search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Resesi Seks, Angka Kelahiran Korsel Merosot Sampai Darurat Nasional
Rabu, 31 Januari 2024, 14:44 WITA Follow
image

beritabali.com/cnnindonesia.com/Resesi Seks, Angka Kelahiran Korsel Merosot Sampai Darurat Nasional

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DUNIA.

Angka kelahiran di Korea Selatan turun drastis pada 2023 hingga membuat negara tersebut darurat nasional.

Tingkat kelahiran di Korsel pada 2023 dilaporkan hanya mencapai 0,72. Ini merupakan angka yang belum pernah terjadi sebelumnya di antara negara-negara di dunia.

Pada 2021, rata-rata tingkat kelahiran di negara-negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) mencapai 1,58.

Financial Times melaporkan dengan kondisi ini, populasi Korea Selatan diprediksi berkurang setengahnya pada tahun 2100 menjadi hanya 24 juta.

Pada 2022, hanya ada 249 ribu bayi yang lahir di Korea Selatan. Padahal, Korsel butuh minimal 500 ribu bayi untuk menggerakkan pasar tenaga kerja mereka.

Tingkat kelahiran yang rendah ini mengingatkan kembali dengan situasi Korsel pada 2005 silam, kala tingkat kelahiran jatuh ke angka 1,2 untuk pertama kalinya.

Kondisi itu pun mendorong pemerintah menggenjot jumlah kelahiran salah satunya dengan membentuk Komite Presiden tentang Masyarakat Lanjut Usia dan Kebijakan Kependudukan.

Pemerintah juga mulai menggelontorkan hibah langsung bagi mereka yang melahirkan bayi.

Menurut Financial Times, kampanye keluarga kecil pada 1970-an dan 1980-an memainkan peran dalam penurunan angka kelahiran di Korsel.

Saat itu, slogan Korea Selatan adalah "Satu anak per keluarga masih terlalu banyak untuk Korea."

Kendati begitu, para ahli sepakat bahwa ada dua hal yang menyebabkan kondisi ini. Di antaranya biaya pendidikan dan biaya tempat tinggal yang terlampau tinggi.

Pasangan-pasangan muda diduga takut dengan dua keadaan ini sehingga memutuskan tak mau memiliki anak dan membesarkan anak.

Menurut Jaemin Lee, profesor hukum di Universitas Nasional Seoul selaku penulis artikel Financial Times, pemerintah Korsel sebetulnya bisa saja menemukan cara untuk mengatasi masalah biaya perumahan. Beberapa di antaranya dengan mengontrol harga perumahan melalui pajak dan izin konstruksi.

Agen juga bisa menawarkan paket preferensi kepada keluarga yang memiliki anak kecil melalui undang-undang dan peraturan khusus. Meski sulit dan mahal, namun hal ini masih bisa diupayakan.

Lain hal dengan persoalan sekolah. Sejumlah besar anak-anak Korea Selatan mengikuti lembaga pengajaran swasta, terlepas dari apakah mereka mengenyam pendidikan di sekolah umum atau tidak.

Pada 2022, Korsel mencatat pengeluaran uang sekolah tertinggi untuk pendidikan swasta, yang menghabiskan hampir 20 miliar USD atau setara Rp316 triliun.

Angka ini bahkan tidak menunjukkan gambaran lengkap seperti biaya buku, peralatan tulis, konseling, dan makanan.

Menurut laporan yang dirilis Federasi Industri Korea pada Desember 2023, sebanyak 26 persen dari penurunan drastis tingkat kelahiran antara 2015-2022 dikaitkan dengan mahalnya biaya pendidikan swasta bagi calon orang tua.

Masalah ini sulit diperbaiki karena begitu terkait dengan budaya Korea Selatan. Masyarakat Korea Selatan sangat kompetitif.

Butuh waktu untuk bisa menekan penurunan angka kelahiran dengan mengubah perilaku ini.

Kendati begitu, kecerdasan buatan dan digitalisasi dinilai bisa membantu mengurangi biaya pendidikan swasta. Program pendidikan berkemampuan Artificial Intelligence (AI) dapat menggantikan program konvensional di lembaga pengajaran.

Digitalisasi juga bisa membantu membuat pendidikan swasta lebih mudah diakses oleh keluarga miskin. Namun, hal ini pun tak lepas dari ancaman baru yang harus diperhatikan. Bisa jadi muncul persaingan lebih lanjut di antara anak-anak.

Selain Korsel, beberapa negara lain juga mengalami masalah serupa dengan merosotnya angka kelahiran.

Prancis, misalnya, yang awal bulan ini mencatat tingkat kelahiran terendah dalam hampir tiga dekade pada 2023 dengan angka 1,68.(sumber: cnnindonesia.com)

Editor: Juniar

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami