Kelud, Jayabaya, dan Isyarat Pergantian Kekuasaan
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, NASIONAL.
Ketika Gunung Kelud meletus Kamis (14/2) malam pukul 22:00 WIB (13/2), berbagai kalangan di Jawa kembali mengingat sejarah politik Tumapel (kelak menjadi Singosari) di masa lampau. Letusan Kelud menjadi penanda pergantian kekuasaan di Tumapel, Jawa Timur menjelang kudeta Ken Arok dengan cara membunuh Tunggul Ametung, Raja Tumapel waktu itu. Erupsi Kelud menebar kegelapan dalam pergantian kekuasaan di Kerajaan Tumapel yang kelak menjadi Singosari itu.
Konon, kawah Kelud itu sebenarnya juga merupakan kuburan dari keris Empu Gandring. Meski kebenaran atas kisah ini masih perlu pembuktian, namun banyak warga yang mempercayainya. Menurut sejarah lokal, bayang-bayang kutukan Empu Gandring, terus menghantui pemerintahan Singosari.
Singosari ingin menghancurkan keris buatan Empu Gandring sebagai upaya memutus mata rantai kutukan,. Senopati Bungalan ditugasi melarung keris itu ke kawah Gunung Kampud (Gunung Kelud). Di titik didih yang sangat menyengat, keris itupun hancur lebur. Dan sejarah mencatat, betapa haus darahnya keris ciptaan Empu itu. Selain merenggut jiwa si penciptanya (Empu Gandring) sendiri, juga merenggut jiwa pemesannya (Ken Arok) dan beberapa raja Singosari (1222-1254) lainnya.
Keris itu sendiri berhasil mencabut nyawa Empu Gandring, Akuwu Tunggul Ametung, prajurit Keboijo, Ken Arok dan Anusapati. Setelah membunuh Anusapati dengan keris Empu Gandring, Tohjaya pun naik tahta menjadi Raja Singosari.
Namun belum setahun menjadi Raja Singosari, ia tewas dalam sebuah pemberontakan yang dikobarkan oleh Ranggawuni (anak Anuspati) dan Mahesa Cempaka (anak Mahesa Wong Ateleng). Ranggawuni kemudian menjadi raja Singosari dan bergelar Wisnuwardhana (1248-1268). Kilasan historis ini sekadar gambaran bahwa gejala letusan gunug berapi yakni Kelud, secara simbolik bertautan dengan fenomena kekuasaan Jawa masa lampau.
Pekan ini, Kelud kembali erupsi. Adakah ini pertanda datangnya ramalan Jayabaya tentang bencana Pulau Jawa pula? Pulau Jawa bisa tenggelam? Pasti banyak orang yang tidak percaya dan ragu. Namun pertanyaan ini bukan sekadar omong kosong apalagi jika melihat opini para pakar geologi. Jangka Jayabaya sudah berbicara mengenai hal itu. Ramalan soal kehancuran tanah Jawa terutama mengenai Raja Kediri Jayabaya setelah seratus tahun perang sabil sudah nyaris terlupakan.
Sejak abad ke 15, Kelud telah merenggut korban lebih dari 15 ribu jiwa. Pada 1586, letusannya merenggut lebih dari 10 ribu jiwa. Gunung berapi yang memiliki ketinggian lebih rendah dari gunang berapi lainya di Pulau Jawa (1.731 mdpl) itu memiliki kekuatan yang menggetarkan ketika batuk.
Untuk meminimalisir korban, sebuah sistem untuk mengalihkan aliran lahar dibuat secara ekstensif pada 1926, dan masih berfungsi hingga kini. Fenomena Kelud menunjukkan hukum Geologis, bahwa sewaktu-waktu bumi ini akan mengalami pergeseran, baik akibat gempa tektonik atau letusan gunung berapi. Adapun faktor manusianya sendiri, akibat manusia banyak melakukan kejahatan dan dosa besar lainnya.
Sehingga energi negatif yang beredar diserap oleh alam pulau Jawa yang mengakibatkan ketidak seimbangan pulau Jawa. Pada abad ke-20, Gunung Kelud tercatat meletus beberapa kali, yakni pada 1901, 1919, 1951, 1966, dan 1990. Pola ini membawa para ahli gunung api memprediksi siklus 15 tahunan untuk letusan Gunung Kelud. Memasuki abad ke-21, gunung Kelud terakhir bererupsi pada 2007, 2010, dan 2014. Perubahan frekuensi ini terjadi akibat terbentuknya sumbat lava di mulut kawah gunung.
Jangka Jayabaya menyebutkan tanda-tanda bencana alam sebagai isyarat hitam putihnya politik sebuah negara dan pergantian kekuasaan yang mengitarinya.
Letusan Kelud, sebagaimana pesan Jayabaya, setidaknya menjadi penanda yang selayaknya tak diabaikan oleh masyarakat dan negara.
Reporter: bbn/net