Memperlakukan Tanaman Padi Ibarat Manusia Melalui Ritual Pantun Mayusa
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Ritual yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali merupakan implementasi dari Tri Hita Karana yang terdiri atas tiga hubungan harmonis. Salah satunya yang dilakukan para petani di Bali yaitu ritual pantun mayusa. Sebuah ritual dimana petani memperlakukan tanaman padi ibarat memperlakukan manusia.
[pilihan-redaksi]
Peneliti dari Universitas Airlangga Ni Wayan Sartini dalam sebuah artikel ilmiah berjudul “Makna simbolik bahasa ritual pertanian masyarakat Bali” yang dipublikasikan dalam Jurnal Kajian Bali Volume 07, Nomor 02, tahun 2017 menuliskan Pantun mayusa berasal dari kata pantun ‘tanaman padi’ mayusa artinya ‘berumur, berusia’. Rangkaian ritual pertanian yang dilakukan ini sesuai dengan umur tanaman padi yaitu 12 hari, 17 hari, 27 hari, 35 hari, 24 hari dan 70 hari. Setiap peringatan terhadap usia tanaman padi tersebut dilakukan ritual sesuai dengan usia tanaman padi. Hal ini menunjukkan sebuah tradisi budaya memperlakukan tanaman padi ibaratnya manusia seperti dalam tradisi Hindu di Bali yang selalu melakukan ritual ketika seorang anak memasuki usia-usia tertentu.
Sartini juga menuliskan di daerah lain di Bali ketika tanaman padi berusia 12 hari disebut juga upakara mubuhin ‘menghaturkan bubur’. Upacara ini dilakukan dengan sesajen tertentu yang diletakkan di petak sawah di segala penjuru mata angin.
Dalam tuntunan upakara disebutkan sebagai berikut ; Disampune pantune matuwuh 12 dina,sakadi rarene sampun mayusa 12 dina,irika kalaksanayang upacara negteg atma pramananing pantun.Irika ngaturang bubuh ring carike.Banten sane katur nasi bubuh mawadah suyuk,madaging canang atanding.Genah maturan ring pengalapan ring sor.”
[pilihan-redaksi2]
Pesan yang terkandung yaitu tanaman padi ibaratnya seorang anak (sekadi rarene ‘seperti seorang anak kecil) yang berusia 12 hari, dilakukan ritual meneguhkan roh (jiwa) tanaman agar selanjutnya menjadi subur. Ibarat anak kecil, tanaman diberikan bubuh (bubur) karena masih bayi disertai dengan sarana lain seperti canang sari yang diletakkan di hulu sawah (pengalapan).
Sartini memberikan analisis bahwa kearifan budaya dan nilai simbolik yang dapat dilihat dari tahapan ritual usia tanaman padi adalah perlakuan yang humanis dengan merawat dengan baik tanaman padi seperti merawat manusia dari bayi sampai dewasa. Hal itu terlihat dari sesajen awal mempersembahkan bubuh ‘bubur’ kemudian canang bersarana (meraka) nyahnyah gringsing, tipat dampulan, blayang dan sebagainya. Dari segi bentuknya makin tua usia tanaman padi sarana upakaranya makin kompleks wujudnya.[bbn/Jurnal Kajian Bali/mul]
Reporter: bbn/mul