search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Bali Sapi Perah Pusat? Bagi Hasil Pariwisata dan Pertambangan Berbeda
Rabu, 6 November 2024, 17:29 WITA Follow
image

beritabali/ist/Bali Sapi Perah Pusat? Bagi Hasil Pariwisata dan Pertambangan Berbeda.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Tim Strategis Pemenangan Mulia-PAS Gede Pasek Suardika (GPS) menanggapi terkait beredarnya narasi yang memprovokasi masyarakat Bali untuk menuntut pembagian dana lebih besar dari perolehan devisa sektor pariwisata. 

Narasi tersebut menilai Bali hanya dimanfaatkan sebagai "sapi perah" oleh pemerintah pusat, tanpa memberikan kompensasi yang layak atas hasil pariwisata dan budaya yang ada di Pulau Dewata.

Advokat yang juga tim pemenangan pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Bali Made Muliawan Arya-Putu Agus Suradnyana (Mulia-PAS), dengan tegas menanggapi narasi tersebut. Menurutnya, sektor pariwisata memiliki mekanisme yang berbeda dengan sektor pertambangan dalam hal pembagian hasil. 

"Pendapatan dari pariwisata sudah beredar langsung di masyarakat. Ketika wisatawan datang, uangnya langsung dinikmati oleh pelaku sektor pariwisata di Bali—mulai dari hotel, restoran, destinasi wisata, transportasi, hingga pramuwisata," ujar GPS. 

"Pemerintah pusat tidak 'menarik' uang itu secara langsung, melainkan lewat pajak-pajak seperti PPh, PPN, dan di daerah melalui PHR (Pajak Hotel dan Restoran)," tambahnya.

GPS menegaskan bahwa keberadaan pemerintah justru memfasilitasi sektor pariwisata dengan menyediakan sarana dan prasarana penting, seperti bandara, jalan, serta sistem keamanan yang membuat masyarakat Bali bisa bekerja dengan aman dan produktif. 

Menurutnya, pariwisata memberikan manfaat langsung yang jauh lebih merata bagi masyarakat Bali, dibandingkan dengan sektor pertambangan yang sering kali mengandalkan ekspor hasil tambang terlebih dahulu sebelum pajak-pajak dan bagi hasilnya masuk ke kas negara.

"Bali seharusnya tidak disebut diperas oleh pemerintah pusat. Uang dari pariwisata sudah beredar luas di masyarakat, dan sektor-sektor lain, seperti pertanian, peternakan, dan UMKM juga merasakan dampaknya," tambah GPS. 

Dia juga menjelaskan bahwa tidak semua perusahaan besar yang beroperasi di Bali memiliki kantor pusat di Bali, yang mempengaruhi skema pembagian hasil pajak.

Dalam pandangan GPS, untuk meningkatkan alokasi anggaran dan perhatian dari pemerintah pusat untuk Bali, dibutuhkan pemimpin yang bisa berinovasi dan menjalin hubungan baik dengan pemerintah pusat, sambil terus memperjuangkan peningkatan dana sektor pembangunan. 

"Tidak ada salahnya jika wakil rakyat Bali di DPR RI memperjuangkan lebih banyak anggaran untuk Bali, terutama dalam hal bagi hasil dari sektor pariwisata," jelasnya.

GPS juga mengingatkan bahwa perbandingan antara bagi hasil sektor pariwisata dan sektor pertambangan tidak relevan, karena skema penghasilan keduanya sangat berbeda. 

"Jangan membandingkan bagi hasil pertambangan dengan bagi hasil pariwisata. Beda skemanya. Kalau mau dapat lebih besar, silakan wakil rakyat DPR RI yang memperjuangkan di UU hubungan keuangan pusat dan daerah agar bagi hasil PPN PPH dan lainnya dari sektor pariwisata bisa lebih ditingkatkan," jelasnya.

GPS mengungkapkan pemerintah pusat hanya mengikuti UU dalam melakukan pembagian tersebut. Pertanyaan yang ia ajukan justru tertuju kepada wakil rakyat Bali yang terbanyak di pusat, kenapa mereka tidak berjuang agar dana bagi hasil dari pariwisata bisa lebih ditingkatkan.

"Siapa wakil rakyat Bali yang terbanyak di pusat? Kenapa mereka tidak berjuang agar ini bisa masuk?" singgungnya.

Editor: Robby

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami