search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Pengamat : Taksi Online Harus Ikuti Aturan, Jangan Asal Rekrut Sopir
Senin, 21 November 2016, 14:08 WITA Follow
image

Dilema taksi online vs konvensional bahkan berujung bentrok. [source : istimewa]

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com - Denpasar. "Bapak, kenapa tidak pakai seragam ojek onlinenya?," tanya saya yang kala itu, Selasa (15/11), memesan sebuah taksi online untuk berangkat kerja.  

Agus Budiman Solichin tidak serupa pengemudi ojek online lainnya. Kala itu, Ia tidak memakai seragam khasnya. Pun, tidak juga dengan helm resminya. Ia bergaya bak ojek konvensional, walau sejatinya merupakan seorang ojek online. 
 
"Agak sedikit was-was mbak, nanti takut distop, dilarang narik. Jadi memang disarankan buat pakai baju biasa biar gak terlalu mencolok," jelas pria yang mengawali kariernya sebagai supir konvensional dan kemudian beralih menjadi supir ojek online ketika pekerjaan ini sedang "booming". 
 
Jelas, hal yang terjadi pada Agus juga banyak ditemui pada pengemudi ojek online lainnya. Sembunyikan identitas guna rejeki lebih mengalir lancar tanpa bentrok sana-sini. 
 
Kenyataannya, memang bentrok yang terjadi beberapa waktu lalu, setidaknya telah mengubah beberapa pola perilaku pencari kerja. Hal ini menjadi wajar, sebab bentrok yang terjadi bahkan sampai menimbulkan korban, baik sekedar luka-luka maupun kerusakan benda. 
 
Beritabali.com mencatat terdapat beberapa kasus bentrokan yang pernah terjadi di Indonesia. 
 
Diawali dari bentrok yang terjadi di Jakarta pada awal tahun ini, tepatnya 22 Maret 2016. Saat itu terjadi dua bentrok sekaligus. 
 
Pertama, aksi balasan di kawasan Taman Anggrek, Grogol Petamburan, Jakarta Barat oleh supir taksi online yang rekannya mendapat tindak kekerasan dari oknum supir taksi konvensional. 
 
Kedua, demo yang dilakukan supir taksi yang tergabung dalam Persatuan Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) di jalanan Jakarta. Demo menuntut pemerintah membekukan penyedia jasa transportasi online seperti Grab dan Uber. Alasan dilakukannya demonstrasi karena tuntutan  terhadap penyedia jasa transportasi online belum mencapai titik temu. Demo kemudian berakhir dengan bentrokan. 
 
Tak cukup di Jakarta, Bali juga ikut terkena imbas. Sejumlah daerah bahkan menerbitkan larangan beroperasinya taksi online. Hingga, ada pula beberapa bentrok yang terjadi, yaitu pada tanggal 9 Oktober 2016. Bentrok diawali dengan perkelahian antara supir taksi online dan konvensional di Bandara Ngurah Rai. Kejadian diawali dari teguran supir lokal kepada supir taksi online yang melarang manarik penumpang di pulau dewata. Teguran berakhir dengan perang mulut hingga pengejaran supir taksi lokal oleh supir taksi konvensional sembari membawa senjata. Kejadian berakhir dengan aksi main hakim sendiri. 
 
Menanggapi banyaknya kasus ini, I Putu Putra Jaya Wardana.SE.MsTr, Alumni Magister Transportasi Institut Teknologi Bandung, yang kerap memberikan komentar dan opini mengenai permasalahan transportasi di Bali memberikan komentar. 
 
Menurutnya, permasalahan ini merupakan dampak persaingan bisnis dalam sektor transportasi. Dengan hadirnya pesaing baru, membuat pendapatan penumpang taksi konvensional menjadi berkurang. Sehingga masing-masing mencari pembenaran dan kesalahan pesaingnya, yang pada akhirnya tidak akan memberikan solusi untuk permasalahan kemacetan di Bali.
 
Ketika diminta komentarnya mengenai perlukah adanya pemblokiran aplikasi taksi online, Putra Jaya menanggapi dengan menolak usulan tersebut. Sebab, menurutnnya dishub harusnya tidak terlena dalam permasalahan taksi online di Bali. Dishub harus berada pada posisi yang lebih kepada perencanaan awal yaitu memajukan transportasi publik berkelanjutan berbasis sistem transit yang dimiliki saat ini.
 
Menurutnya, permasalahan atas bentrok yang terjadi, bukan dikarenakan oleh aplikasinya melainkan tingkat harga (tarif) yang lebih murah. Tarif taksi konvensional sudah ditentukan oleh pemerintah, namun untuk taksi berbasis online tarifnya masih sesuai dengan jarak tempuh dan belum ada turut campur tangan pemerintah. Hal ini kemudian menjadi wajar jika taksi konvensional merasa lebih tersaingi diakibatkan ada beberapa biaya yang harus mereka keluarkan seperti biaya rutinitas KIR , biaya poll taksi, biaya asuransi penumpang, dan karyawan lainnya non supir. Sehinga, Ia berkesimpulan kesenjangan tarif inilah yang membuat masyarakat banyak berpindah menggunakan taksi berbasis online.
 
Terakhir, Putra Jaya menutup komentarnya sebagai berikut, "Menurut saya aplikasi online tidak perlu diblokir, melainkan hanya diperketat dalam pengoperasionalnya selama transportasi publik kita belum optimal. Salah satunya adalah supir taksi online harus ikuti semua aturan pemerintah, memiliki persyaratan mengemudi SIM A umum, dan dalam proses seleksi calon supir harus yang benar-benar memenuhi persyaratan dan tidak asal-asalan. Bila perlu di masing-masing daerah yang beroperasi dibangun kantor cabang operasional sehingga benar-benar terawasi oleh masing-masing pihak daerah,". [wrt] 

Reporter: -



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami