Perokok Pemula dari Anak hingga Remaja Cenderung Meningkat di Bali
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Data nasional menyebut antara tahun 2013 dan 2018 prevalensi perokok pemula (usia muda) antara umur 10-19 tahun meningkat dengan signifikan.
Sedangkan untuk di Bali juga telah terjadi peningkatan pada kelompok umur 10 sampai 14 tahun dari 0.2% menjadi 0.67%; dan pada kelompok umur 14 sampai 19 tahun dari 8.2% menjadi 9.8%.
Ketua Center for NCDs, Tobacco Control & Lung Heath (Udayana CENTRAL) Universitas Udayana, dr.Putu Ayu Swandewi Astuti MPH. PhD, mengatakan peningkatan perilaku merokok pada perokok pemula dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah iklan dan promosi rokok yang makin gencar dengan cara promosi yang menarik anak muda.
Promosi lebih banyak dilakukan dengan menjual pesan terkait gaya hidup, pertemanan, penggunaan bahasa gaul dan lain-lain. Promosi di berbagai media juga sangat gencar, masih bisa dilihat banyak iklan di luar ruang, di warung-warung, dan media internet sekarang menjadi media yang dibombardir oleh iklan rokok atau aktivitas kreatif yang didukung sponsor rokok.
"Selain itu ada juga penyebab lainnya seperti, harga rokok murah dan mudah diakses, tidak ada larangan membeli rokok bagi anak usia dibawah 18 tahun seperti yang diberlakukan di berbagai negara. Disamping itu pengaruh lingkungan, teman, anggota keluarga yang merokok juga menjadi faktor pendorong," paparnya, Minggu (7/2) di Denpasar.
Sampai saat ini, sosialisasi dan edukasi untuk bahaya merokok sudah dilakukan walau memang belum optimal dan media serta pesannya perlu disesuaikan dengan target audiensnya.
"Pemerintah juga telah memberlakukan Kawasan tanpa rokok, namun memang belum berjalan optimal. Selain upaya ini, mesti dibarengi dengan kebijakan yang lebih menyeluruh-mencakup larangan total iklan, promosi dan sponsor rokok, larangan pembelian rokok oleh anak dibawah 18 tahun, pelarangan penjualan rokok di seputar sekolah dan tempat anak-anak muda berkumpul," jelasnya.
Anak-anak bisa total terhindar dari rokok bila memang dilakukan pengendalian terhadap rokok dan produk alternatif lainnya dengan kebijakan yang kuat dan sinergis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jika dilihat ada sebanyak 183 negara di dunia telah menandatangani kesepakatan pengendalian produk tembakau dalam WHO Framework Convention for Tobacco Control (WHO FCTC), sayangnya pemerintah Indonesia tidak ikut menandatanganinya.
"Sehingga kebijakan pengendalian tembakau kita masih lemah, walau sudah menunjukkan kemajuan dibandingkan dua puluh tahun yang lalu," sebutnya. Kendala paling sulit dalam pengurangan perilaku merokok pada masyarakat Bali (ini mungkin juga termasuk daerah lain di Indonesia), adalah norma merokok yang masih dianggap “acceptable” padahal bukti kalau rokok itu berbahaya sudah sangat banyak. Ini memang salah satunya karena pengaruh promosi juga. Disamping itu,persepsi risiko masyarakat rendah,kalau memang belum mengalami sakitnya sendiri.
"Apalagi dampak merokok memang biasanya tidak serta merta menimbulkan kesakitan dan kematian, perlu waktu yang panjang. Coba tengok saja kepatuhan terkait pencegahan Covid-19 yang dampaknya terlihat segera saja masih ogah-ogahan, bagaimana dengan yang dampaknya lebih lama munculnya seperti merokok ini," ujarnya.
Reporter: bbn/aga