Menjadikan Nilai Kearifan Lokal Sebagai Benteng Kelestarian Pesisir Bali (2-habis)
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Jika masyarakat Kepulauan Nusa Penida mempunyai kearifan lokal yang beragam dalam menjaga kelestarian pesisir maka masyarakat Pulau Serangan memiliki kearifan dalam menjaga satwa laut khususnya penyu. Warga Desa Adat Pulau Serangan, Denpasar, Bali, mengimplementasikan pelestarian penyu melalui aturan hukum desa adat yang disebut *awig-awig*. Dalam *awig-awig* ini warga adat Pulau Serangan dilarang melakukan penangkapan penyu di alam termasuk mengambil penyu untuk kegiatan upacara dari alam.
Sekretaris Kelurahan Serangan Komang Darmadi menyampaikan dituangkanya kebijakan pelestarian penyu dalam *awig-awig* ini merupakan bentuk komitmen masyarakat Pulau Serangan untuk mengembalikan citra Pulau Serangan sebagai pulau penyu. Bahkan dalam *awig-awig* tersebut terdapat sanksi bagi masyarakat yang melanggar. “Kalau masyarakat sampai berani menangkap penyu, jelas masyarakat kena sanksi, ya paling tidak pertama dibina dulu, kalau sampai melanggar satu dua kali ada tindakan, tetapi sampai sekarang ini, belum ada sampai ke tindakan,” kata Komang Darmadi.
Menurut Komang Darmadi, masyarakat yang sebelumnya mengkonsumsi daging penyu juga kini sudah beralih mengkonsumsi daging lainnya. Khusus bagi masyarakat yang memerlukan penyu untuk upacara agama bisa mengajukan permohonan ke *Turtle Conservation and Education Center (TCEC) **atau Pusat Pendidikan dan Konservasi Penyu Serangan untuk mendapatkan penyu hasil penangkaran. Dalam perkembanganya TCEC tidak hanya menjadi tempat penangkaran penyu, tetapi juga menjadi tempat pendidikan dan penelitian. Selain itu TCEC juga sering menjadi salah satu tempat tujuan wisata bagi wisatawan.*
*Permasalahanya saat ini, penangkaran yang dilakukan TCEC tidak mendapat dukungan dari Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali. Buktinya BKSDA Bali tidak memperpanjang izin penangkaran yang dilakukan TCEC sejak 2009. Ketua TCEC Wayan Geria menyatakan kecewa dengan kebijakan BKSDA Bali. **“*awalnya adalah untuk mendukung bagaimana umat Hindu Bali memakai sarana Penyu sebagai sarana upacara itu tidak menangkap di alam, solusinya adalah bagaimana penangkaran dengan menetaskan telur penyu untuk di besarkan”kata *Wayan Geria*
Wayan Geria menambahkan seharusnya BKSDA Bali mendukung upaya penangkaran penyu yang dilakukan oleh masyarakat. Jangan sampai kemudian perdagangan penyu dengan kedok keperluan upacara agama kembali marak terjadi di Bali. Padahal penyu yang diperdagangkan diambil dari alam, bukan dari penangkaran.
Penyidik BKSDA Bali Sumarsono menyatakan hingga saat ini BKSDA belum memperpanjang MOU dengan TCEC karena lembaga tersebut tidak pernah memberikan laporan adminitrasi kepada BKSDA. Sebagai lembaga konservasi TCEC seharusnya memberikan laporan perkembangan, jumlah dan penggunaan penyu setiap tahunnya. Termasuk asal-usul telur penyu dan tukik (anak Penyu) serta jumlah penyu yang mati. “Belum akan diperpanjang sebelum penjelasan-penjelasan adminitrasi yang kita minta untuk diserahkan, ya sejak beroperasi sampai selesainya MOU, sepengetahuan saya , sebagai kepala seksi di sini belum pernah mnerima, baik di level seksi maupun di level balai,” ujar Sumarsono.
Sebelumnya TCEC dibuka oleh Gubernur Bali, Dewa Barata, pada 20 Januari 2006 di Pulau Serangan, Bali. TCEC dibangun sebagai bagian dari strategi yang komprehensif untuk menghapus perdagangan penyu illegal di pulau Serangan
Kini Pemerintah Kota Denpasar menargetkan untuk mengembalikan citra Pulau Serangan sebagai Pulau Penyu. Pada tahun 1970, Pulau Serangan dikenal oleh para wisatawan sebagai Pulau Penyu karena populasi penyu yang cukup banyak di Pulau Serangan. Penangkapan penyu secara illegal di tahun 1990-an dan reklamasi Pulau Serangan menyebabkan populasi penyu terus menurun.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Denpasar Anak Agung Bagus Sudarsana mengungkapkan dalam upaya mengembalikan citra Pulau Serangan sebagai Pulau Penyu, Pemerintah Kota Denpasar bersama masyarakat Pulau Serangan secara bertahap akan melakukan konservasi terhadap habitat penyu, sehingga Pulau Serangan kembali menjadi tempat penyu bertelur.
“bagaimanapun juga Pulau Serangan ini terkenal dengan penyu-nya dulu , kalau itu hilang itu kan jati dirinya akan hilang juga, kami kerjasama dengan BKSDA Jawa Timur, BKSDA Jawa Timur sudah member selama 3 tahun berturut-turut mengirim penyu dari situ karena disitu over populasi , kita hampir setiap tahun diberikan 400 ekor” papar Anak Agung Bagus Sudarsana
Sedangkan sebagai bentuk upaya menjaga kelestarian laut, nelayan Pulau Serangan Denpasar memiliki sebuah prosesi upacara secara Hindu dalam bentuk ruwatan segara (meruwat laut). Prosesi ruwatan diawali dengan persembahyangan kemudian menenggelamkan sebuah media tanam terumbu karang dalam bentuk gentong ke tengah laut.
Ketua kelompok nelayan Sari Mertasegara Wayan Patut menyatakan upacara ruwatan segara merupakan upaya dari nelayan Pulau Serangan untuk menjaga ekologi laut Pulau Serangan. Melalui upacara ini nelayan Serangan berharap laut tetap memberikan berkah penghidupan. Ketika kondisi ekosistem bawah laut sehat maka habitat ekosistem laut semakin beragam keberadaanya dibawah laut. Sehingga juga menyebabkan nelayan tidak lagi susah jauh-jauh mencari ikan, ujar Wayan Patut.
Wayan Patut menambahkan ruwatan juga bertujuan memulihkan kembali kelestarian trumbu karang di Pantai Serangan yang sempat mengalami kerusakan pada 1996 akibat reklamasi pantai. Dimana reklamasi yang menyebabkan perubah luas pulau dari 112 hektar menjadi 4 kali dari luas awal telah menyebabkan 5 hektar kawasan trumbu karang mengalami kerusakan.
Reporter: bbn/mul