“Mencari Celah Kehidupan di Balik Aturan Legalitas Kayu”
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Memahat dan mengukir menjadi keseharian para pengerajin di Bali. Begitu juga keseharian para pengerajin kayu sisa atau buangan. Dengan memanfaatkan kayu sisa atau buangan para pengerajin tersebut mencoba berkreatifitas untuk mampu memenuhi kebutuhan hidup.
Namun kini Kementerian Kehutanan merencanakan mulai Maret 2013 akan memberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada seluruh produk berbahan kayu. Penerapan SVLK akan diberlakukan mulai dari industri hulu, baik pada kayu yang diperoleh melalui hutan produksi maupun kayu hasil perkebunan rakyat. Penerapan SVLK ini juga bertujuan untuk membuktikan kepada negara-negara di dunia bahwa produk berbahan kayu di Indonesia merupakan green produk. Kebijakan yang dituangkan dalam peraturan kementrian kehutanan (permenhut) no. 38 tahun 2009 tersebut kini menjadi momok bagi pengerajin kayu sisa atau buangan.
Seorang Pengerajin akar bambu asal Kabupaten Bangli Kadek Sudanco mengakui selama ini ia mencoba berkreasi dengan memanfaatkan akar bamboo yang dibuang oleh masyarakat. Walaupun terkadang membeli dengan harga yang murah. Sudanco menyatakan jika SVLK juga diberlakukan pada kerajinan kayu buangan maka akan sangat memberatkan bagi pengerajin.
“Kalau saya tidak bisa ngomong apa, memang memberatkan, justru ini kan menambah nilai tambah dari masyarakat , justru saya mengangkat gengsi batang bamu ini berguna jadinya. Kalau di isi begitu lagi sukar lah jadinya, ini dibandingkan di buang atau di bakar keluar asapnya,” tutur Kadek Sudanco.
Sudacnco mengakui tidak pernah kesulitan dalam memasarkan kerajinan akar bamboo, bahkan kerajinan ini kini telah di ekspor ke berbagai negara di dunia, seperti Jerman, Swiss, Amerika dan Polandia. Bahkan dalam sebulan ia mengaku mampu mengekspor minimal 1000 buah kerajinan dari akar bamboo. Hal senada juga diakui Made Dina, pengerajin kayu buangan yang hanyut dibawa air sungai atau air laut, atau yang lebih dikenal sebagai kerajinan drift wood. Menurut Dina selama ini para importir dari berbagai negara tidak pernah mempermasalahkan asal-usul kayu dan persyaratan lainnya.
“Tamunya senang melihat ini karena unik, kayunya natural, saat ini selama pengiriman tidak ada masalah lancar saja. Ya ini kan sudah kayu buangan, ibaratnya kayu sampah. Masak kayu sampah sekarang ada ijinnya kan gak mungkin, janganlah kayu sampah seperti ini ada ijin, bagaimana buatnya,” kata Made Dina.
Salah satu agen pengepul kerajinan kayu di kawasan Ubud-Gianyar Ketut Sujana mengakui selama ini untuk kerajinan yang akan di impor tidak keseluruhan mempunyai surat keterangan asal-usul kayu. Dimana hanya kayu yang ditebang dalam jumlah cukup besar saja yang dilengkapi dengan surat keterangan. Sebab untuk kayu dalam jumlah kecil bisa dicampur, apalagi jenis kayunya sama.
“Misalnya kalau terlalu banyak nebang pake surat, kalau kebunn pribadi kan gak terlalu banyak, ada satu atau dua, sepuluh biji atau dua puluh biji, gak pake surat itu, yang pake surat yang banyak-banyak saja,“ ujar Ketut Sujana.
Menurut Sujana penerapan kebijakan legalitas kayu di lapangan juga tidak terlalu ketat, tergantung situasi. Apalagi pemeriksaanya dilakukan tidak secara rinci.
“Dibilang ketat yang ketat, dibilang gak ya nggak, biasa saja, oh ini milik saya pribadi. Tapi tidak terlalu banyak, kalau banyak ya pake surat. Kalau gak banyak ya gak apa, gak perlu menunjukkan surat,” imbuh pemilik Puram Dara Wood Carver.
Berbeda dengan pengerajin mebel Dewa Sumayasa yang sejak tahun 2008 ditinggal oleh dua konsumen setianya dari Eropa. Ia harus menanggung kerugian hingga Rp. 100-300 Juta pertahun karena kedua konsumenya menanyakan sertifikat legal kayu dan produk olahanya. Namun untuk mengurus sertifikasi cukup sulit dan membutuhkan biaya mahal mencapai 4000 Euro berlaku selama 3 tahun. Dia juga harus menyiapkan tempat kerja yang sesuai dengan standar, padahal ia hanya pengerajin mebel rumahan.
“Cuma persyaratan lainnya seperti penyiapan gudang, system pengerjaanya harus lengkap, ada penyedot debu, sama seperti industry besar, sedangkan saya hanya industri kecil yang tidak melakukan itu, industri saya kan rumah tangga,” paparnya.
Ia menuturkan permasalahan menjadi bertambah sulit ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan SVLK, sebab harus menyertakan legalitas usaha, Sedangkan tempat usaha adalah rumah pribadi
“Surat ijin industry saya tidak punya karena surat ijin industri salah satunya harus ada Situ HO dan Amdal, saat dicek lokasi saya di rumah tidak cocok untuk industri karena pemukiman, saya disarankan punya tempat lain,” jelas Dewa Sumayasa.
Menurutnya untuk membangun tempat usaha baru juga tidak memungkinkan, karena untuk membangun tempat sesuai standar SVLK memerlukan modal awal untuk tempat industri sekitar Rp. 80 Milyar.
“Bikin gudang, beli mesin 80 M modalnya itu, belum beli kayu untuk bahan baku, padahal tempatnya bisa ngontrak dengan biaya 1 M atau 3 M pertahun tapi tamunya tetap tidak mau harus tempat tetap sesuai persyaratan,” ujarnya.
Ia mengungkapkan dari segi penyiapan tempat saja sudah memerlukan biaya yang cukup besar, belum lagi mengurus sertifikasi yang dananya mencapai Rp. 200 juta untuk masa berlaku 4 tahun. Kondisi ini tidak realistis diterapkan untuk industri rumahan. Jika kebijakan SVLK tetap diberlakukan secara pukul rata maka besar kemungkinan pengerajin rumahan di Bali akan bangkrut.
“Kalau diterapkan di Bali sama dengan industry besar di Jawa sangat sulit, bisa rontok itu, panting kayu menjadi tidak laku bagaimana? Jadi hanya bisa dijual lokal saja,” tambahnya.
Menurutnya sangat disayangkan kebijakan SVLK tidak mampu mendorong peningkatan harga, sebab di pasar internasional mebel Bali juga masih kalah bersaing dengan mebel dari negara lainnya yang berani member harga lebih murah.
“Tidak mungkin akan bisa naik itu, katanya menurut tamu saya diluar negeri mebelnya lebih murah, yang kayunya dari India, Vietnam, China itu mebelnya murah-murah,” imbuhnya.
Dewa Sumayasa mengakui setelah ditinggal oleh dua konsumen setianya kini hanya mempekerjakan 3 orang karyawan dari sebelumnya 14 karyawan. Ia menyatakan kini sedang merancang pembentukan koperasi bersama rekan-rekannya sebagai salah satu upaya untuk meringankan pembiyaaan dalam pengurusan SVLK. Namun saying hingga kini ijin industri yang diajukan kepada Gubernur Bali belum juga turun.
Reporter: bbn/net