search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Pameran Foto “Project 88” Denpasar Film Festival (DFF) 2016
Rabu, 17 Agustus 2016, 08:20 WITA Follow
image

bbn/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Sulit untuk dibayangkan bagaimana hidup ini jika air sangat susah didapat. Tanaman layu dan meranggas, jalanan kering dan berdebu, tanah sawah retak bahkan terbelah-belah, manusia dan binatang-binatang pun akan dicekik oleh dahaga.
 
Bertambahnya populasi manusia telah membuat kebutuhan air semakin meningkat. Sementara itu ketersediaannya menjadi semakin langka karena sikap abai, penggunaan yang semena-mena, eksploitasi alam yang merusak lingkungan, privatisasi penguasaan sumber daya air, dan sebagainya. Untuk menjaga ketersediaan air yang dapat dinikmati secara merata, perlu dibangun kesadaran bersama untuk memelihara sumber daya air dan menata pengelolaannya sejara bijak dan adil.
 
Demikianlah pesan yang tersirat dalam pameran foto esai (bertutur visual) “Project 88” yang diselenggarakan Denpasar Film Festival (DFF) bekerjasama dengan Bali Photo Forum (BPF) pada Senin, 16 Agustus 2016 di “Lingkara Photography Community”. 
 
Pameran ini menampilkan karya lima fotografer yakni, I Kadek Dodik Dwi Cahyendra, Wayan Martino, Wirasathya Darmaja, Wayan Ote Parmana, dan Pande Parwata. Kelimanya adalah fotografer muda yang dimetori oleh tiga fotografer handal yakni Anggara Mahendra, Syaifudin Vifick, dan Agung Parameswara. Jadi, dalam proses berkarya kelima fotografer peserta pameran tersebut mendapat berbagai bimbingan teknis dari para mentor sejak dari pencarian gagasan, perumusan kosep, pemotretan, kurasi, hingga presentasi. 
 
“Dalam proses tersebut kami berproses bersama-sama. Saling mengingatkan dan saling melengkapi,” ujar Vifick
 
“Jadi baik peserta maupun mentor sama-sama memperoleh manfaat dalam proses ini,” imbuh Anggara.
 
Dalam pameran foto esai yang mereka sebut juga “bertutur visual” ini I Kadek Dodik Dwi Cahyendra menampilkan esai foto berjudul “Jika Tidak Ada Air”, yang mengusung kekhawatiran bagaimana jika air di bumi ini semakin langka; Wayan Martino menampilkan karya berjudul  “Dewa Air Pada Paras” yag berkisah tentang  bagaimana air yang dulu dimuliakan kini tak dirawat dengan baik oleh orang-orang di pinggiran Sungai Petanu. Oleh mereka tebing-tebing saban dipapras habis utuk mendapatkan padas. Akibat pemaprasan itu sumber air da ekosistem di sekitar Sungai Petanu terancam rusak parah. Sementara itu, di tempat lain batu padas hasil paprasan itu dijadikan patung-patung dewa, termasuk Wisnu, Dewa Penguasa Air yang dimuliakan (baca: dikramatkan). Sebuah ironi yang menggelikan. 
 
Wirasathya Darmaja tampil dengan karya-karya berjudul “Air Mengubah Kehidupan” yang berkisah tentag nasib petani rumput Pantai Pendawa yang tergusur oleh pariwisata; Pande Parwata menyuguhkan karya bertajuk “Berkah Air Suci” yang berkisah tentang  seorang janda yang mengolah air menjadi kumkuman (air wangi) yang biasa digunakan sebagai bahan tirta (air suci) dalam persembahyangan umat Hindu di Bali. Semetara I Wayan Parmana  Wayan Ote Parmana menghadirkan karya berjudul “Titik Nol”. [bbn/rls/psk]

Reporter: -



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami