search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Soekarno Merancang Palangka Raya Terinspirasi Washington DC
Kamis, 1 Agustus 2019, 12:29 WITA Follow
image

bbn/detik.com

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Beritabali.com, Palangka Raya. Di tengah isu perpindahan Ibu Kota, Presiden Soekarno ternyata merancang dari awal tata kota Palangka Raya yang juga diresmikannya pada 1957 silam. 
 
[pilihan-redaksi]
Dikutip dari Detik.com, dengan kondisi Kota Palangka Raya yang sangat luas, Soekarno merancang tata kota Palangka Raya mulai dari poros tiang pancang dan bundaran besar di depan Istana Gubernur.
 
Pakar tata kota dan penulis buku 'Sukarno & Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya', Wijanarka, mengatakan secara konsep kota Palangka Raya dirancang sebagai kota baru dan modern dengan luas 20 kilometer (km) x 60 km, berbentuk seperti persegi panjang. Bentuk persegi panjang sendiri merupakan filosofi dari budaya dayak yang menyerupai Palangka, yakni tempat suci dalam budaya dayak.
 
Jadi bentuk persegi panjang itu dalam budaya dayak, itu menyerupai Palangka Bulau, makanya itu dinamai Palangka Raya, artinya adalah tempat yang suci, dilengkapi Raya yang artinya besar," katanya saat ditemui detikcom di Palangka Raya, Kamis (13/7/2017).
 
Secara administrasi, luas wilayah kota Palangka Raya juga sangat besar, mencapai 2.400 km2. Jumlah ini empat kali lebih luas dibanding luas wilayah DKI Jakarta sebesar 661,52 km2. 
 
Dari luasan tersebut, yang menjadi kawasan terbangun masih sekitar 60 hingga 70 km2. Di kawasan terbangun ini, Tugu Soekarno menjadi embrio atau awal pembangunan kota Palangka Raya.
 
Wijanarka menjelaskan, ada alasan tersendiri kenapa pembangunan pertama Kota Palangka Raya bukan dilakukan dengan peletakan batu pertama, melainkan pemancangan tiang. Hal ini dilakukan berdasarkan kearifan lokal suku Dayak yang membangun rumah harus ditancapkan tiang terlebih dulu. 
 
Selain itu, Soekarno juga menginginkan tiang tersebut menjadi analogi pembangunan yang modern, sesuai dengan konsep pembangunan kota di Washington DC dan negara-negara besar lainnya yang bergaya art deco. 
 
Desain art deco merupakan salah satu gaya arsitektur modern yang mberikan kebebasan berseni bagi desainer untuk menciptakan sebuah makna modern pada desain interior yang dibuatnya. Modern dapat diartikan sebagai berani tampil beda dan baru, serta tampil lebih menarik dari yang lain dan tidak kuno. Semua hal tersebut diwujudkan dengan pemilihan warna mencolok, proporsi yang tidak biasa, penggunaan material terbaru, dan dekorasi yang megah.
 
"Maka tadi, berupa rumah-rumah bertiang, walaupun perkantorannya tidak bertiang, jadi konsepnya itu modern. Jadi ingin menunjukkan bahwa Palangka Raya waktu itu sudah modern dengan batu bata, tidak bertiang, ada gaya-gaya art deco (seperti tower-tower), nah informasinya itu juga usulan dari Bung Karno," terang Wijanarka.
 
"Jadi pada saat tahun 1959 pada saat Bung Karno datang lagi ke sini, itu Bung Karno melihat kantor-kantornya agak monoton. Makanya disarankan untuk menambahi ornamen-ornamen tiang art deco itu supaya tidak monoton. Bung Karno juga gemar dengan gaya-gaya art deco, Bung Karno juga gemar dengan konsep polivium (bundaran silang banyak), Bung Karno juga senang dengan konsep desain mal Washington DC. Jadi jalan Yos Sudarso itu seperti seolah-seolah mal Washington DC nya," sambungnya.
 
[pilihan-redaksi2]
Keinginan Soekarno untuk menjadikan Palangka Raya sebagai suatu kota baru seperti Washington DC juga tampaknya disambut baik dengan keberadaan lahan basah (gambut dan danau) yang mengelilingi kota dan juga lahan kering, lokasi pembangunan.
 
"Di ibu kota seperti Washington DC dan Canberra itu memang memadukan danau atau lahan basah dan lahan kering dan bangunan-bangunan. Nah ini juga memadukan itu," ungkapnya.
 
"Jadi kalau kita melihat tren desain-desain ibu kota yang ada di luar negeri itu, selalu memadukan antara lahan basah dan lahan kering. Nah lahan gambut mungkin bisa dimanfaatkan sebagai RTH nya, lahan kering bisa sebagai hutan kotanya, sehingga itu adalah memadukan antara arsitektur dan lingkungannya itu," tukas dia. (bbn/rls/rob)

Reporter: bbn/rls



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami