search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Sudah Urgenkah Pemilu dengan e-Counting?
Sabtu, 27 April 2019, 13:50 WITA Follow
image

Pemilu di Filipina menggunakan e-Counting (rappler.com)

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Pemungutan suara pemilu serentak tahun 2019 memang sudah berakhir 17 April lalu, dimana perhitungan di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) berlangsung hingga dini hari, namun perhitungan suara hingga tingkat pusat masih berlangsung dan menimbulkan keriuhan tersendiri.

[pilihan-redaksi]
Di Surabaya, Ketua DPC PKB Surabaya Musyafak Rouf mengungkap praktik kecurangan pada tingkat pemilihan legislatif di wilayahnya. Menurut dia, ada pelanggaran di 35 persen dari total 8.146 TPS Kota Surabaya."Data kami menunjukkan 35 persen form C1 salah hitung. Lalu ada 11 persen form C1 tidak wajar,"ujarnya seperti dikutip dari JPNN.com.

Aksi protes juga mewarnai rekapitulasi penghitungan ulang surat suara di PPK Kecamatan Lamongan, Senin (22/4/2019). Protes terjadi karena saksi salah satu parpol memprotes amplop C1 yang dalam keadaan tidak tersegel atau terbuka segelnya. Sebelumnya, Detik.com memberitakan pada Minggu (21/4/2019) malam, Muhtadi juga memprotes hasil rekapitulasi hasil penghitungan surat suara di PPK Lamongan. Pasalnya, Muhtadi menduga ada penggelembungan suara ke partai tertentu di TPS yang ada di Desa Sumberejo, Kecamatan Lamongan. Dari aksi protes ini, akhirnya sejumlah saksi dari parpol lain meminta untuk dilakukan penghitungan ulang.

[pilihan-redaksi]

Sementara itu, Bangka Pos memberitakan, hasil rekapitulasi suara di PPK Muntok diprotes oleh caleg Parta Golkar Nomor Urut 6, Liana Tirta Anda Lusia, dari Dapil Bangka Barat 1. Keberatan tersebut disampaikannya terkait hasil perhitungan rekapitulasi yang dilakukan oleh PPK Muntok tidak sesuai antara C1 hasil pleno dengan C1 plano (perhitungan di TPS) yang berada di TPS 1 Desa Belo Laut.

Di Kabupaten Majalengka, Caleg DPR-RI asal PDI Perjuangan, Sutrisno, memprotes adanya dugaan pengurangan raihan suaranya saat penghitungan suara. Dia mentebut memiliki bukti jika terdapat dua berkas C1, satu merupakan hasil perhitungan suara di TPS dan satu lagi palsu, seperti dikutip dari Radar Majalengka.

Di Gianyar Bali, seperti diberitakan TribunNews, temuan kesalahan input data terjadi di TPS 04, Petak Kaja, terdapat hanya 189 pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Dari 189 suara itu, ada 185 suara sah, dan 4 suara yang tidak sah. Yang menjadi keanehan adalah total suara yang di dapat Jokowi-Ma'ruf Amin, dimana dalam situng KPU yang dibuka pada Selasa (23/4/2019) pukul 09.00 WIB, Jokowi-Ma'ruf Amin memperoleh total 1833 suara. Sementara pasangan 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno hanya mendapatkan 2 suara.

Kejadian-kejadian terkait kekisruhan proses perhitungan suara memang marak terjadi di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Belum lagi informasi tentang jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia terus bertambah. Menurut komisioner KPU Viryan Aziz, jumlah petugas KPPS yang meninggal berjumlah 230 orang dan yang sakit mencapai 1.671 orang.

Penghitungan suara merupakan fase yang paling kritis dalam tahapan pemilu. Berbagai macam modus kecurangan dan manipulasi bisa terjadi pasca penghitungan suara di TPS.

Dugaan kecurangan dalam penghitungan suara di Pemilu 2019 terus menjadi sorotan. Modus yang paling banyak ditemui saat ini adalah penggelembungan suara dengan merubah form C1, sebagai basis data dasar yang dipakai untuk bukti berita acara perhitungan suara di level saksi partai hingga penyelenggara pemilu.

[pilihan-redaksi2]

Pemilu yang bersih dan berkualitas, memang suatu keharusan untuk menghasilkan proses politik yang benar-benar jujur, adil dan demokratis.Teknologi informasi saat ini diyakini dapat melakukan proses pemungutan dan perhitungan suara dengan efektif, efisien dan auditable. Melihat carut marut proses perhitungan suara pada Pemilu 2019, apakah pemilu yang akan datang sudah saatnya menggunaan teknologi informasi?.

Penggunaan teknologi informasi dalam pemilu sudah mendapatkan lampu hijau sejak keluarnya Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) no 147/PUU-VII/2009 yang menyatakan : “pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 adalah konstitusional bersyarat terhadap pasal 28 c ayat (1) dan (2) UUD 1945, sehingga kata “mencoblos” diartikan pula dengan e-voting dengan syarat kumulatif”. 

Selain itu, penggunaan teknologi informasi dalam pemilu juga diperkuat dengan adanya UU no 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dimana pada Pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah.

Pemahaman tentang e-voting lebih mengacu pada proses pemanfaatan perangkat elektronik untuk lebih mendukung kelancaran proses dan juga model otomatisasi yang memungkinkan campur tangan minimal dari individu dalam semua prosesnya (Smith dan Clark, 2005).

Syarat kumulatif yang dimaksud dalam amar putusan MK adalah Syarat pertama, tidak melanggar azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Syarat kedua, daerah yang menerapkan e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah tersebut, serta persyaratan lain yang diperlukan.

Melihat kedua syarat kumulatif tersebut, masih butuh waktu untuk dapat menerapkan e-voting dalam pemilu maupun pemilukada di Indonesia, namun keinginan untuk menghasilkan pemilu yang kredibel masih bisa dicapai dengan dukungan teknologi informasi pada proses perhitungan suaranya.

Jika melihat proses pemilu di TPS, maka ada dua proses utama yang terjadi, yaitu Pemungutan Suara dan Perhitungan Suara. Fase krusial terjadi pada proses perhitungan suara karena banyaknya campur tangan manusia, mulai level TPS, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi hingga Pusat. Pemanfaatan perangkat elektronik dapat diterapkan pada proses perhitungan suara dengan model otomatisasi (e-Counting).

Adakah negara yang sudah menerapkan e-Counting? Ada! Pada bulan Mei 2010 lalu, Filipina, negara tetangga kita, untuk pertama kalinya menggelar Pemilu yang perhitungan suaranya terkomputerisasi, lalu dilanjutkan kembali tahun 2016. Filipina memang punya sejarah kelam terkait manipulasi suara pemilu sehingga e-Counting merupakan solusi yang diharapkan mampu menekan kecurangan perhitungan suara pemilu tersebut.

Pemilu di Filipina tidak lagi mencoblos kertas suara, melainkan mengisi salah satu dari sejumlah kolom nama kandidat presiden dan anggota parlemen, yang sudah tercetak di sebuah kertas khusus, mirip seperti siswa yang mengerjakan soal-soal Ujian Nasional (UN). Setelah diisi menggunakan alat tulis, kertas itu akan dipindai (scan) oleh suatu perangkat komputer bernama Precinct Count Optical Scan (PCOS), yang langsung mendata pilihan dan mengirimnya ke pusat data.

Proses perhitungan suara dengan komputerisasi ini, selain meminimalkan campur tangan manusia sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan hitung, juga menekan terjadinya manipulasi perolehan suara oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, dan yang tak kalah pentingnya adalah hasil pemilu bisa diketahui dengan lebih cepat.

Penerapan e-Counting memang akan merubah cara masyarakat dalam memilih calon, dimana sebelumnya dengan cara mencoblos akan berubah menjadi menulis atau memberi buletan pada kolom calon yang dipilih.

Sebelumnya, kita sudah pernah punya pengalaman memilih dengan cara mencontreng dan mencoblos, tentunya memilih dengan menulis buletan bukanlah sebuah kesulitan. Esensi penandaan dalam pemilu pada prinsipnya adalah untuk mengoptimalkan kerja manusia dalam hal ini petugas pemilihan, maupun mempermudah proses penghitungan hasil perolehan suara. Sehingga tidak ada lagi korban jiwa akibat kelelahan dalam menjalankan tugas menghitung suara.

Pencoblosan, pencontrengan, penulisan atau mencolek layar sentuh memiliki prinsip yang sama, yaitu mempermudah perhitungan suara, sehingga penggunaan E-counting mestinya merupakan sebuah tahap transformasi metode pemilihan modern yang mengedepankan teknologi informasi namun tidak melanggar azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Pelaksanaan e-Counting tentu perlu disiapkan sejak awal, mulai dari kesiapan sumber daya manusia, perangkat teknologi informasi dan yang tak kalah urgennya adalah peraturan perundang-undangan yang memayunginya. Mari kita tanyakan kepada para Calon Anggota Legislatif yang terpilih dari Pemilu 2019 ini, apakah mereka akan merubah regulasi pemilu serentak karena tidak ingin kekisruhan perhitungan suara terjadi lagi dan tidak ingin lagi ada korban meningggal atau sakit akibat kelelahan di TPS, atau kekisruhan akan terulang dan terulang kembali?.

 

Oleh: I Putu Agus Swastika, M.Kom

Praktisi Teknologi Informasi, Implementor e-Voting di Jembrana (@guslongbanget)

Reporter: bbn/gus



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami