Cerita Pemberantasan Buta Huruf dan Kurang Gizi di Bali Tahun 1950-an
bbn/ilustrasi/Nelson Dharmawan/Cerita Pemberantasan Buta Huruf dan Kurang Gizi di Bali Tahun 1950-an.
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Pada tahun 1950 an, hal yang menjadi prioritas bagi pemerintah Indoneasia adalah "pemberantasan buta huruf" atau PBH. Banyak sekali masyarakat dewasa dan yang sudah berumah tangga pada saat itu buta huruf karena mereka tidak mengenyam pendidikan.
Untuk menanggulangi masalah tersebut maka pemerintah membentuk satuan sukarelawan di tiap-tiap desa. Teknisnya ada beberapa cara atau media yang dipergunakan antara lain: 1. PBH di balai banjar secara periodik. 2. PBH di jalanan pada saat hari pasaran (3 hari sekali). Cara ini dibilang sangat unik dan membuat ibu-ibu atau bapak-bapak yang ke pasar menjadi "ketakutan".
Baca juga:
Bali Ternyata Pernah Keluar dari NKRI
Ketika mereka melintas di suatu tempat menuju pasar, contohnya di tempat saya, di sebelah timur Rumah Sakit Bangli yang lama, ada sekelompok relawan bertugas dengan papan tulis yang sudah ada tulisan abjad dengan beberapa kata baku. Mereka yang hendak lewat ke pasar dicegat dan disuruh membaca abjad atau huruf-huruf yang tertulis di papan. Bagi yang sudah bisa membaca maka mereka bisa lanjut ke pasar.
Sedangkan bagi yang tidak bisa membaca maka diwajibkan mengikuti intruksi relawan untuk membaca huruf dan kata-kata yang tertulis di papan tulis. Demikianlah aktivitas ini berjalan sampai beberapa waktu atau tahun kedepan.
Disamping program PBH (Pemberantasan Buta Huruf), juga ada penyuluhan kesehatan bagi masyarakat. Kondisi kesehatan masyarakat pada saat itu sangat rawan. Banyak jenis penyakit yang diderita oleh masyarakat pada umumnya antara lain: cacingan, bisul, gatal pada kulit, malaria, HO (Hangar Odim) alias kekurangan makanan dan gizi, dan lain-lainnya.
Pada saat itu masyarakat belum mengenal Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Yang ada pada saat itu adalah "Jawatan Malaria" yang berlokasi disamping rumah sakit. Mungkin saat itu penyakit malaria yang paling berbahaya sehingga pemerintah melakukan pencegahan dengan pengobatan dan membentuk Jawatan Malaria. Rumah-rumah penduduk pada saat itu disemprot di setiap ruangannya dengan cairan yang lazim disebut "endrin' atau DDT. (sumber: buku bali jaman dulu)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/psk