search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Membeli Hasil Pertanian Langsung Dari Petani di Peken Carik-Sembung
Selasa, 2 Oktober 2018, 06:00 WITA Follow
image

Muliarta

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Peken Carik atau pasar di sawah menjadikan Subak Sembung di daerah Peguyangan-Denpasar menjadi subak yang berbeda dengan subak lainnya di Bali. Hanya di Subak Sembung, konsumen dapat membeli langsung hasil pertanian dari petani. Melalui peken carik, konsumen mendapatkan hasil pertanian yang masih segar karena baru dipetik atau langsung dipetik saat di beli.

[pilihan-redaksi]
Biasanya peken carik digelar pada hari Sabtu dan Minggu mulai pukul 07.00 - 09.00 Wita dan pukul 16.00 - 18.00 Wita. Berbagai hasil pertanian dijual di peken carik, mulai dari bahan bumbu dapur, sayur-mayur hingga buah-buahan segar. Bahkan masyarakat atau pengunjung yang biasa melakukan jalan-jalan di seputaran ekowisata Subak Sembung dapat menikmati buah segar yang dijual oleh petani sebagai penghilang dahaga.

Kenyataanya kini petani hampir setiap hari disela-sela kegiatanya di sawah untuk memelihara tanaman juga menjajakan hasil pertaniannya kepada pengunjung yang datang. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan pemasukkan tambahan dan juga mengantisipasi hasil pertanian yang ada terbuang percuma. “sejak dua tahun lalu saya jual langsung di sawah, tidak pernah jual ke pasar, Kalau petani yang punya hasil panen banyak bisa sampai jual ke pasar, itu pun kalau ada relasi. Paling tidak ada penghasilan tambahan, sekaligus sambil refreshing” kata Salah satu petani di Subak Sembung Ngurah Made saat ditemui di Subak Sembung pada Senin (1/10) Sore.

Menurut lelaki berumur 60 tahun tersebut, menjual hasil pertanian langsung di sawah lebih menguntungkan, karena harga sesuai dengan harga pasar. Belum lagi jumlah yang dijual juga tidak harus dalam jumlah banyak dan menunggu musim panen.

Ngurah Made mengaku bersyukur dengan ditetapkannya Subak Sembung sebagai kawasan ekowisata, karena dengan penetapan tersebut para petani pemilik sawah mendapatkan insentif berupa pembebasan dari pajak tanah. Penetapan kawasan ekowisata Subak Sembung juga menjadi salah satu upaya dalam menanggulangi alih fungsi lahan di Kota Denpasar. “Dulu luas lahan sawah disini mencapai 350 hektar, tapi kita yang sisa hanya 115 hektar” ujar lelaki tiga anak tersebut.

[pilihan-redaksi2]
Berdasarkan Peraturan Walikota Denpasar Nomor 14 Tahun 2014 tentang Peraturan Zonasi Kecamatan Denpasar Utara, Subak Sembung merupakan zona RTH pertanian (RTHK-2) dengan klasifikasi zona pertanian ekowisata. Bangunan yang diizinkan pada RTHK ekowisata terdiri atas bangunan-bangunan penunjang kegiatan agrowisata atau ekowisata.

Berjualan hasil pertanian di sawah bagi para petani dan keluarga petani di Subak Sembung bukan semata-mata untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Beberapa warga justru memanfaatkan kegiatan berjualan di sawah sebagai kegiatan yang menghibur, seperti diakui oleh wanita berumur 70 tahun bernama Agung Rai. “Sebelumnya paling hanya diam di rumah, sekarang senang di sawah bertemu orang banyak sambil diskusi, kalau di rumah sumpek” ungkap Agung Rai.

Agung Rai mengakui kegiatan berjualan di tengah sawah merupakan kegiatan yang santai dan menyenangkang. Walaupun dalam satu hari mendapatkan pendapatan dari berjualan hanya sekitar Rp. 50.000. “Kalau Sabtu dan Minggu baru ramai, tapi kalau hari biasa agak jarang, paling dapat hanya sekitar lima puluh ribu rupiah” papar Agung Rai.

Salah satu petani Agung Ardana mengungkapkan dengan adanya peken carik memberikan kesempatan kepada petani untuk memasarkan langsung hasil pertaniannya. Apalagi sebagian besar petani hanya mampu memproduksi hasil pertanian dalam jumlah yang kecil. “Kadang ada supplier yang datang, mereka datang kalau lagi butuh, kadang mereka sudah pesan dan tidak datang kita yang rugi, kita juga produksi dalam jumlah yang kecil” ungkap lelaki berumur 58 tahun itu.

Ardana berharap adanya peran dari pemerintah untuk membantu petani dalam melakukan pemasaran agar berjalan secara berkesinambungan. Mengingat selama ini masalah pemasaran menjadi kendala utama bagi petani dan tidak jarang akibat tidak ada yang memasarkan petani menjadi rugi. Belum lagi terkadang terdapat oknum lintah darat yang memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari ketidakmampuan petani memasarkan hasil pertaniannya.

Salah seorang pengunjung atau konsumen di Subak Sembung Ketut Sundari mengaku rutin datang ke kawasan Subak Sembung untuk berolahraga dan berjalan santai sepanjang jogging track.. Selain berolahraga, ia juga mengaku rutin berbelanja di peken carik. “Disini kita bisa sekalian olahraga dan juga membeli keperluan dapur, kalau membeli disini langsung kan dapat yang masih segar, karena baru dipetik” ucap Sundari.

Satu yang masih menjadi masalah ketika berbelanja di peken carik menurut ibu satu putri tersebut yaitu penggunaan pembungkus plastik. Dimana penggunaan pembungkus plastik sebenarnya dapat diganti dengan menggunakan bahan-bahan yang lebih alami, seperti daun pisang. Penggunaan pembungkus plastik atau kantong plastik juga tidak sejalan dengan konsep pengembangan ekowisata.

Sundari juga mengusulkan adanya penataan bangunan tempat petani menjual hasil pertanian yang ada di areal kawasan Subak Sembung. Bangunan seharunya menggunakan bahan-bahan dari alam dan bukan menggunakan sepanduk bekas. Akibat penggunaan spanduk bekas menyebabkan kawasan subak terlihat kumuh. “Mungkin petani kan memanfaatkan bahan yang ada, seperti spanduk bekas, tapi sebagai kawasan ekowisata kan harus jelas konsepnya, agar tidak terlihat kumuh dan justru mengurangi keindahan panorama sawah” jelas Sundari.

Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali Catur Yudha Hariani mengakui perlu adanya pemahaman konsep ekowisata yang lebih menyeluruh kepada anggota Subak Sembung. Mengingat konsep ekowisata yang dipahami selama ini masih sebatas melihat panorama alam. “Yang dipahami sepotong-sepotong, ekowisata yang di bangun hanya melihat panorama sawah saja, yang dipahami karena mereka melestarikan subak saja” tegas Catur.

Catur menegaskan pengembangan ekowisata seharusnya lebih pada  menjaga dan melestarikan ekosistem pendukung Subak. Salah satunya pertanian yang mengarah pada pertanian organik, menggunakan bahan-bahan organik dan menjaga nilai-nilai kearifan lokal.[bbn/muliarta]

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami