search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Kisruh Naiknya Harga Tiket Kunjungan Wisata ke Pulau Komodo
Selasa, 2 Agustus 2022, 13:15 WITA Follow
image

bbn/Kemenparekraf/Kisruh Naiknya Harga Tiket Kunjungan Wisata ke Pulau Komodo

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Kisruh naiknya tarif wisata ke Pulau Komodo dan Pulau Padar di Manggarai Barat, NTT semakin keruh. Hari ini (1/8/2022) para pelaku bisnis wisata di Labuan Bajo menggelar aksi mogok sebagai bentuk protes. 

Pemerintah provinsi NTT mengerahkan polisi dan brimob untuk menjaga keamanan, meski sejumlah pelaku aksi mogok dianiaya dan ditahan. Bagaimana sebaiknya pengelolaan situs warisan dunia seperti Pulau Komodo? Berikut uraian dari Sukma Winarya, mahasiswa doktoral pada University of Angers:

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan dukungannya untuk rencana penambahan tarif di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, yang akan berlaku pada 1 Agustus mendatang.

Penambahan yang dimaksud adalah adanya pengenaan tarif tambahan sebesar Rp 3,75 juta bagi pelancong yang ingin mendatangi Pulau Padar dan Pulau Komodo. Dalam kebijakan saat ini, wisatawan hanya perlu membayar Rp 150.000.

Jokowi menganggap ini adalah upaya menyeimbangkan aspek konservasi dan pariwisata yang berkelanjutan di TN Komodo. Dia juga sempat menyentil pentingnya perhitungan return (imbal balik) dari sederet proyek infrastruktur yang sudah dikeluarkan pemerintah di kawasan strategis pariwisata nasional tersebut.

Alasan ini mirip dengan dalih yang diungkapkan seorang pejabat pemerintah dalam wacana kenaikan tarif masuk kompleks Candi Borobudur di Jawa Tengah. Lantaran menimbulkan polemik, wacana ini pun kemudian dibatalkan.

Berkaca dari dua kejadian tersebut, pemerintah nampaknya berpandangan bahwa aspek tarif memegang kunci utama dalam mewujudkan target pariwisata yang berkelanjutan di situs warisan dunia. Padahal, pengembangan pariwisata yang terlalu bertumpu pada tarif berpotensi mengurangi akses kunjungan masyarakat baik lokal maupun mancanegara.

Pemerintah dapat belajar dari Pemerintah Perancis, yang juga mengelola situs warisan dunia, tapi justru bahkan tak mematok sepeser pun biaya kepada pengunjungnya.

Opsi berbayar atau tidak?

Badan PBB untuk urusan pendidikan dan kebudayaan, UNESCO, menyatakan, demi pembangunan yang berkelanjutan konservasi warisan budaya dan alam bersama dengan nilai universal yang luar biasa dapat dilakukan manajemen pariwisata yang tepat.

Pengelolaan situs warisan budaya yang berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan adalah upaya penyelarasan kepentingan ekonomi, sosial-budaya masyarakat, serta pelestarian situs berikut lingkungannya.

Terkait hal ini, komersialisasi dan konservasi situs warisan dunia adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan laporan UNESCO tahun 2014, situs warisan dunia memiliki risiko ancaman yang harus dikelola dengan cermat. Ancaman ini seperti kepadatan pengunjung yang melampaui daya tampung dan perilaku pengunjung yang tidak bertanggung jawab.

Di sisi lain, keberlanjutan sebuah situs warisan juga sangat ditentukan dari apresiasi pengunjung maupun masyarakat lokal terhadap nilai-nilai sejarah, budaya, sains hingga manfaat ekonomi. Apresiasi ini terwujud dalam bentuk kunjungan dan terbentuknya pariwisata sebagai sebuah industri.

Kunjungan wisatawan di lokasi situs dan daerah sekitar berkontribusi besar terhadap aspek pembangunan lokal yang mencakup keterlibatan masyarakat secara ekonomi, menjadi pemicu pengembangan infrastruktur daerah hingga pembiayaan konservasi situs.

Pertanyaannya, mungkinkah menemukan titik imbang dari komersialisasi dan kapasitas tersebut?

Pengelolaan situs warisan dunia Mont Saint Michel di Normandi, Perancis, dapat menjadi contoh.

Situs yang dibangun di tahun 708 ini terbentang di atas bebatuan seluas 98 hektar. Tiap tahun, situs ini didatangi sekitar 2,8 juta pengunjung.

Untuk memasuki situs ini, pengunjung tidak wajib membayar. Kawasan pariwisata ini bahkan terbuka 24 jam. Namun untuk memasuki tempat khusus, seperti gereja, pengunjung dikenakan biaya masuk sebesar 11 euro (setara Rp. 167.000).

Dari sini kita melihat bahwa pengenaan tarif tidak selalu menjadi opsi yang dipilih untuk memastikan aspek keberlanjutan sebuah situs warisan. Memastikan daya tarik kawasan sekitar seperti restoran, areal perkemahan, resort, fasilitas, dan aksesibilitas tampaknya menjadi pilihan yang diambil untuk mendapatkan kontribusi secara ekonomi dari pengunjung.

Meski demikian, tidak sedikit situs yang berbayar di Perancis, seperti Istana Versailles. Besaran tarifnya bervariasi mulai dari 18 euro (setara Rp. 273.000), hingga 108 euro (setara Rp. 1.639.000).

Adapun variasi ini tergantung dari pilihan paket kunjungan yang tersedia. Ada 13 paket yang bisa dipilih pengunjung berdasarkan bujetnya. Misalnya paket tanpa harus ikut antrean, ketersediaan audio visual berbagai bahasa, ditemani pemandu resmi yang profesional, tiket terusan situs sekitarnya hingga jamuan hidangan mewah ala kerajaan.

Variasi paket ini membuat pesona Istana Versailles tetap bisa dinikmati pengunjung dari berbagai kalangan di seluruh dunia. Tiap tahun situs ini kedatangan sekitar 10 juta pengunjung.

Sedangkan untuk memastikan pengelolaan situs yang berdasarkan konsepsi pembangunan berkelanjutan, tindakan terukur secara rutin dilakukan oleh pengelola dengan memublikasikan hasil kerja serta strategi-strategi untuk mencapainya. 

Publikasi ini tentu sebagai cerminan keseriusan pengelola terhadap nilai pembangunan berkelanjutan yang terintegrasi dalam strategi operasional mereka.

Dua contoh ini membuktikan bahwa pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan tak selamanya membutuhkan tarif yang tinggi. Alih-alih mematok harga selangit, akses gratis dan diferensiasi paket kunjungan ditambah dengan peningkatan daya tarik di sekitar situs menjadi pilihan mereka dalam pengelolaan situs-situs tersebut.

Sebaliknya, penetapan harga yang terlalu tinggi tanpa diimbangi dengan standarisasi kualitas pelayanan bisa berdampak buruk bagi pengalaman pengunjung. Perbandingan harga dengan nilai pelayanan tambahan seperti daya tarik, fasilitas, dan sulitnya aksesibilitas berpotensi memunculkan ulasan buruk terhadap suatu situs warisan budaya.

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami