Zaman Penjajahan Jepang, Warga Bali Pakai Baju Kulit Kayu
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Pada 8 Maret 1942, Belanda resmi menyerah kepada Jepang di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Sejak itu pemerintah kolonial Jepang berkuasa di Indonesia termasuk Bali. Jepang langsung mengumumkan kebijakan baru.
Baca juga:
Desa Tertua Dengan Peninggalan Sejarah Bali
Sebagian besar terkait mobilisasi logistik untuk mendukung operasi militer Jepang di Asia. Kebijakan Jepang ini juga terasa di Pulau Bali.
Pemilik sawah hanya boleh mengambil hasil panen untuk keperluan sendiri. Keperluan sendiri itu para petani ditetapkan sepihak oleh Jepang.
Semua sisa hasil panen harus diserahkan kepada pihak Jepang. Tak hanya itu, semua ternak sapi, babi, dan ayam milik penduduk juga harus diserahkan kepada pemerintah Jepang melalui badan Mitsui Busan Kaisha (MBK).
Meski Jepang mengklaim membeli ternak itu, namun penduduk tidak memperoleh uang tunai. Pemerintah Jepang mengklaim uang pembayaran otomatis ditabung di Bank Rakyat (Syomin Ginko).
Tak jelas kapan tabungan itu bisa diambil tunai. Kebijakan itu membuat rakyat menderita. Lumbung-lumbung padi kosong. Untuk bertahan hidup, rakyat harus menggunakan beras seirit mungkin.
Setiap keluarga memasak nasi campur ketela, jagung, atau daun singkong. Sudah hidup irit, pengawasan ketat tetap diberlakukan.
Setiap hari petugas Jepang mengontrol bahan pangan yang dipakai warga. Yang ketahuan makan berlebihan bisa dihukum.
Dalam Biografi Drs. I Nyoman Sirna MPH, "Sang Guru, Sebuah Memoar Tentang Perjuangan dan Pengabdian", yang ditulis Indrawati Muninjaya, Nyoman Sirna menuturkan, penderitaan warga bertambah karena sebagian lahan pertanian dialihfungsikan untuk keperluan lain.
Baca juga:
Penggalian Warisan Sejarah Pura Wasan
Penduduk dipaksa menanam kapas dan jarak. Semua hasil panen harus dijual kepada pihak Jepang. Meski menjual kepada Jepang, penduduk tetap tidak mendapat uang tunai.
Begitulah kehidupan warga Bali dan daerah lain di Indonesia saat jaman penjajahan Jepang. Semua hidup serba susah. Karena kehabisan uang, penduduk lama-lama kehabisan pakaian karena lapuk dan rusak.
Dimana-mana warga mulai menggunakan kulit kayu yang dibentuk agar bisa menutupi badan mereka. Meski bisa menutup badan dan melindungi dari hawa panas dan dingin, pakaian dari kulit kayu ini disenangi kutu.
Banyak warga mulai menderita sakit kulit. Lama kelamaan, di desa-desa warga mulai berpakaian setengah telanjang, hanya memakai celana dalam.
Di toko tidak ada obat-obatan, tidak ada sabun, baik sabun mandi atau cuci. Warga terkena berbagai penyakit mulai kadas, kurap, malaria, dan sebagainya.
Editor: Juniar
Reporter: bbn/tim