search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Cerita Saksi Mata Letusan Gunung Agung Tahun 1963 (2)
Minggu, 15 Desember 2024, 20:53 WITA Follow
image

bbn/metta/ilustrasi/Cerita Saksi Mata Letusan Gunung Agung Tahun 1963 (2).

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, BANGLI.

Beberapa lama kemudian setelah Gunung Agung meletus, masih di tahun 1963, masyarakat banyak mulai merasakan akibatnya dari erupsi Gunung Agung tersebut. Tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanan mulai mengalami masalah. 

Satu per satu dan berkelanjutan, tanaman, tumbuhan menjadi mati. Panen padi maupun palawija gagal total dalam berkali-kali periode. Peristiwa alam ini menjadi sangat berpengaruh bagi kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat saat itu. Cadangan pangan dalam semua bentuk bukan hanya terbatas namun juga minus atau kekurangan. Perayaan hari suci dan upacara yang pada zaman itu biasanya berlangsung memang sangat sederhana, tetapi akibat bencana tersebut terselenggara dengan apa adanya.

Seingat saya orang tua saya tidak pulang kampung ke rumah asal di Klungkung saat ada upacara "piodalan" di kampung halaman. Hal tersebut berlangsung selama hampir 3 kali piodalan (kurang lebih 1,5-2 tahun). Setelah beberapa minggu atau bulan dari saat Gunung Agung meletus, maka mulailah tumbuh berbagai jenis penyakit, mulai dari penyakit kurang gizi, penyakit pernafasan, penyakit kulit, dan lain-lainnya.

Pada suatu saat di sore hari setelah beberapa hari atau minggu letusan Gunung Agung, ada sekelompok orang dengan tertatih-tatih datang ke Balai Banjar Kawan yang berlokasi persis di depan Rumah Sakit Umum Bangli (saat ini di jalan Kusumayudha Bangli). Setelah saya amati ternyata kebanyakan dari mereka menderita luka bakar seperti kaki melepuh dan ada juga yang sampai ke perut dan pinggang. 

Keadaan mereka sangat mengenaskan. Tidak berselang beberapa lama lagi beberapa kelompok orang yang terdiri anak-anak, dewasa dan orang tua laki dan perempuan juga masuk ke balai banjar. Pada saat itu balai Banjar Kawan hanya terdapat dua bangunan yang melajur ke barat di tepi jalan dan yang satu lagi bangunan yang sama memanjang dari utara ke selatan. Bangunan tersebut terdiri dari 8 pilar dengan kontruksi bangunan ada balai-balainya yang menyatu dengan pilar-pilar bangunan. Di balai-balai tersebutlah kelompok orang yang akhirnya saya tahu adalah pengungsi dari daerah terlanda lahar letusan Gunung Agung dibaringkan.

Setelah beberapa saat mereka berbaring di balai banjar kemudian dibawa satu persatu ke Rumah Sakit Umum Bangli yang ada persis di depan sebelah selatan balai banjar Kawan. Perasaan saya sangat miris dan sedih melihat kondisi mereka. Kebanyakan dari mereka mengalami luka bakar akibat terkena lahar panas yang melanda rumah atau desa mereka. 

Yang luput dari pengamatan saya adalah mereka dari desa mana, kapan kejadiannya dan bagaimana mereka semua bisa sampai di Bangli. Sungguh memprihatinkan, karena kebanyakan dari mereka mengalami luka bakar yang cukup serius. Walaupun sudah sebagian besar dibawa ke rumah sakit namun masih banyak yang tetap terbaring di balai banjar. Hal tersebut dikarenakan ruangan yang tersedia di rumah sakit tidak mencukupi.

Beberapa waktu kemudian mulai ada bantuan-bantuan yang masuk baik dari pemerintah pusat di Jakarta maupun organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau negara asing lainnya. Bantuan pada umumnya berbentuk kebutuhan pangan seperti gandum dalam kemasan 50 kilogram, jagung dalam kemasan 50 kilogram, ikan asin dalam kemasan kotak kayu, susu serbuk dalam kemasan 25 kilogram dan 5 kilogram, selimut warna abu-abu dan "zebra", obat-obatan dan kebutuhan lainnya.

Suasana pada saat itu makin hari semakin mencekam. Hari-hari senantiasa diwarnai dengan hujan abu yang sesekali diselingi dengan hujan pasir. Terkadang pula terjadi hujan air rintik-rintik, namun hujan ini bukan hujan air seperti biasa namun hujan ini bisa mengganggu kesehatan khususnya gangguan pada kulit karena air hujan ini bisa membuat kulit gatal-gatal. 

Kondisi alam seperti ini membuat masyarakat menjadi terhalang dalam melakukan kegiatan mereka masing-masing. Yang paling terpukul dengan kondisi alam seperti ini adalah di bidang pertanian dimana terjadi gagal panen dimana-mana dan malah banyak petani tidak bisa bercocok tanam karena areal persawahan atau tegalan diterpa dengan pasir dan abu.

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/psk



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami