search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Kasus Corby Dinilai Sebagai Peradilan Sesat
Kamis, 13 Februari 2014, 17:56 WITA Follow
image

inilah.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Ada pertanyaan menggelitik dalam kasus pengurangan hukuman Schapelle Leigh Corby; apakah sebenarnya tak lain karena pemerintah sadar hukuman itu salah? Terlalu berani untuk menyebut kasus Corby sebagai peradilan sesat. Tidak sebagaimana contoh klasik peradilan sesat yakni kasus Sengkon dan Karta, atau yang lebih kemudian seperti Budi Harjono si pemuda Bekasi, dimana terpidana sama sekali tak pernah melakukan kejahatan yang didakwakan. Setidaknya, Corby memang ‘membawa’ 4,2 kilo ganja itu di tas perjalanannya.

Tetapi dari media kita bisa melihat banyak hal yang mengecewakan pihak tersangka dalam proses pengadilannya. Kelemahan proses peradilan yang digelar itulah, yang membuat pers Australia kemudian cenderung membela Corby. Mereka melihat terlalu banyak celah dan pertanyaan mendasar yang diabaikan hakim selama persidangan. Hal itu pula yang menyebabkan pers Australia menilai proses hukum Corby, dari sidang perdana hingga diketuknya palu keputusan, ibarat dagelan.

Itu tidak lantas boleh diartikan bahwa pers Australia chauvinistis, membabi buta hanya karena Corby satu kewarganegaraan dengan mereka. Lihatlah sikap mereka kepada segerombolan penjahat serupa, yakni Andrew Chan, Myuran Sukumaran, Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tach Duch Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush dan Martin Stephens; sembilan gembong penyelundup narkoba yang dikenal sebagai ‘Bali Nine’. Berlawanan diametral dibanding terhadap Corby, kepada penyelundup heroin seberat 8,2 kilogram itu pers Australia bersikap biasa saja.

Ada beberapa hal yang dipersoalkan pers negeri kangguru, yang menurut mereka begitu mendasar. Misalnya, kesaksian petugas Bea Cukai Gusti Nyoman Winata, yang mengatakan Corby menolak tasnya dibuka. Di persidangan, ketiga teman seperjalanan Corby mengatakan, justru Corby yang membuka tas itu dan kemudian mendapati adanya ganja.

Dalam peradilan, pihak Corby juga berkali-kali meminta agar rekaman cctv selama pemeriksaan di Bandara Ngurah Rai itu ditayangkan di persidangan. Gunanya untuk lebih meyakinkan apa yang benar-benar terjadi saat pemeriksaan.

Namun, meski pengacara Corby berkali-kali memintanya, Majelis Hakim tak pernah mengabulkan. “Akan kami tayangkan, bila memang perlu,”kata Majelis Hakim. Janji yang tak pernah dipenuhi meski diminta berulang kali.

Sejatinya, kamera cctv itu memang tak bisa menguatkan atau pun melemahkan argumen pihak Corby. Jaksa mengatakan, rekaman itu tak pernah dicek. Belakangan, bahkan dalam film dokumenter ‘Ganja Queen’ yang ditayangkan HBO, disebutkan bahwa kamera cctv itu tidak dioperasikan pada hari kedatangan Corby.

Pihak Corby sempat pula meminta agar koper-kopernya ditimbang ulang, untuk memastikan adanya penambahan beban sekitar 4,2 kg yang tercatat di Airport Brisbane. Apabila ada penambahan berat—sebagaimana pembelaannya, itu menunjukkan ganja itu dimasukkan setelah dirinya mengecek kopor-kopornya itu. Itu pun tak pernah dikabulkan Majelis Hakim.

Keempat tas bawaan Corby dkk itu memang tidak ditimbang sendiri-sendiri di Bandara Brisbane. Total berat keempatnya sekitar 65 kilo. Sementara aparat Kepolisian dan Bea Cukai di Bali pun tidak mencatat berapa berat keempat koper itu saat tiba di Ngurah Rai. Bahkan manakala pihak Corby memintanya.

Permintaan Corby lainnya yang juga tak pernah dikabulkan, kepolisian diminta untuk mengecek lebih lanjut tas-tas tersebut dengan melakukan tes sidik jari. Sebagaimana yang permintaan lainnya, cara yang menurut pengacara Corby bisa membantu mencari kebenaran tersebut tidak dilakukan.

Penolakan permintaan penyelidikan sidik jari itu disesalkan ahli hukum negara-negara Asia, Tim Lindsay dari University of Melbourne. Menurut Lindsay, justru itulah titik terlemah pengungkapan kasus yang sebenarnya bisa membantu Corby.

Pembelaan pengacara Corby sendiri waktu itu menitikberatkan pada ketidaktahuan kliennya akan keberadaan ganja di dalam tas yang dibawanya. Teori pengacara Corby, antara lain Robin Tampoe, menyatakan, kliennya secara tidak sadar telah menjadi kurir narkoba karena ada pihak yang memasukkan ganja tersebut di Bandara Brisbane. Pernyataan Tampoe itu antara lain dikatakannya dalam sebuah film dokumenter, ‘Schapelle Corby: The Hidden Truth’.

Klaim itu bukan tanpa dukungan. Mantan Kepala Unit Investigasi Internal Kepolisian Australia (AFP) Ray Cooper, menyatakan banyak turis Australia yang secara tak sadar dan tanpa sengaja menjadi kurir narkoba. Terutama di dalam negeri sendiri. “Itu seringkali terjadi,” kata Cooper kepada media Australia, The Sunday.

Belakangan, The Sydney Morning Herald menulis, bersamaan dengan keberangkatan Corby dkk (8 Oktober 2004), satu paket besar kokain yang melibatkan kartel narkoba dan pegawai-pegawai korup di bandara Sydney juga dikirim. Pada pekan-pekan sekitar awal May 2005, Kepolisian Australia kemudian membongkar jaringan tersebut. Fakta itu pun dipakai pengacara Corby dalam pembelaannya.

Tidak hanya itu. Pengacara Corby bahkan menerbangkan John Patrick Ford, seorang narapidana di Penjara Port Phillip untuk bersaksi di persidangan. Ford bersaksi, dirinya mendengar sebuah percakapan diantara napi di penjara itu, yang membicarakan soal sekian banyak ganja yang disusupkan ke tas Corby. Ford bahkan menyebut napi pemilik ganja itu, Ron Vigenser. Kesaksian itu dinilai Jaksa tak bernilai, selain fakta bahwa Ford pun tengah menghadapi sejumlah tuduhan di Australia.

Beberapa waktu setelah memberi kesaksian itu, Ford didakwa dalam tuduhan perkosaan. Di tahanan, konon ia mengalami penyiksaan dan dimasukkan ke dalam sel isolasi. Istri Ford di Australia percaya, suaminya mengalami itu karena kesaksiannya dalam persidangan Corby.

Benarkah tudingan pers Australia bahwa kasus Corby itu peradilan sesat? Pengamat hukum dan akademisi Universitas Trisakti, Asep Irwan Iriawan, kontan menampik. “Tidak benar. Peradilan itu sudah betul dan tepat,” kata Asep.

 

Yang menurut dia tidak benar justru soal pemberian grasi dan remisi kepada Corby. “Semuanya bau terasi karena takut sama Australi,” kata Asep. 

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami