Role Model, Pemaknaan Keluarga Besar, dan Ideologi
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, DR Made Surya Putra, SE, Msi, menyatakan, ada tiga unsur budaya yang ditimbulkan oleh budaya Bali, yang menjadi faktor penghambat pengembangan jiwa dagang dan kewirausahaan di Bali.
Role Model
Salah satu unsur budaya yang dapat mempengaruhi sikap seseorang dalam memandang dan memahami kegiatan perdagangan dan jiwa kewirausahaan adalah unsur role model. Sebuah budaya yang dikembangkan dengan kisah-kisah tentang kepahlawanan raja-raja, komandan-komandan perang dan hal-hal lain semacam itu, tentulah akan menciptakan role model “macho” pada budaya tersebut, sementara suku atau budaya yang mengembangkan role model berbasiskan kisah-kisah para wirausahawan yang sukses, akan menjadikan seorang calon usahawan memiliki justifikasi atas cita-citanya untuk menjadi seorang wirausaha atau pedagang.
"Secara tradisional, sebagaimana yang diuraikan dalam berbagai babad, role model kesuksesan yang dikembangkan dalam budaya Bali adalah role model berbasis kesuksesan para ksatria dan pemimpin agama. Teknik penyampaian kisah-kisah tradisional Bali yang diwujudkan dalam bentuk seni tari, wayang, ukir, mekekawin, tabuh, pahat dan lain sebagainya, hampir seluruhnya steril dari kisah-kisah tentang kesuksesan kaum dagang atau kaum wirausaha dan dijejali dengan begitu banyak cerita tentang role model kesuksesan perebutan sumber daya melalui jalan peperangan atau kegaiban magis," ujarnya.
Menurut Surya Putra, salah satu langkah perbaikan sistemik yang seharusnya dikembangkan oleh pengusung budaya Bali agar jiwa dagang dan kewirausahaan dapat berkembang dalam lingkup budaya Bali, adalah melakukan eksplorasi tentang kisah-kisah kesuksesan kaum dagang dan kewirausahaan dari babad-babad yang ada serta menindaklanjutinya dengan melakukan eksploitasi kisah-kisah tersebut melalui pembentukan role model kewirausahaan dalam berbagai wujud seni.
"Misalnya memasukkan role model kewirausahaan dalam pertunjukkan wayang kulit atau penciptaan tarian yang merupakan simbolisasi dari nilai-nilai perdagangan dan kewirausahaan," ujar Surya Putra.
Pemaknaan Keluarga Besar
Menelisik kepada budaya Bali, salah satu nilai budaya lokal yang secara langsung dapat menghambat perkembangan jiwa dagang dan kewirausahaan adalah pemaknaan orang Bali terhadap konsep extended family collectivism (kolektivitas keluarga besar). Orang Bali memaknai keluarga besar secara berbeda dengan orang Tionghoa yang juga memiliki konsep keluarga besar di dalam budayanya.
Budaya menyama braya di Bali memiliki nilai-nilai yang mirip dengan nilai-nilai ajaran konfusius namun pemaknaan dan praktek keseharianterhadap nilai-nilai tersebut dalam dunia dagang dan wirausaha memiliki arah yang berbeda. Salah satu pemaknaan yang berbeda adalah saat memaknai konsep keluarga besar.
"Bagi orang Bali, konsep keluarga besar dapat terbentang melalui dua sistem yaitu genekologi (pedharman, soroh, dll) atau geografis (banjar, desa dll). Adalah hal yang umum, apabila seorang Bali akan menyebut nyama (saudara) bagi seseorang yang kebetulan lahir di wilayah yang sama dengan dirinya, walaupun seumur hidup belum pernah bertemu dan berinteraksi dengan orang tersebut. Situasi ini berkonsekuensi lebih lanjut dalam dunia dagang, dimana konsep keluarga besar yang berlebihan, dan bukan keluarga inti seperti di negara-negara barat, membuat bisnis sulit berkembang karena pemaknaan yang berlebihan terhadap konsep keluarga besar,"paparnya.
Contoh sederhana pemaknaan keluarga besar yang berlebihan adalah saat orang Bali melakukan konsumsi barang atau jasa, orang Bali umumnya segera melirik kepada anggota keluarga besar yang mampu menyediakan produk atau jasa yang diperlukan. Tentu saja ini adalah proses ekonomi yang baik, namun masalah biasanya muncul saat pembayaran. Hubungan keluarga besar diantara dua orang yang bertransaksi membuat mereka satu sama lain akan memanggil dengan sebutan “nyama didian” (saudara sendiri), sehingga seringkali mengaburkan makna meminta (gratisan), membeli atau berhutang dalam proses bisnis. Sementara proses bisnis seharusnya diperlakukan secara disiplin, karena untuk memutar sebuah bisnis, pengusaha memerlukan arus kas yang lancar dan kemacetan arus kas dapat membangkrutkan usaha.
Ideologi
Harus jujur diakui bahwa tidak banyak orang Bali yang membaca kitab-kitab suci Hindu, namun secara kasat mata dapat disaksikan bahwa praktek agama sehari-hari di Bali berbasiskan ajaran-ajaran Hindu. Ajaran-ajaran Hindu menekankan asketisme yang kuat, selalu mencoba mengkonsentrasikan segala sesuatunya kepada Yang Esa.
Ajaran Karma Yoga misalnya, yang menjadi trend pada masa perubahan masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, menyebutkan bahwa bekerja yang terbaik adalah bekerja kepada Tuhan, bekerja tanpa pamrih, bekerja tanpa terikat pada hasilnya dan bekerja untuk kesejahteraan bersama.
Sementara Bhagawadgita sendiri telah membuat klasifikasi tersendiri tentang usaha perdagangan dan kewirausahaan dalam kalimat “Bertani, beternak, dan berdagang adalah tugas para wesia, yang terlahir dari sifat alamiahnya sendiri, dan kegiatan pelayanan adalah tugas para sudra, yang juga terlahir dari sifat alamiahnya sendiri” (Bhagawadgita XVIII-44).
Secara tersirat maupun tersurat, disebutkan dalam berbagai kitab suci Hindu bahwa status sosial pedagang dan pengusaha tidak pernah berada di puncak strata, walaupun juga tidak berada di dasar strata.
"Itihasa-itihasa Hindu yang luar biasa mempesona dan indah seperti Ramayana dan Mahabharata, anehnya juga absen dari pembahasan tentang perdagangan dan kewirausahaan dan hampir dalam seluruh kisahnya selalu berbicara tentang role model ksatria dan orang-orang suci yang gagah dan magis namun sayangnya sama sekali tidak produktif. Beberapa kitab yang sangat asketis malah memberi penekanan karakter yang buruk kepada penguasaan kekayaan atau capital, misalnya dalam kekawin Nitisastra IV.19 dinyatakan bahwa kekayaan (dhana) adalah salah satu sebab dari mabuk dan gelapnya hati seseorang,"jelas Surya Putra.
Menurut Surya, sudah seharusnya para ahli kitab melakukan perbaikan di sisi ideologi, agar jiwa dagang dan kewirausahaan dapat berkembang dalam budaya Bali.
"Harapan yang bisa dilekatkan kepada perbaikan di sisi ini adalah seyogyanya para ahli kitab mampu mengeksplorasi kisah dan ajaran dari berbagai kitab suci tentang pentingnya jiwa dagang dan kewirausahaan untuk kemudian mampu secara sistematis merancang sistem propaganda ideologi yang memihak kepada perkembangan kewirausahaan. Semua itu bukan demi perkembangan kapitalisme atau pemihakan kepada materialisme, namun semata-mata demi pemihakan kepada kemajuan peradaban pengusung budaya Bali itu sendiri,"jelasnya.
Reporter: -