Ketika Kecemasan Menjadi Pergulatan Kerapuhan Batin
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Seorang laki-laki berusia 25 tahun datang ke Poliklinik Jiwa atas rujukan dokter spesialis urologi dengan keluhan nyeri hilang timbul saat berkemih serta keluarnya cairan bening dari kemaluan.
Keluhan ini telah berlangsung sekitar empat tahun sehingga ia beberapa kali memeriksakan diri ke berbagai poli urologi, namun hasil pemeriksaan selalu dinyatakan normal. Meski demikian, ia tetap terobsesi untuk kembali memeriksakan diri. Rasa cemas muncul setiap sebelum dan sesudah berkemih, terutama bila nyeri timbul atau terlihat cairan keluar.
Sejak satu bulan terakhir, kecemasan semakin sering muncul bahkan saat beraktivitas maupun beristirahat. Ia khawatir menderita penyakit berat, merasa tidak normal, dan takut dianggap mengalami ejakulasi dini. Kekhawatiran terbesar adalah tidak mampu memuaskan istri secara batiniah, sulit memiliki anak, serta masa depan pernikahan yang suram.
Kondisi ini semakin memberat karena dalam waktu dekat ia berencana melamar pacarnya. Keluhan cemas disertai gejala fisik berupa berdebar, nyeri dada seperti tertusuk, sesak, dan ketegangan di leher.
Ia juga sering merasa bersalah karena mengaitkan keluhan dengan kebiasaan masturbasi di masa remaja yang diyakininya sebagai dosa, sehingga muncul perasaan seperti dihukum Tuhan. Selain itu, muncul rasa putus asa, gangguan konsentrasi saat bekerja, serta kesulitan tidur berupa susah memulai tidur, sering terbangun, dan sulit tidur kembali sejak seminggu terakhir.
Saat terjaga, pikirannya kembali dipenuhi kecemasan mengenai sakitnya serta ketakutan apakah pacarnya dapat menerima dirinya.
Dalam keseharian, ia dikenal suka bergaul, rajin, perfeksionis terhadap kebersihan, namun juga cenderung pencemas. Ia lebih nyaman berteman dengan orang yang menyukainya, jarang berbagi masalah, dan memilih mengatasinya sendiri. Untuk mengalihkan pikiran, ia biasanya berolahraga atau memancing serta menghindari konflik.
Kecemasan yang nyata dan membebani
Secara klinis, fenomena yang dialami laki-laki ini dapat dikategorikan dalam spektrum gangguan somatoform. Ia mengalami gangguan hipokondriasis, di mana perhatian berlebihan terfokus pada sensasi tubuh yang normal atau ringan, tetapi diinterpretasikan sebagai tanda penyakit serius.
Pada kasus ini, keluhan urologis berperan sebagai pemicu, tetapi masalah yang dominan adalah pola pikir cemas, rasa bersalah, dan ketakutan akan masa depan. Situasi menjadi semakin berat karena ia sedang berada dalam fase perkembangan dewasa awal, di mana salah satu tugas perkembangan utama adalah membangun hubungan intim yang stabil dan mempersiapkan pernikahan.
Ketakutan tidak bisa menjadi laki-laki yang sempurna bagi calon istri memperkuat kecemasannya. Intinya, bukan gejala fisik yang menjadi masalah utama, melainkan cara berpikir dan rasa cemas yang menyertainya. Ia terjebak dalam lingkaran pikiran obsesif dimana keluhan fisik menimbulkan rasa cemas, kemudian rasa cemas memperkuat keluhan fisik, lalu keluhan fisik semakin diyakini sebagai tanda penyakit. Lingkaran ini berlangsung terus-menerus.
Kecemasan yang dirasakannya bukan hanya pikiran, tetapi juga keluhan fisik yang nyata. Dada berdebar, dada terasa tertusuk, sesak napas, dan leher terasa tegang menjadi keluhan sehari-hari yang memperkuat keyakinannya bahwa ada penyakit serius yang sedang dialami. Lebih jauh, ia juga mengalami perasaan bersalah yang besar.
Ia meyakini bahwa sakitnya mungkin merupakan hukuman Tuhan atas kebiasaan masturbasi di masa remaja. Dalam keyakinannya, masturbasi adalah dosa, sehingga ia menafsirkan keluhan yang muncul sebagai balasan atas perbuatannya. Pikiran ini semakin menambah beban psikis, membuatnya putus asa, sulit berkonsentrasi saat bekerja, serta mengalami gangguan tidur.
Tidurnya menjadi tidak nyenyak, ia sering terbangun, dan ketika terjaga pikirannya kembali dipenuhi oleh pertanyaan: apakah dirinya sakit atau tidak, apakah pacarnya kelak akan menerima kekurangannya, dan apakah ia mampu menjadi suami yang membahagiakan.
Dari sisi kepribadian, ia dikenal sebagai sosok yang rajin, suka bergaul, dan perfeksionis dalam hal kebersihan. Ia tidak tahan melihat sesuatu yang berantakan, bahkan merapikan kamar yang bukan miliknya sekalipun. Namun, sifat perfeksionis ini diiringi dengan kecenderungan cemas. Ia lebih nyaman berteman dengan orang yang menyukainya, dan cenderung menghindari mereka yang dianggap tidak ramah.
Ia jarang menceritakan masalah kepada orang lain, lebih memilih memendam sendiri agar tidak merepotkan. Ketika menghadapi tekanan, ia biasanya melampiaskannya dengan berolahraga atau memancing. Pola penghindaran konflik ini membuatnya tampak tenang di permukaan, tetapi sesungguhnya menyimpan banyak kegelisahan di dalam dirinya.
Faktor biologis tetap patut dipertimbangkan, meskipun bukan penyebab utama. Beberapa orang memang memiliki sensitivitas saraf lebih tinggi sehingga lebih mudah merasakan nyeri atau sensasi tubuh yang ringan. Sistem saraf otonom yang hiperaktif juga dapat menimbulkan gejala fisik khas gangguan kecemasan, seperti berdebar, sesak, dan tegang otot. Kecenderungan genetik terhadap gangguan cemas mungkin turut berperan. Namun, jelas bahwa masalah biologis bukanlah faktor dominan, melainkan hanya lahan subur yang memperkuat gejala yang muncul.
Konflik dan kerapuhan dalam diri serta trauma yang membayangi
Dari perspektif psikodinamika, kasus ini memperlihatkan konflik yang dalam antara dorongan seksual dan superego moral. Sejak remaja ia terbiasa masturbasi, namun keyakinan agama membuatnya menilai hal itu sebagai dosa. Maka muncullah konflik antara id yang mendorong pemuasan seksual, dan superego yang menuntut kepatuhan moral.
Ego yang bertugas menyeimbangkan tidak mampu mengatasi konflik ini, sehingga gejala kecemasan muncul sebagai jalan keluar. Mekanisme pertahanan ego yang terlihat antara lain somatisasi, di mana konflik batin dialihkan ke dalam keluhan fisik berupa nyeri dan cairan kemaluan sebagai sebuah obsesi dan kompulsi, yang tampak dari dorongan untuk berulang kali memeriksakan diri serta proyeksi rasa bersalah, ketika ia meyakini sakitnya adalah hukuman dari Tuhan.
Perfeksionisme terhadap kebersihan juga menunjukkan corak kepribadian anal-retentif, yang dalam teori psikodinamika dapat berkembang menjadi kecemasan ketika realitas tidak sesuai dengan standar diri yang kaku.
Terdapat kerapuhan kohesi dalam nilai diri. Ia memperlihatkan gangguan dalam tiga aspek kebutuhan narsistik dasar. Pertama, pada aspek mirroring, ia membutuhkan validasi dan pengakuan bahwa dirinya sehat serta normal secara seksual. Obsesi berulang untuk memeriksakan diri ke dokter meski hasilnya selalu normal adalah cerminan kebutuhan akan cerminan eksternal yang tidak pernah terpenuhi.
Ia terus mencari kepastian dari luar, tetapi tidak pernah merasa cukup tenang di dalam dirinya. Kedua, pada aspek idealizing, terlihat bahwa figur ideal yang seharusnya memberikan rasa aman justru diinternalisasi sebagai sosok menghukum. Keyakinan bahwa masturbasi masa remaja adalah dosa membuatnya merasa sakit yang dialami adalah hukuman dari Tuhan.
Hal ini menghambat fungsi selfobject idealizing yang biasanya memberikan perlindungan dan ketenangan. Ketiga, pada aspek twinship, ia menunjukkan kesulitan untuk merasa sama dan diterima apa adanya. Ia lebih nyaman berteman dengan orang yang menyukainya, menghindari mereka yang tidak ramah, serta jarang membagikan masalah pribadi.
Pola ini membuatnya merasa terisolasi dan takut ditolak, termasuk oleh calon pasangan, bila ketidaksempurnaannya terbuka.
Kerapuhan pada ketiga aspek ini menjelaskan mengapa ia mudah terjerat dalam lingkaran kecemasan mengenai kesehatan dan masa depan. Ia mencari validasi eksternal tanpa bisa menenangkan diri sendiri, kehilangan figur ideal yang menenangkan, serta merasa kesepian dalam menghadapi masalah.
Jika menengok masa lalu, meskipun tidak ada trauma besar seperti kekerasan atau pelecehan, terdapat beberapa microtrauma yang berulang. Rasa bersalah akibat masturbasi yang dianggap dosa adalah bentuk trauma psikoseksual yang meninggalkan jejak panjang hingga dewasa.
Kebiasaan menghindari konflik dan menyimpan masalah sendiri juga mungkin terbentuk dari lingkungan keluarga yang tidak memberi ruang aman untuk berbicara. Trauma kecil seperti ini, bila berulang, dapat sama kuatnya mempengaruhi kesehatan mental.
Menutup trauma dan membuka lembaran baru
Kasus ini memberi pelajaran bahwa gejala fisik ringan dapat berubah menjadi penderitaan psikis berat ketika bercampur dengan kecemasan, rasa bersalah, perfeksionisme, dan ketakutan akan masa depan. Menutup trauma bukan berarti melupakan sepenuhnya apa yang pernah terjadi, melainkan menerima bahwa peristiwa itu adalah bagian dari perjalanan hidup, namun tidak lagi mengendalikan masa depan.
Langkah awal adalah menyadari dan mengakui luka yang ada. Banyak orang mencoba mengabaikan atau mengubur pengalaman menyakitkan, tetapi semakin ditekan, trauma justru semakin kuat memengaruhi pikiran dan tubuh. Dengan berani menamai rasa sakit entah berupa rasa bersalah, ditolak, atau kehilangan kita mulai memberi ruang untuk pemulihan dan membuka lembaran baru.
Latihan meditasi, olahraga, dan aktivitas kreatif dapat membantu menyalurkan energi emosional ke arah yang lebih sehat. Penting juga untuk berbicara dengan orang terpercaya atau tenaga profesional, karena dukungan eksternal mempercepat proses pemulihan. Hidup tidak lagi ditentukan oleh apa yang telah terjadi, melainkan oleh bagaimana kita memilih melangkah ke depan.
Dengan menerima masa lalu, memberi makna pada luka, serta berani membangun kembali harapan, kita bisa menemukan kembali kebebasan batin untuk menjalani hidup dengan lebih ringan dan penuh makna. (Oleh: Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS).
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim