search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Pohon Beringin Masuk Kategori Kayu Larangan
Kamis, 15 November 2018, 06:00 WITA Follow
image

hindu.web.id

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Pohon beringin sejak masa Bali Kuno sudah dikenal sebagai pohon yang dikategorikan sebagai kayu larangan. Kayu Larangan merupakan istilah untuk menyebutkan sejumlah pohoh yang dilarang untuk ditebang, kecuali dengan alasan-asalan tertentu.

Demikian terungkap dalam sebuah artikel ilmiah yang berjudul “Fungsi dan Makna Simbolis Pohon Beringin dalam Kehidupan Masyarakat Bali” yang ditulis oleh Ni Luh Sutjiati Beratha, I Made Rajeg, dan Ni Wayan Sukarini, serta dipublikasikan dalam Jurnal Kajian Bali, Volume 08, Nomor 02, tahun 2018.

Para peneliti dari Universitas Udayana tersebut menuliskan teks-teks prasasti yang terbit pada masa Bali Kuno sekitar abad IX-XI seperti Prasasti Tengkulak, Dausa Pura Bukit Indrakila, dan Prasasti Cintamani menunjukkan bahwa pohon beringin telah disebut-sebut sebagai salah satu tanaman yang dilindungi pada masa itu.

 

Prasasti Tengkulak yang diterbitkan oleh Raja Marakata berangka tahun 945 Saka atau 1023 Masehi menyebutkan kebijakan untuk menebang kayu larangan apabila tumbuh serta menghalangi sungai, rumah, dan tempat persajian.

Berdasarkan konteks tersebut dapat diasumsikan bahwa jika tidak menghalangi sejumlah kawasan itu, dapat dipastikan tanaman-tanaman yang termasuk dalam kayu larangan tidak dapat ditebang secara sembarangan.

Guna memastikan kayu larangan tetap lestari, dalam artian tidak ditebang secara liar oleh masyarakat maka raja menunjuk pejabat yang bernama Hulu Kayu. Pejabat Hulu Kayu yang mengurus bidang kehutanan pada masa Bali Kuno tersirat dalam Prasasti Bebetin.

Prasasti Bebetin menguraikan bahwa, apabila Hulu Kayu menugaskan seorang pesuruh ke tempat suatu tempat, maka masyarakat membayar 4 masaka mas kepadanya setiap tahun. Mereka juga dikenai pajak pasuk halas 6 masaka mas. Leksikon pasuk alas barangkali juga merefleksikan bentuk pajak yang dikenakan kepada penduduk yang hendak pergi ke hutan atau membangun tempat tinggal di hutan.

Hingga kini beringin yang disebut dengan istilah waringin, wandira, dan grodha agung dijaga kelangsungan hidupnya hampir di seluruh Desa Pakraman di Bali.

Upaya menjaga kelestarian beringin nampaknya tidak terlepas dari manfaat pohon beringin yang digunakan sebagai sarana upacara yadnya di Bali dan bermanfaat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, baik yang disebabkan oleh kausa naturalistik (skala) maupun personalistik (niskala). 

Secara simbolis pemanfaatan beringin dalam upacara pitra yadnya di Bali dimaknai sebagai sarana penyucian untuk meningkatkan kualitas roh leluhur dalam proses pemanunggalan dengan para dewa. 

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami