search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
ICW: Korupsi Berlangsung Secara Sistemik
Kamis, 22 Desember 2011, 21:57 WITA Follow
image

beritabali.com

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com,Denpasar. Korupsi nampaknya telah begitu berurat akar di Indonesia. Korupsi Korupsi merambah berbagai bidang dan tingkatan. Harus dilakukan tindakan-tindakan extraordinary yang melibatkan lembaga negara, pemerintah, dan seluruh warga negara secara terus-menerus.

Hal ini yang menjadi benang merah Seminar Nasional “Sejahtera Tanpa Korupsi” sekaligus Deklarasi berdirinya Sunda Kecil Institute, di Inna Hotel Denpasar pada Rabu (21/12/2011).

Seminar yang mengundang Agus Tjondro (mantan anggota DPR RI, whistle blower kasus suap dalam pemilihan jabatan direktur senior Bank Indonesia di DPR RI), Adnan Topan Husodo (Wakil Koordinator Indonesian Coruption Watch-ICW), dan Gunadjar, SH. (Direktur Eksekutif Sunda Kecil Institute-SKI) ini dan dihadiri kurang lebih 150 orang, berlangsung menarik.

Agus Condro mengatakan,”Praktek suap berupa jual beli kewenangan pengawasan legislatif terhadap eksekutif maupun kalangan swasta korporat juga terjadi di legislatif.” Dia mengibaratkan, “Baunya menyengat tapi sulit dibuktikan.”

“Korupsi terjadi di parlemen, salah satunya diakibatkan oleh mahalnya biaya politik selama masa rekrutmen, kampanye, hingga merawat konstituen dan gaya hidup mewah para politisi.”

Agus mencontohkan, “Dulu kegiatan partai maupun politisinya biasa diselenggarakan di tempat-tempat yang murah seperti asrama haji, namun kini sebagian besar parpol mengadakannya di hotel-hotel berbintang dengan biaya yang tinggi.”

Di sisi lain, sumber keuangan partai tidak mengandalkan iuran anggota. Tidak heran apabila para pengusaha atau pejabat publik dengan mudah mengucurkan dana ke parpol dengan kepentingan timbal balik.

Agus Condro menambahkan, “Demikian juga dengan lifestyle. Kalau dulu untuk berdiskusi kita cukup di angkringan (penjual makanan keliling). Sekarang di cafe. Kalau dulu sewaktu masih tiga partai, cukup membuat acara di asrama haji, sed. Kalau parpol mengadakan kegiatan sosial, yang banyak malah benderanya bukan bantuan logistiknya.

Menegaskan kenyataan di atas, Adnan Topan menyampaikan bahwa sangat mungkin akibat adanya deal antara politisi dengan pengusaha, maka produk-produk perundangan di parlemen, baik berupa ayat maupun pasal, menguntungkan pihak pengusaha.

Dia menambahkan, ”Korupsi yang dilakukan di lembaga-lembaga negara pusat dan daerah dan dilakukan oleh banyak orang membuat korupsi berlangsung secara sistematis.” Akibatnya banyak kebijakan pemerintah yang bermanfaat bagi rakyatnya. Inilah mengapa korupsi sebagai kejahatan sistemik harus diperangi secara sungguh-sungguh.

“Korupsi di Singapura tidak terlalu banyak, tidak sistemik. Maka kualitas pendidikan tinggi dan tingkat warganya sejahtera. Walau begitu, ironisnya Singapura adalah surga bagi pelarian koruptor indonesia termasuk Joko S. Tjandra.”

“Di Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) belakangan meningkat (3,0), namun Indeks Pembanguan Manusia (IPM) kita rendah,” tambahnya. Dalam kajian ICW indeks SDM per daerah, didapati ternyata IPM per daerah tidak bergerak naik. Di daerah, korupsi berdampak langsung pada kesejahteraan buruh karena alokasi upah oleh pengusaha ternyata digunakan untuk menyuap birokrasi.

Hal ini menggambarkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia hanya mengandalkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan penegak hukum lainnya sangat kurang.

Laporan Transparency International menyebutkan, dalam indeks tersebut Indonesia berada di peringkat ke-100 bersama 11 negara lainnya yakni Argentina, Benin, Burkina Faso, Djobouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname, dan Tanzania. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, skor Indonesia berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4).

Tentu saja mengurai tidak mudah mengurai benang kusut korupsi. Namun Gunadjar berpandangan, masih sangat mungkin melakukan pemberantasan korupsi asal melibatkan segenap unsur dalam masyarakat. Salah satunya adalah kalangan generasi muda.

“Pengalaman Hongkong, Rusia, Cina, dan Singapura mengajarkan bahwa korupsi bisa dikurangi setidaknya dengan dua cara, yaitu: penegakan hukum yang sangat keras dan memotong kebiasaan korupsi di generasi muda.”

Gun, begitu pria ini dipanggil, menambahkan, “Sunda Kecil Institute menaruh perhatian dan harapan besar pada pendidikan anti korupsi sejak dini. Kami merencanakan program GERAK (Generasi Anti Korupsi) dan pendirian “Kantin Kejujuran” di sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi, untuk menanamkan nilai-nilai integritas, kejujuran, dan daya kritis pelajar-mahasiswa terhadap korupsi di  lingkungan terdekatnya. Dia menandaskan, “Kalau sejak dini anak-anak kita terbiasa jujur dan kritis maka mereka akan terbiasa melakukan self-control dan akan terbawa sampai dewasa.”

Dalam kesempatan yang sama, dia juga menyampaikan bahwa Sunda Kecil Institute lahir dari keprihatinan beberapa aktivis yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi (KOMAK) di Bali, akan perlunya sebuah lembaga yang secara serius melakukan risiet, kajian, dokumentasi, dan mengadvokasi berbagai hal berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Bali.

Gun sekaligus mengajak seluruh masyarakat, khususnya generasi muda di Bali, memperkuat dan bergabung dalam barisan koalisi anti korupsi agar korupsi dapat segera diberantas.

Seminar ditutup dengan pembacaan naskah Deklarasi Sunda Kecil Institute oleh anggota Dewan Pembina, I Nyoman Mardika. (ctg/*)
 

Reporter: bbn/ctg



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami