search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Tradisi Ngejot Tumpeng di Hari Galungan
Rabu, 12 Mei 2010, 21:49 WITA Follow
image

images.google.com

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Hari raya Galungan yang dirayakan tiap 210 hari oleh umat Hindu tidak hanya penuh dengan makna ritual. Momen Galungan juga memiliki makna sosial. Galungan menjadi ajang silaturahmi untuk memperkuat rasa persaudaraan. 

Usai melakukan persembahyangan di Pura Khayangan Tiga di desanya, Ngurah Putra melanjutkan acara yang sudah dirancang. Bersama istrinya ia menjenguk bibinya yang sedang sakit.

"Kami jarang pulang kampung. Kesempatan libur ini kami manfaatkan untuk bersembahyang sebagai bagian dari acara ritual. Selain itu, kami ingin membesuk bibi yang sakit. Semoga kehadiran kami bisa memberi arti bagi saudara yang sedang sakit," ujar pria asal Badung yang menjadi guru di Karangasem ini.

Bagi Putra, walaupun ia bisa berkomunikasi dengan keluarga besarnya melalui telepon, suasana Galungan menjadi sesuatu yang spesial.

"Kalau sekadar menanyakan kabar memang bisa melalui telepon, tetapi kurang puasnya rasanya kalau kami tidak bisa
berinteraksi langsung. Momen Galungan inilah saat yang tepat," kata guru Matematika ini.

Jadwal Putra memang padat saat Galungan. Persembahyangan ia awali di merajan (pura keluarga) rumahnya, lalu Pura Dadia (keluarga besar), dan terakhir Pura Khayangan Tiga (pura warga desa). Setelah semua selesai dilakukan, barulah ia melaksanakan misi sosialnya.

Kegiatan bernilai sosial yang juga banyak dilakukan saat Galungan adalah ngejot tumpeng atau nekang. Kegiatan ini juga bisa dilakukan sebelum Galungan.

Mereka yang mendapat kunjungan adalah pengantin baru. Tradisi ini banyak ditemui di Kabupaten Badung dan Gianyar. Ciri khas orang yang baru menikah, adanya penjor dan sanggah yang berisi ceniga panjang di depan rumah.

"Tradisi nekang atau ngejot tumpeng ini memiliki arti sosial saling memperkenalkan diri. Pengantin memperkenalkan diri kepada warga yang datang dan sebaliknya. Warga datang membawa tumpeng, pulangnya bawa tape. Ini merupakan suatu interaksi yang menunjukkan betapa kuatnya nilai-nilai persaudaraan dan kekerabatan," ujar Ida Bagus Agastia, pengamat agama dan budaya.

Pada zaman dulu, ngejot tumpeng bisa dilakukan warga satu desa. Namun, seiring perkembangan jumlah penduduk dan kesibukan warga, tradisi ngejot tumpeng mulai mengecil menjadi satu banjar. Bahkan ada yang hanya di satu tempek (kelompok kecil banjar) saja.

Bagi mereka, kehadiran untuk saling mengenal menjadi suatu modal penting dalam menjalani kehidupan sosial di masyarakat. 

Reporter: bbn/ctg



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami