Memupuk Perangai Ilmiah Sejak Dini
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Melalui ajang lomba ilmiah remaja, Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar menyemai bibit-bibit peneliti muda yang merupakan para remaja Denpasar di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Semenjak 2016 hingga 2020 para peneliti remaja ini mampu membuktikan kemampuan dengan meraih penghargaan di berbagai ajang lomba penelitian ilmiah internasional. Keberhasilan peneliti muda Denpasar tidak lepas dari program pengembangan penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Kota Denpasar melalui lomba penelitian Denpasar Festival dan Denpasar innovation award.
Salah satu strategi Pemkot Denpasar merangsang minat para peneliti remaja adalah dengan menyediakan hadiah Rp.10 juta – Rp. 20 juta. Peneliti remaja yang berpestasi juga mendapat kemudahan masuk ke sekolah negeri melalui jalur prestasi.
Target Pemkot Denpasar berikutnya adalah penyiapan laboratorium yang akan dipusatkan di Rumah Pintar Kota Denpasar. Sayangnya penyiapan laboratorium yang ditargetkan secara bertahap mulai tahun 2019 hingga pertengahan 2020 belum terealisasi.
“Padahal dari tren tahun ke tahun, justru kegiatan penelitian makin eksis dilakukan siswa-siswi Kota Denpasar. Jika pemerintah jeli akan dampak positif dari kegiatan penelitian ini bagi Kota Denpasar ke depannya mestinya memfasilitasi kegiatan penelitian di kota Denpasar,” kata Ketua Forum Peneliti Remaja (FPR) Denpasar Tjok Istri Sintawati saat dikonfirmasi di Denpasar (29/8).
Gadis kelahiran Denpasar, 12 September 2002 mengakui bahwa bagi peneliti remaja di Denpasar, laboratorium dengan peralatan memadai menjadi salah satu kendala dalam kegiatan penelitian. Kondisi ini menurutnya ibarat semangat meneliti menggebu-gebu di tengah iklim yang tak mendukung.
Keterbatasan laboratorium tak jarang menyebabkan peneliti remaja di Denpasar mengubah target penelitian, seperti yang dilakukan Ni Putu Diva Iswarani. Gadis kelahiran Denpasar, 15 Maret 2003 ini mengambil judul penelitian “Identifikasi Keragaman Morfologi dan Keragaman Sekuens Genetik Capung Jarum (Zygoptera) di Areal Persawahan Kota Denpasar”.
“Awalnya di penelitian ini maunya memakai tes DNA dgn metode PCR untuk mengetahui spesies capungnya yang memerlukan lab. Tapi kita tidak jadi menggunakan metode tersebut, hanya mengidentifikasi morfologi capungnya saja,” ungkap perempuan yang hobi menonton film fiksi tersebut.
Kreatif di tengah keterbatasan
Seorang guru yang juga pendamping Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) di SMPN 3 Denpasar Putu Sri Utami Dewi mengakui adanya keterbatasan peralatan laboratorium dalam mendukung kegiatan penelitian siswa. Permasalahan tidak terhenti pada kegiatan penelitian, untuk kegiatan praktikum guru dan siswa juga harus bersabar karena alat ukur sederhana seperti jangka sorong dan mikrometer skrup tidak tersedia di laboratorium.
“Kondisi sangat tidak mendukung, peralatan banyak yang rusak. Kalau ngajar ya tinggal pakai aplikasi flash yang tinggal geser-geser. Tidak jarang juga dibuatkan prototype sama suami,” ujar Utami.
Pembimbing penelitian siswa dari ekstrakurikuler Madyapadma Journalistic Park - SMAN 3 Denpasar I Wayan Ananta Wijaya mengakui tidak jarang mengajak siswa berpikir kreatif dengan membuat alat ukur sederhana walaupun tidak optimal. Solusi lain yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan ketersediaan peralatan laboratorium adalah memanfaatkan lab yang ada di kampus-kampus di Denpasar, bisa juga membeli sendiri dan tidak jarang harus menguji sampel hingga ke LIPI Jakarta. Siswa pada sisi lain juga harus menanggung biaya penelitian.
Masalah laboratorium untuk mendukung kegiatan penelitian dan praktikum siswa di sekolah tidak terhenti pada ketersediaan alat. Para siswa dan guru juga dihadapkan dengan laboran (petugas laboratorium) yang tidak sesuai dengan kompetensinya.
Tantangan bagi peneliti remaja Denpasar bertambah berat akibat alih fungsi laboratorium menjadi ruang kelas, seperti yang terjadi di SMAN 3 Denpasar. Kepala Sekolah SMAN 3 Denpasar Drs. Ida Bagus Sudirga menyampaikan tahun 2020 ini sekolah hanya memiliki empat ruang kelas dengan kuota siswa baru sebanyak 144 orang.
Edaran dari Gubernur Bali yang meminta sekolah menerima yang belum terakomodir dalam penerimaan siswa baru membuat sekolah mendapatkan tambahan 100 siswa baru. Akibatnya tiga ruang laboratorium diubah menjadi kelas untuk menampung siswa baru.
Siswa yang melakukan penelitian terpaksa menggunakan ruang ekstrakulikuler. “Mau tidak mau karena kondisi, untuk hal yang tidak bisa dilaksanakan di sekolah kita kerjasama dengan Unud, sesuai dengan jenis penelitian, cuma kita tetap berikan ruang kepada anak” ujar Sudirga.
Terkait pendanaan, Sudirga mengakui bantuan orang tua menjadi kunci pemberangkatan siswa ke ajang kompetisi penelitian. Apalagi selama ini, siswa SMAN 3 Denpasar umumnya berperan aktif dalam kompetisi penelitian di berbagai negara, Asia, Amerika hingga Eropa.
“Misalnya kita siapkan 200 juta, berapa kali nanti kegiatan itu, nanti dibagi. Berapa kelompok yang lolos, kalau banyak yang lolos tentu banyak biaya. Peran orang tua sangat membantu. Kalau orang tua tidak mampu ya sudah jadi anak tidak bisa berangkat,” papar Sudirga.
Ketersediaan Sarana Sebatas Mimpi
Kepala Bagian Humas dan Protokol Kota Denpasar, I Dewa Gede Rai menyatakan rencana penyediaan lab bersama terpaksa ditunda sampai batas waktu yang belum dapat ditentukan. Seluruh pendanaan saat ini difokuskan pada upaya penanggulangan pandemic Covid-19.
Dewa Rai menyampaikan penyediaan lab bersama adalah salah satu strategi untuk menarik minat remaja untuk meneliti, baik ditingkat SMP ataupun SMA. Lab bersama menjadi solusi di tengah pembagian wewenang pengelolaan pendidikan, dimana pengelolaan tingkat SMA menjadi wewenang provinsi dan tingkat SMP menjadi wewenang kabupaten/kota.
Guna menarik minat remaja meneliti, Pemkot Denpasar juga memfasilitasi dan mendanai keberangkatan peneliti remaja yang berlomba di tingkat nasional dan internasional. Hasil-hasil penelitian para remaja juga kembali dikaji dalam badan Litbang daerah untuk difasilitasi hak patennya.
“Seperti penelitian memanfaatkan sampah untuk membuat rompi anti peluru ini perlu penelitian dan uji coba sehingga dapat menghasilkan suatu produk yang betul teruji. Ini digodok lagi di badan Litbang untuk kemudian diasilitasi dan dipastikan, apakah kemudian layak dipatenkan,” jelas Dewa Rai.
Presiden Indonesian Invention and Innovation Promotion Association (INNOPA) Erricha Insan Pratisi mengungkapkan penyediaan sarana dan prasarana pendukung penelitian seharusnya bisa diselesaikan dengan cepat. Menurutnya permasalahan dan hambatan sangat mempengaruhi minat siswa untuk penelitian.
Berdasarkan catatan asosiasi yang memiliki kepedulian terhadap perkembangan dan promosi inovasi di Indonesia ini, ketersediaan sarana dan prasarana mempengaruhi minat siswa untuk mengikuti lomba penelitian.
“Ini juga kami perlu melihat data lagi, karena memang bisa dikatakan 90% peserta lomba INNOPA adalah dari Jawa,” jelas Erricha.
Erricha berharap sekolah dan pemerintah memberi dukungan sarana dan prasarana dan juga ketersediaan tenaga ahli. Tenaga ahli menjadi penting, karena meneliti kurang dianggap menarik bagi sebagian remaja dibanding bidang lain seperti seni atau olahraga. Tenaga ahli yang diharapkan bukan hanya mumpuni dalam bidangnya, tetapi juga mampu mengenalkan konsep penelitian engan cara menarik.
Dukungan moril dalam bentuk pengenalan juga penting agar siswa memahami keuntungan dan manfaat sebagai peneliti. Bentuk lainnya adalah pemberian apresiasi atas inovasi yang diciptakan para peneliti belia tersebut.
Iklim penelitian di perguruan tinggi
Permasalahan sama dialami oleh Dr. I Nengah Karnata saat menyelesaikan penelitian disertasi pendidikan doktor Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Karnata memilih untuk melakukan analisis polyphenol, lignin residu kentang di Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya (Unibraw). Pengujian karbohidrat, protein, dan lemak residu kentang di Laboratorium Pengujian Mutu dan Keamanan Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Unibraw.
Karnata mengakui saat melakukan analisis ke luar daerah banyak menghadapi tantangan, diantaranya pengiriman sampel yang memerlukan dana tambahan dan harga unsur yang dianalisis lebih mahal. Semua itu terpaksa ditempuh karena di Bali fasilitas pengujiannya tidak tersedia.
“Di Bali tidak semua ada, analisis di luar lebih cepat keluar hasil analisisnya lebih lengkap macam unsur yg bisa dianalisis dan lebih akurat hasilnya,” jelas Karnata yang merupakan Pembantu Rektor I Universitas Tabanan, Bali.
Berbeda dengan Mahasiswa Program Doktor Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana, I Made Sarjana yang mengalami kendala ketersediaan piranti lunak (software) analisis data. Harga software yang bisa mencapai diatas Rp. 20 juta sangat memberatkan.
“Agennya ada, harganya mahal tak terbeli secara personal dan bagian pengadaan alat lab kurang mengetahui kebutuhan peneliti sosial, karena pengadaan barang menggunakan sistem tender,” ujar Sarjana.
Situasi sangat berbeda diceritakan oleh peneliti Fakultas Hukum, Universitas Gajah Mada (UGM), Agung Wardana. Agung mengaku tidak mengalami kendala berarti dalam pendanaan dan ketersediaan peralatan saat melakukan penelitian. Selain tidak memerlukan software dalam penelitian hukum, UGM menurut Agung juga rutin menyediakan dana penelitian bagi dosen dan mahasiswa. Dana juga tersedia di tingkat fakultas, masih ditambah tawaran pendanaan dari Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Agung menyampaikan fasilitas ini memicu para dosen dan mahasiswa untuk berinovasi, ditambah lagi insentif yang cukup menggiurkan jika hasil penelitian kemudian terpublikasi pada jurnal ilmiah.
“Memang diarahkan untuk membuat jurnal akademik. Terus kalau publish di jurnal internasional ada insentif Rp. 20-30 juta tergantung rangking jurnal,” ungkapnya.
Tentu saja tak semua universitas punya kemampuan fasilitas dan dana setara UGM. Wakil Ketua I Forum Dosen Indonesia (FDI) Parwito mengakui kendala yang dihadapi mayoritas perguruan tinggi di luar Jawa adalah fasilitas dan dana. Kondisi yang lebih buruk umum dihadapi perguruan tinggi swasta, karena laboratorium yang tersedia kerap hanya untuk praktikum dasar.
“Kalau yang swasta lagi tidak ada alat yang memenuhi standar, kalau mau penelitian ya harus kolaborasi dengan universitas yang negeri,” paparnya.
FDI sebagai sebuah forum akademisi menurut Parwito, sangat beharap pemerintah mampu memberikan hibah peralatan laboratorium dan pendampingan, dengan prioritas perguruan tinggi di kawasan terdepan, terpencil dan tertinggal. Pemerintah juga diharapkan mampu menyediakan akses-akses pendanaan dari luar negeri, karena langkah ini dapat memberikan suntikan semangat bagi para peneliti.
Revitalisasi alat lab dan dana abadi penelitian
Pelaksana tugas, Deputi Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional, Muhammad Dimyati menyadari bahwa ditengah keterbatasan prasarana dan sarana laboratorium, Indonesia perlu melakukan revitalisasi peralatan laboratorium. Revitalisasi dipandang penting untuk mendukung ekosistem penelitian dan mendapatkan hasil lebih baik.
“Misalnya masalah mengukur , ukuran sekarang itu sudah sampai mikron untuk menghasilkan berbagai alat termasuk alat kecantikan. Kalau tidak dengan mikron ukurannya dampaknya terhadap wajah juga berbeda beda. Sementara alat-alat yang ada di lab-lab kita usianya lebih tua dari penelitinya,” jelas Dimyati.
Guna mendukung pengembangan ekosistem riset, pemerintah menurut Dimyati telah menyiapkan pendanaan melalui kema dana abadi. Pembentukan dana abadi ini diharapkan menambah anggaran dana riset dan ditargetkan pemanfaatannya pada akhir tahun ini.
“Dana abadi riset itu sekarang pengelolahanya masih dititipkan pada LPDP, karena biasanya dana abadi riset itu bisa dikelola setelah akhir tahun anggaran. Misalnya sekarang kita punya Rp. 5 triliun tahun 2020 ini, nanti setelah Desember baru kita bisa manfaatkan bungan dari 5 triliun itu” papar Dimyati.
Dimyati mengakui alokasi dana penelitian di Indonesia masih sangat kecil bila dibandingkan negara lain. Selain kecil, alokasi dana penelitian juga dominasi untuk gaji para peneliti , biaya perjalanan, anggaran rapat, belanja barang dan bahan. Tuntutan mencapai loncatan kemajuan inovasi ke depan, hanya dapat dicapai dengan memperbesar anggaran penelitian.
Reporter: bbn/mul