasi objek yang rusak, serta tekanan afektif yang ditanggung secara internal. Upaya bunuh diri tidak selalu didasari keinginan untuk mati, tetapi lebih sering karena keinginan untuk mengakhiri rasa sakit yang tak tertanggungkan.
Upaya bunuh diri merupakan ekspresi ekstrem dari konflik antara dorongan kehidupan (Eros) dan dorongan kematian (Thanatos). Ketika dorongan destruktif tidak dapat diekspresikan keluar (misalnya dalam bentuk agresi terhadap pelaku kekerasan atau dunia yang menyakiti), maka agresi itu berbalik arah menyerang diri sendiri. Hal ini menjelaskan kenapa banyak korban trauma berat, termasuk korban pelecehan seksual dalam keluarga, mengalami dorongan bunuh diri tanpa mampu menjelaskan alasannya secara logis.
Dalam banyak kasus, terdapat mekanisme pertahanan diri yang kuat seperti represi, penyangkalan, dan disosiasi, yang membuat emosi dan memori menyakitkan tetap tersembunyi dalam ketidaksadaran. Namun, emosi tersebut tidak menghilang; mereka tetap bekerja di balik layar, muncul dalam bentuk depresi berat, keputusasaan, dan akhirnya keinginan untuk mengakhiri hidup. Dalam konteks ini, upaya bunuh diri menjadi simbol dari keputusasaan eksistensial, ketika dunia batin dipenuhi rasa bersalah, marah, jijik, atau kehilangan makna.
Dari Trauma Menuju Harapan
Pemulihan dari trauma seperti ini memerlukan pendekatan multidisipliner dan jangka panjang. Psikoterapi berbasis trauma, seperti Trauma-Focused Cognitive Behavioral Therapy (TF-CBT), atau Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) terbukti efektif dalam membantu korban mengatasi ingatan traumatik. Farmakoterapi dapat diberikan untuk membantu menstabilkan mood, mengurangi kecemasan, dan memperbaiki tidur.
Spiritual Hypnosis Assisted Therapy (SHAT) merupakan salah satu pendekatan terapeutik yang menjanjikan dalam penanganan trauma mendalam, terutama pada kasus pelecehan seksual intrafamilial seperti dalam kasus ini. Terapi dikembangkan berdasarkan filosofi biopsiko-spirito-sosiokultural, yang memandang manusia sebagai satu kesatuan utuh tubuh, jiwa, dan roh yang dibentuk oleh pengalaman biologis, psikologis, spiritual, dan lingkungan sosial-budaya.
Pendekatan ini sangat cocok untuk kasus yang melibatkan penghancuran relasi dasar manusia dengan sosok ibu, seperti dalam kasus yang dibahas, karena SHAT tidak hanya berupaya menyembuhkan gejala, tetapi menyentuh akar luka eksistensial melalui proses hipnotik yang terstruktur dan bernuansa spiritual.
Dalam praktik SHAT, pasien diarahkan untuk masuk ke dalam kondisi trance, mengakses kembali pengalaman traumatis dari alam bawah sadar, dan diberi kesempatan untuk mengekspresikan emosi yang selama ini terpendam seperti rasa marah, takut, malu, kecewa dalam suasana yang aman dan terkontrol.
Terapi ini juga melibatkan proses reframing atau penafsiran ulang terhadap pengalaman masa lalu, sehingga kenangan traumatis tidak lagi menjadi beban psikis, melainkan dipahami sebagai bagian dari perjalanan hidup yang membentuk ketahanan dan kedewasaan.
Hal unik dari SHAT adalah penekanan pada kekuatan spiritual dan konsep atma (roh pribadi), yang diyakini sebagai sumber kekuatan dan kesadaran tertinggi dalam diri individu. Dalam konteks budaya Bali (dan dapat disesuaikan dengan budaya lain), kekuatan ilahi digunakan bukan sebagai dogma, tetapi sebagai kekuatan simbolik untuk membantu pasien menerima dan melepaskan luka masa lalu, serta membangun kembali makna dan arah hidup.
Dalam kasus pasien yang pernah mengalami disosiasi di balkon, penggunaan trance dalam SHAT justru bisa membantu mengintegrasikan kembali potongan-potongan memori yang terpecah.
SHAT dapat menjadi pilihan terapi utama dalam konteks trauma berat dan kompleks, khususnya yang berkaitan dengan pelecehan seksual oleh figur keluarga, karena ia bekerja bukan hanya di permukaan simptomatik, melainkan menyentuh dimensi terdalam dari pengalaman manusia dalam hal ini ingatan, emosi bawah sadar, dan relasi spiritual terhadap kehidupan.
Dengan fondasi keilmuan, pendekatan klinis, dan pemahaman budaya yang kuat, SHAT memberikan harapan baru bahwa pemulihan dari trauma bukan hanya mungkin, tapi juga bisa menyeluruh dan bermakna.
Mendengar adalah Bentuk Cinta
Kasus ini mengajarkan kita satu hal penting: bahwa mendengar adalah bentuk cinta paling dasar. Banyak orang di sekitar kita yang membawa luka besar dalam diam. Mereka tidak membutuhkan nasihat yang tergesa, atau penilaian moral yang melukai.
Mereka hanya butuh seseorang yang hadir, diam, dan berkata, “Aku percaya padamu. Kamu tidak sendiri. Kamu pantas untuk sembuh.”
Di tengah dunia yang gaduh, mari kita buka ruang bagi suara-suara yang selama ini tenggelam agar mereka tahu, bahwa meski dunia pernah menyakitinya, masih ada harapan. Masih ada hidup yang layak dijalani dan mereka pantas untuk bahagia.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim