search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Menjadikan Nilai Kearifan Lokal Sebagai Benteng Kelestarian Pesisir Bali (1)
Jumat, 24 Januari 2014, 21:39 WITA Follow
image

Beritabali.com/dok

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Bali memiliki beragam kearifan lokal yang memiliki nilai-nilai luhur dalam upaya menjaga kelestarian alam, termasuk menjaga kelestarian wilayah pesisir. Salah satunya yaitu konsep nyegara-gunung (laut-gunung). Konsep nyegara-gunung memiliki makna keseimbangan antara laut dan gunung karena keduanya adalah sumber kesejahteraan. Segara (laut) menjadi tempat yang pantas untuk sarana penyucian, seperti : penyucian (pembersihan) pratima, melukat bagi yang sakit, melarung, dan sebagainya. Secara ilmu kesehatan segara juga dapat membersihkan penyakit karena ada unsur garam didalamnya.

“konsep-konsep seperti itu yang akan kita adopsi dalam menjaga kelestarian pesisir Bali, ini akan menjadi roh (jiwa) dalam aturan pengelolaan pesisir” kata Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Bali Ketut Teneng dalam keteranganya di Denpasar (23/1/2014). Teneng menegaskan cukup banyak konsep-konsep kearifan lokal yang sebenarnya bisa di adopsi untuk menyelamatkan wilayah pesisir Bali. Contoh kearifan lokal lainnya yang ada dapat dijadikan pedoman dalam penyelamatan pesisir adalah Nyepi Segara (laut). Pada beberapa desa pesisir di Bali justru memuat aturan penyelamatan pesisir dalam awig-awig desa (hukum adat desa).

“jika kearifan lokal itu bagus dan semangatnya bisa untuk menjaga kelestarian, kenapa tidak diadopsi, apalagi itu untuk kelestarian alam,” ujar Ketut Teneng. Teneng berharap para investor yang mengembangkan usaha di Bali terutama di kawasan pesisir menghormati kearifan lokal yang ada di masyarakat Bali. Jangan sampai para investor kemudian menjadikan wilayah pesisir yang merupakan wilayah publik menjadi kawasan privat. Mengingat sering terjadi konflik kepentingan yang merugikan masyarakat pesisir akibat adanya privatisasi kawasan pesisir oleh pengelola hotel.

Masyarakat Kepulauan Nusa Penida di Klungkung Bali memiliki kearifan lokal tersendiri dalam menjaga wilayah pesisirnya. Masyarakat di Kepulauan Nusa Penida yang meliputi Pulau Nusa Gede, Lembongan dan Pulau Ceningan memiliki tradisi yang disebut nyepi segara. Saat nyepi segara warga Kepulauan Nusa Gede menghentikan seluruh aktivitasnya di laut selama satu hari penuh.

Ritual Nyepi Segara ini tidak hanya berlaku bagi aktifitas nelayan semata, tetapi  berlaku pula terhadapa aktivitas transportasi laut dari dan menuju kepulauan Nusa Gede. Termasuk seluruh aktivitas pariwisata di kawasan Kepulauan Nusa Gede.

Pelaksanaan Nyepi Segara yang jatuh pada Purnama sasih kapat atau kempat berdasarkan penanggalan Bali ini telah dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Nusa Gede sejak tahun 1600 atau saat masa pemerintahan Raja Waturenggong. Tokoh Masyarakat Nusa Gede I Wayan Sukasta menyatakan pelaksanaan Nyepi Segara ini merupakan bentuk penghormatan kepada penguasa laut yaitu Dewa Baruna. Menjaga Pelaksanaan Nyepi Segara ini juga sebagai bentuk menjaga hubungan antara manusia dan alam sekitarnya.

“Pada saat Nyepi Segara itu adalah saatnya Dewa Baruna melakukan Tapa Yoga Semadi, makanya kalau saat itu kita ganggu maka akan terjadi bencana,” jelas I Wayan Sukasta. Menurut Sukasta, secara ilmiah nyepi segara memiliki makna memberikan alam terutama ekosistem laut untuk tumbuh dan berkembang tanpa adanya gangguan selama satu hari penuh. Selama satu hari penuh ekosistem laut mempunyai waktu untuk melakukan netralisir terhadap pencemaran laut akibat transportasi laut dan terbebas dari aktivitas nelayan.

Community Outreach Officer Coral Triangle Center (CTC) wilayah Nusa Penida Wira Sanjaya menyampaikan masyarakat Nusa Penida tidak saja memiliki nyepi segara semata dalam menjaga kelestarian pesisir. Sebagai contoh dari hasil penelusuran lapangan CTC di Desa Lembongan Nusa Penida terdapat awig-awig (aturan adat) yang melarang warga desa mengambil terumbu karang dari laut. Selain itu, di Desa Jungut Batu juga terdapat awig-awig yang melarang warga desa menebang pohon bakau tanpa seijin desa adat.

Menurut Sanjaya, aturan adat yang ada tersebut memiliki sanksi adat bagi warga desa yang melanggar. Sanksinya dapar berupa hukuman ringan hingga berat berupa kasepekang (dikucilkan di lingkungan desa adat. “yang melanggar kasusnya di bahas di paruman (pertemuan) desa, kalau tetap melanggar haknya di desa di cabut, yang paling berat kasepekang” kata Wira Sanjaya.

Learning Sites Manager CTC Marthen Willy menyampaikan bagi CTC Nusa Penida memiliki nilai lebih dan keistimewaan. Kawasan Nusa Penida merupakan kawasan pesisir yang memiliki kombinasi keragaman ekosistem yang cukup beragam. Dimana di kawasan tersebut terdapat padang lamun, terumbu karang dan hutan mangrove. Nusa Penida juga memiliki keragaman hewan laut yang karismatik dan eksotik, seperti Ikan mola-mola. Ikan yang hidup di laut dalam tersebut kemunculannya rutin terjadi di perairan Nusa Penida. Jenis ikan lainnya yang terdapat di nusa penida adalah pari manta,  hiu dan penyu. “ dari sisi keanekaragaman karang dan ikan Nusa penida termasuk tinggi” ungkap Marthen Willy.

Menurut  Marthen Willy , CTC ingin menjadikan nusa penida sebagai learning site (wilayah pembelajaran). Bagi peneliti , mahasiswa ataupun wisatawan yang ingin mengetahui kawasan konservasi maka Nusa Penida dapat menjadi lokasi pilihan. “ibarat rumah, dia kayak beranda, jadi walaupun kepulauan Nusa penida kecil tapi dia beranda rumah” paparnya.

Jika dikelola dengan baik maka kawasan konservasi Nusa Penida akan memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Nusa Penida juga dapat memberi citra positif bagi pariwisata Bali. “Selain membawa manfaat buat bagi masyarakat dalam artian ikan terlindungi karena karangnya bagus dan masyarakat tidak perlu jauh untuk mencari ikan, juga menjadi green image bagi Bali” kata Marthen.

Marthen menambahkan bisnis pariwisata di Nusa Penida juga cukup menjanjikan. Terbukti dari hasil survey profil wisata Bahari yang dilakukan CTC di Nusa Penida tahun 2011 menunjukkan jumlah kunjungan wisatawan ke Nusa penida 246.000 orang pertahun. Selain itu, dari setiap wisatawan yang berkunjung rata-rata bersedia memberikan kontribusi  untuk kelestarian laut sebesar 5-15 dolar per wisatawan per-kunjungan. Jika saja dikumpulkan 5 dolar dengan asumsi jumlah wisatawan 200.000 orang  dan nilai tukar dolar Rp. 12.000 maka dalam satu tahun terdapat  dana Rp. 12 miliar di Nusa Penida.

Sedangkan dari hasil analisa biaya minimum pengelolaan  kawasan konservasi pesisir  yang dibutuhkan di kawasan Nusa Penida hanya Rp. 2,6 miliar dan biaya maksimum Rp. 4 miliar. “itu masih ada sisa Rp. 8 miliar, kalau Rp. 8 miliar ini kemudian digunakan untuk pemberdayaan masyarakat, ada dana ke desa-desa akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat” jelasnya.

Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida kini  menjadi salah satu lokasi percontohan pengelolaan kawasan konservasi yang efektif dengan mengacu pada prinsip-prinsip yang terkandung di dalam paradigma *Blue economy*.

 

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh *Coral Triangle Center* (CTC) dengan dukungan USAID dari tahun 2008 – 2011, di perairan Nusa Penida telah diidentifikasikan ada sekitar 1419 hektar terumbu karang yang dihuni oleh 298 jenis karang, 576 jenis ikan di mana lima di antaranya merupakan jenis baru yang belum pernah dijumpai di dunia, 230 hektar hutan *mangrove*dengan 13 jenis bakau, dan 108 padang lamun dengan delapan jenis lamun. Bersambung.

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami