Istilah Budak Telah Ada Sejak Masa Bali Kuno
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Istilah Budak telah ada di Bali sejak masa Bali kuno, jauh sebelum bangsa Barat menginjakkan kakinya di Nusantara. Namun perdagangan budak Bali meraih popularitasnya pada abad ke XVII-XIX.
[pilihan-redaksi]
Demikian terungkap dalam sebuah artikel berjudul “Perdagangan Budak Di Bali Pada Abad Ke XVII-XIX: Eksploitasi, Genealogi, Dan Pelarangannya” yang dipublikasikan dalam Jurnal Masyarakat & Budaya, volume 20 nomor 1 tahun 2018. Artikel tersebut ditulis oleh I Wayan Pardi Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi.
I Wayan Pardi menuliskan dalam prasasti Sukawana AI yang berangka tahun 804 Saka/882 Masehi disebutkan bahwa pada abad ke-9 di Bali sudah ada masyarakat yang telah memiliki budak dan memposisikan budak sebagai “barang” yang memiliki nilai ekonomis.
Dalam budaya masyarakat Bali juga dikenal adanya catur kasta yang mengelompokkan masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial berdasarkan keturunannya di masyarakat, yakni kasta Brahmana, Ksatriya, Waisya, dan Sudra.
Istilah catur kasta pertama kali ditemukan pada masa pemerintahan Anak Wungsu (971-999) Saka atau 1049-1077 Masehi) di Bali, seperti dalam prasasti Bila yang berangka tahun 995 Saka atau 1074 Masehi menyatakan tentang adanya catur kasta dalam masyarakat dari lapisan sosial teratas hingga lapisan sosial terbawah. Selain empat kasta di atas, juga dinyatakan secara eksplisit tentang adanya kelas sosial di bawah kelas Sudra, yakni budak.
Prasasti Srokodan D = Sukawati C berangka tahun 999 Saka juga memberikan keterangan tentang keberadaan budak. Hal yang menarik dari isi prasasti Srokodan D = Sukawati Cyang dikeluarkan pada masa pemerintahan Anak Wungsu di atas adalah kelompok catur kasta dapat berbuat semenamena terhadap budak yang dimilikinya.
[pilihan-redaksi2]
Selain itu, isi prasasti Sukawana AI (804 Saka/882 Masehi) dan Prasasti Srokodan D = Sukawati C juga memberikan penjelasan penting bahwa pada Masa Bali Kuno budak telah diposisikan sebagai “barang dagangan” yang memiliki nilai jual/berharga atau diperjualbelikan oleh masyarakat, sehingga ketika pemiliknya meninggal ataupun mengalami kesulitan keuangan, budak tersebut dapat ditukarkan dengan uang. Begitu juga sebaliknya, ketika ada seseorang yang ingin membeli budak maka ia harus membayar sejumlah uang kepada penjual budak.
Eksistensi kelas budak pada masa Bali Kuno juga terekam dalam prasasti Jaya Pangus. Isi prasasti tersebut memberikan keterangan bahwa status anak budak dilindungi oleh raja. Meskipun demikian, pelanggaran/kejahatan terhadap budak oleh empat kasta lainnya tidak mendapatkan sanksi hukum. [bbn/ Jurnal Masyarakat & Budaya/mul]
Reporter: bbn/mul