search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Wabah, Riuh Ritual, dan Kita
Minggu, 20 September 2020, 01:50 WITA Follow
image

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Cara masyarakat Bali merespon wabah dalam konteks kebudayaan adalah dengan ritual. Otoritas negara bekerjasama dengan otoritas agama dan desa adat bersanding untuk merespon wabah, tidak hanya dengan unsur medis, tetapi juga dengan ritual tolak bala untuk menangkal grubug (wabah) yang menyerang. 

Wabah dengan demikian tidak hanya memiliki dampak dari segi kesehatan, tetapi juga mampu mengubah tatanan sosial masyarakat hingga memusnahkan suatu peradaban. Wabah-wabah yang terjadi di masa lalu, dalam peradaban Bali, memiliki dampak yang luar biasa bagi masyarakat. Hal itu tentu masih tersimpan dalam ingatan masyarakat terkait pengalamannya terhadap wabah. 

Tradisi lisan Bali menyebutkan wabah dengan gering. Gering adalah wabah penyakit atau serangkaian penyekait yang menyerang secara massif, beruntun, dan mematikan. Catatan dari media-media Belanda dari tahun 1816 hingga 1927 mencatat serangkaian gering yang terjadi di Bali. Salah satunya dalam media Bataviasche Courant, 26 Oktober 1816, Bataviaasch Nieuwsblad dengan judul Cholera op Bali, 8 Juni 1914, dimana dari rentangan waktu yang cukup lama, dari awal 1800an hingga 1900an (Nordholt, 2010). 

Terjadinya wabah dalam rentang waktu yang cukup lama menyebabkan gering tidak hanya menjadi kasus epidemi dari segi medis saja, tetapi juga memberikan pengaruh pada aspek sosio-kultural masyarakat Bali. Dampak dari wabah ini membawa Bali ke dalam masa-masa gelap yang penuh dengan penderitaan. Pada saat inilah wabah mengiringi terjadinya kelaparan, kemiskinan, dan kematian massal. 

Catatan sejarawah Schulte Nordholt (2010: 132) menyebutkan tentang wabah yang terjadi di Bali pada pertengahan tahun 1800an, tepatnya pada tahun 1981 dengan terjadinya wabah cacar di Klungkung. Pada tahun 1862 terjadi gagal panen di wilayah Bali selatan karena wabah tikus. Pada tahun 1863 terjadi wabah kolera dan cacar di Mengwi. Di Tabanan dan Mengwi panen gagal karena serangan hama tikus. 

Kolera dan disentri menjangkiti Buleleng, setidaknya 2.000 orang meninggal dunia. Pada tahun 1871, wabah cacar melanda selatan Bali dan diperkirakan 15.000 hingga 18.000 orang meninggal dunia. Pada tahun 1872-1873, wabah cacar kembali melanda. Daerah Mengwi terjadi wabah cacar dan menyebabkan 3.000 orang meninggal dunia dalam satu bulan. Di daerah Sempidi diperkirakan 700 hingga 1000 jiwa melayang. Pada tahun 1874, wabah kolera di Badung dan Mengwi menyebabkan sejumlah kematian yang serius. 

Pada tahun 1850, wabah cacar di Badung menyebabkan kematian sejumlah 4.000 dari Mengwi dan kemudian tersebar hingga ke Klungkung. Belum lagi wabah tikus yang juga melanda Bali selatan di tahun ini. Pada tahun 1885, wabah cacar Kembali menyerang wilayah Bali selatan yang diikuti dengan wabah kolera. Pada tahun 1888 ini terjadi gempa bumi dan kolera di Bali selatan.            

Riuh Ritual

Cara merespon wabah atau gering adalah dengan mengadakan ritual atau upacara. Diantaranya yang menjadi himbauan dari pemerintah adalah Nyejer Pejati dan Nasi Wong-Wongan di setiap rumah tangga masyarakat Hindu Bali. Nyejer Pejati dihaturkan di pelinggih (stana) Dewa di masing-masing keluarga, di Ida Betara Hyang Guru, para leluhur yang melindungi masing-masing keluarga. 

Banten (sesajen) yang dihaturkan di bawah sebelum pintu masuk rumah, umat menaruh nasi wong-wongan, tepatnya di lebuh pekarangan. Nasi wong-wongan atau orang-orangan itu berupa bagian kepala dibentuk dari nasi warna putih, tangan kanan nasi merah, tangan kanan nasi kuning, dan badannya nasi campuran dari beberapa warna dan kakinya nasi warna hitam. Lalu, di sekitar bentuk wong-wongan itu ditaruh ulam bawang, jahe, dan uyah (garam). 

Semua ini beralaskan ujung dari lembar daun pisang. Banten nasi wong-wongan ini agar dimakan butakala (simbol raksasa). Harapannya, butakala yang datang memangsa nasi ini sebagai ganti agar tidak memangsa si pemilik rumah. Tujuannya agar manusia kembali introspeksi dalam menjaga keseimbangan alam bumi.

Dharma Palguna (2007: 20-24) dalam esainya, “Mantra dan Polisi Adat” menyentak kita untuk tangar (waspada) dan sedikit sinis melihat kemajuan habat dalam kebiasaan ritual. Gelombang besar ritual menyebabkan apa yang dulu tidak ada, sekarang diadakan. Apa yang dulu samar karena bersifat rahasia, sekarang dipamerkan dengan vulgar. Apa yang dulu dilakukan diam-diam sendirian dalam kesunyian, sekarang dilakukan beramai-ramai dan diberikan di televisi. 

Ritual benar-benar peristiwa kolosal. Tidak mengherankan jika ritual kemudian menjadi pusat kehidupan, pusat perputaran ekonomi, serta negosiasi politik lainnya. Tapi ritual tidak selalu aman. Berbagai jenis kepentingan bertemu di sana, bahkan bertabrakan. Ritual telah menjadi sangat kompleks. Berbagai sungai kepentingan bermuara di sana, dari kepentingan ritual itu sendiri, sampai kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan ritual. 

Ekspresi ritual juga beraneka ragam. Pemujaan terhadap para Dewa juga berkembang pesat. Begitu banyaknya Dewa sehingga Dewa yang ada itu dibuatkan kahyangan oleh manusia. Karena banyak dewa maka dibuat banyak kahyangan. Ada kahyangan Dewa Gunung, kahyangan Dewa Surya, Dewa Pasar, Dewa Kematian, dan yang lainnya. Peradaban manusia berkembang, kahyangan pun dikembang-kembangkan. 

Kahyangan Dewa Gunung tidak lagi ada gunung, tetapi di tengah kota. Selain itu, perilaku orang pun beragam. Orang merasa sorga hatinya bila punya kahyangan sendiri, terlebih lagi bila kemegahan kahyangan fisik melebihi kemegahan batinnya. Sebaliknya, neraka hatinya bila kahyangan nya hancur. Orang yang masih hidup legih takut kalau tidak sembahyang di kahyangan Dewa Kematian (Pura Dalem) daripada tidak sembahyang di kahyangan dewi pengetahuan. Itulah sebabnya kebanyakan orang dan orang kebanyakan lebih takut kepada Bhatari Durga daripada Dewi Saraswati. Artinya mereka lebih takut pada kematian daripada kebodohan (Dharma Palguna, 2018: 7-10). 

Wabah dan riuhnya ritual yang menyertainya membuat kita berefleksi mendalam. Masa depan umat manausia ke depan, pasti akan dipengaruhi bagaimana kita bisa keluar dari kemelut pandemi Covid-19 ini. Wabah dan riuhnya ritual juga menjadi pembuka jalan bagi manusia untuk mengalami sekaligus menghayati apa yang terjadi selama ini pada diri dan lingkungannya. Keriuhan ritual bisa jadi hanya instrumen semata, bukan hakiki. Umat manusia ke depan sepatutnya menyandarkan refleksi dirinya bukan hanya pada ritual, tetapi juga pada pengetahuan yang akan menuntunnya mengantarkannya pada keheningan hati.          


I Ngurah Suryawan
Antropolog. Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, Universitas Warmadewa. 
Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC)

 

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami