search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Anugerah Jurnalisme Warga 2024 Mengungkap Masalah Lingkungan di Bali
Senin, 1 Juli 2024, 18:03 WITA Follow
image

beritabali/ist/Anugerah Jurnalisme Warga 2024 Mengungkap Masalah Lingkungan di Bali.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Penganugerahan karya jurnalis warga di Indonesia kembali dihelat pada Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2024 oleh BaleBengong, pada Minggu (29/06/2024) malam. 

Tak hanya pemberian penghargaan, juga dihelat sejumlah diskusi dari beberapa topik yang diangkat untuk mengkritisi berbagai permasalahan lingkungan serta mencari solusinya. Tahun ini AJW ada yang baru, yakni menggunakan pendekatan citizen science, kombinasi liputan dan penelitian menggunakan sudut pandang warga. Para penerima beasiswa AJW mendapat pendampingan dari para peneliti dan aktivis LSM yang berpengalaman.

Dalam sebuah diskusi mengenai politik dan krisis air di Bali dalam AJW 2024 kali, terungkap sejumlah masalah yang membuat akses atas air warga memburuk, dibandingkan akses air oleh industri pariwisata.

I Wayan Juniartha dari Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBL) mengatakan ada perebutan hak atas air. Industri pariwisata memicu ketidakadilan distribusi air, misalnya forum World Water Forum tak kekurangan air sementara di lokasi lain di Badung Selatan ada warga yang tak bisa mengakses air. 

Menurutnya, menurunnya suplai air juga memicu konflik horizontal, saat jumlah air berkurang pun, air yang tersisa masih dikuasai yang memiliki power. Korbannya masyarakat. Ia mendorong para pihak melakukan konservasi, misalnya melalui bambu. 

“Satu rumpun 35 lonjor tiap menampung bisa menampung 1.300 liter di rimpang, batang, daun setara 189 galon air kemasan yang dikeluarkan perlahan saat kemarau,” paparnya. 

Program YBL di Bali adalah konservasi sepanjang Yeh Penet berhulu di Batukaru, hilir di Tanah Lot sambil memetakan jenis bambu. “Bali sudah impor 5 juta lonjor untuk kepentingan upakara,” tambahnya.

Made Suarbawa, tim penerima hibah AJW membuat film dokumenter Air, Hutan, dan Kita. Ia refleksi masa kecil di Desa Tukadaya, Jembarana. “Kakek saya punya sawah berbatasan hutan, petani merasa air di gentong aman tapi pulu, gentong tempat menampung beras kosong. Dulu sungai dibendung untuk sawah, tapi sekarang dipasangi banyak pipa untuk air minum,” kisahnya. 

Dilema terjadi antar warga sendiri, kambing hitamnya adalah peningkatan hutan produksi. Karena hutan kini sudah tidak seperti hutan karena lebih homogen. 

“Mereka kini sudah menyadari itu hutan, bukan untuk disertifikatkan. Karena tiap Pilkada selalu jadi isu dijanjikan sertifikat lahan hutan. Setelah ada LPHD cukup mendorong kesadaran untuk menanam kembali,” ceritanya tentang upaya perbaikan.

Fenny Sulistya, tim peliput krisis air mengangkat topik ini karena rasa ingin tahu dan jengah karena kuliah di Kuta Selatan dan selalu susah air. Bahkan warga membuat sumur bor dengan harga di atas Rp 100 juta untuk pemenuhan rumah tangga. 

“Kenapa pemerintah seolah diam, krisis air kan bukan cerita baru terutama Pecatu, Ungasan, Jimbaran. Mungkin karena geografis dan kondisi tanah. Tapi harus memenuhi hak atas air,” tuntutnya.

Ia menambahkan ada narasumber mengatakan sudah 3 minggu susah air, katanya ada gangguan pasokan air diprioritaskan ke Nusa Dua untuk WWF.

“Kami coba mewawancarai pekerja hotel tapi pasokan air tak pernah mati, tapi tagihan airnya tinggi. Betapa tingginya kebutuhan untuk pariwisata sementara warganya kesulitan,” tambahnya.

I Putu Bawa, aktivis konservasi air dari Yayasan IDEP Selaras Alam mengingatkan di Bali konflik air sudah lama terjadi. Tapi krisis air meningkat karena permintaan tidak sesuai dengan kebutuhan. 

“Ketika pemerintah proyeksi turis meningkat 4-5 kali lipat, airnya dari mana? Kalau tidak antisipasi dari sekarang yang terdampak warga miskin,” ingatnya. 

Solusinya ada, misal Nusa Penida yang tidak punya air permukaan, bisa memanfaatkan air hujan. Tapi industri pariwisata dengan modal besar menuurtnya tidak mengambil hak air warga. Ia menambahkan, setelah WWF tidak ada hal konkrit, terutama akses air, hak paling dasar. 

Kategori beasiswa liputan menerima lebih dari 30 proposal ide. “Ini partisipasi luar biasa dari anak-anak muda Bali yang makin tertarik mendalami masalah sosial lingkungan,” sebut I Ketut Juniantari, Ketua Panitia AJW 2024.

Editor: Robby

Reporter: bbn/rls



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami