Inflasi Senyap di Denpasar: Tekanan Tak Terlihat di Balik Hiruk Pikuk Kota
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Setiap kali inflasi diumumkan, perhatian publik biasanya langsung tertuju pada harga bahan makanan. Beras, cabai, atau bawang merah sering menjadi headline karena cepat terasa di pasar.
Namun, rilis inflasi Kota Denpasar Agustus 2025 menyimpan cerita lain yang lebih penting: adanya inflasi senyap, yaitu tekanan harga pada kebutuhan dasar non-pangan yang jarang dibicarakan, tetapi diam-diam menggerus daya beli masyarakat.
Kenaikan biaya kesehatan sebesar 5,05%, misalnya, menambah beban rumah tangga di tengah kota yang menjadi rujukan layanan medis. Tarif dokter, harga obat, hingga vitamin semakin mahal, dan ini sulit dihindari, terutama bagi keluarga dengan anak kecil atau lansia.
Di sisi lain, kelompok perawatan pribadi mencatat inflasi tertinggi, 5,63%, pada barang-barang rutin seperti sabun, sampo, atau popok bayi. Kecil jika dilihat satu per satu, namun ketika dikumpulkan menjadi beban yang nyata setiap bulan.
Baca juga:
Denpasar Siapkan Strategi Tekan Inflasi 2025
Tak kalah berat, biaya pendidikan meningkat 3,58% dengan pendorong utama biaya sekolah menengah dan bimbingan belajar. Sebagai kota pendidikan sekaligus ibu kota provinsi, Denpasar menarik banyak siswa dari berbagai daerah. Namun, kenaikan biaya sekolah memperlebar jarak antara keluarga menengah dan miskin, karena pendidikan bermutu menjadi semakin sulit dijangkau.
Beban lain datang dari sektor perumahan. Sewa rumah naik 4,64%, mencerminkan tekanan urbanisasi Denpasar. Sebagai pusat administrasi, bisnis, dan pariwisata, kebutuhan tempat tinggal tinggi sementara lahan terbatas. Tidak heran biaya sewa melonjak, dan kelompok masyarakat yang tidak memiliki rumah sendiri merasakan dampak paling besar.
Ironisnya, semua dinamika ini terjadi di kota dengan garis kemiskinan tertinggi di Bali. Artinya, meskipun Denpasar kerap dilihat sebagai kota modern dan pusat pertumbuhan, masih banyak warga yang hidup di ambang kemiskinan. Inflasi senyap ini justru lebih berat bagi mereka, karena setiap kenaikan biaya kesehatan, sewa, atau pendidikan langsung mengurangi kemampuan mereka memenuhi kebutuhan dasar lain.
Memang ada sisi positif, seperti turunnya harga telepon seluler yang mendorong akses komunikasi lebih murah. Namun, penurunan ini porsinya kecil, jauh kalah dari tekanan harga di sektor-sektor rutin. Inilah yang membuat inflasi senyap berbahaya: tidak terlihat heboh, tetapi konsisten memperlebar kesenjangan sosial.
Baca juga:
Yang Tak Terlihat dari Inflasi Rendah
Rilis inflasi Denpasar Agustus 2025 dengan jelas mengingatkan kita bahwa inflasi bukan hanya soal cabai rawit atau harga beras. Justru kenaikan biaya hidup di sektor kesehatan, pendidikan, perawatan pribadi, dan sewa rumahlah yang menjadi alarm serius.
Sebagai ibu kota provinsi dengan garis kemiskinan tertinggi, Denpasar menghadapi tantangan ganda: menjaga pertumbuhan ekonomi sekaligus memastikan warganya mampu bertahan dari tekanan inflasi yang senyap namun nyata.
Penulis
Dr. Andri Yudhi Supriadi
Kepala BPS Kota Denpasar
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/opn