Sejarah dan Romantika Desa Ubud (2): Dikunjungi Ratu Belanda dan Jadi Rumah Seniman Mancanegara
Selasa, 25 Juni 2019,
08:50 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, GIANYAR.
Ubud adalah sebuah desa yang tidak jauh berbeda dengan desa-desa yang lain di Bali tetapi kalau masyarakat di Bali nasional maupun internasional tentunya banyak sepertinya yang sudah mengetahui, dapat dikatakan Ubud adalah "branding" dan banyak yang ingin tahu ada apa di balik kata "Ubud".
"Saya pribadi akan sedikit membagi cerita dari apa yang saya ketahui dari cerita nenek saya, dari buku-buku sejarah, buku-buku penelitian, maupun dari pengalaman pribadi saya, saya akan menyampaikan ringkas cerita seperti ini," ujar warga asli Ubud Anak Agung Bagus Ari Brahmanta, yang kini menjabat staff ahli bidang Ekonomi dan Pembangunan Kabupaten Gianyar dan mengetahui banyak hal seputar Ubud dan perkembangannya sampai kini. Cerita tentang Ubud ini disampaikan Agung pada acara Art, Culture, Culinary, Community Gathering Shrida Taste of Ubud, (22/6/2019).
Ubud dengan Dunia Luar
Ketertarikan orang Eropa, Amerika, untuk datang ke Bali dan Ubud telah memberikan peluang bagi pemerintah Belanda untuk membuat travel dan penginapan. Salah satunya adalah Bali Hotel. Banyak wisatawan yang datang ke Ubud begitu juga dengan pejabat Hindia Belanda, seperti Ratu Belanda Yuliana. Tamu pemerintahan Belanda ini dijamu di Puri Ubud oleh Tjokorde Gede Agung Sukawati, baik jamuan dengan makanan Bali, tari-tarian maupun pajangan hasil karya seniman setempat.
Tinggalnya Para Seniman
Ubud menjadi daya tarik tersendiri bagi para seniman manca negara terutama setelah Kemedekaan di samping alamnya yang menawan dan adat-istiadatnya yang menarik. Seniman yang tingal di Ubud seperti kita kenal yaitu Rudolf Bonnet, Han Snel Antonia Blanco. Hal ini juga merupakan peranan dari bangsawan Puri Agung Ubud, Tjokorde Gede Agung Sukawati yang menghibahkan lahan miliknya kepada para seniman. Tidak kalah penting juga para seniman nasional yang memilih tinggal di Ubud, baik sementara waktu atau jangka lama, seperti Affandi, Wa Fong, Abdullah dan banyak lagi. Hal ini juga membangkitkan para seniman lokal untuk berkarya.
Museum Ratna Wartha
Begitu banyaknya seniman yang datang ke Ubud, terutama seniman lukisan sehingga Ubud dikenal sebagai kampung seniman. Banyak wisawatan berkunjung ke Ubud melihat hasil karya para seniman seperti Charlie Caplin, aktor Amerika dll. Sehingga pemerintah pada saat itu, yaitu Menteri Pendidikan, Prof. Mohamad Yamin tahun 1960 mendukung didirikannya Museum Seni Lukisan yang dinamakan Ratna Wartha yang menampung hasil karya putra daerah. Pada saat itu juga telah terbangun Istana Tampak Siring sehingga Ubud menjadi tujuan kunjungan tamu negara seperti: Nehru, Chekov (Rusia), Kennedy (Amerika), Ratu Elizabeth dan banyak lagi tamu negara lainnya. Tidak saja tamu negara, kunjungan para wisatawan pun meningkat sehingga tumbuhlah di sekitar Puri Agung Ubud hotel-hotel seperti Hotel Campuhan, Hotel Ubud, Hotel Mutiara, Hotel Mustika bagi wisatawan yanga akan tinggal di Ubud. Tidak itu saja, sekitar Ubud antara jalan menuju Ubud dan Tampaksiring juga muncul artshop-artshop dan warung makan.
Mengenang Waktu Kecil
Saya dilahirkan tahun 1962. Saya mengenal Ubud pada tahun 1970. Tidak banyak kendaraan saat itu. Kendaraan umum yang ada adalah bus chevrolet dimana setiap beberapa kilometer harus diisi air lagi karena generatornya panas. Namun memasuki Ubud dari Desa Sakah, sudah terasa udaranya sejuk baik pagi maupun siang hari karena di pinggir jalan banyak pohon, terutama pohon leci. Pohon ini juga ada di depan rumah kami. Kami punya 4 pohon besar pohon leci. Pada saat itu hanya beberapa artshop yang ada, terutama di Mas. Artshop tersebut adalah artshop Ida Bagus Nyana & Son, Ida Bagus Anom di Ubud. Ada juga artshop yang menjual lukisan seperti Neka, Adipati Soeryo.
Pemandangan persawahan masih terlihat dengan bentangan Gunung Agung yang tampak menakjubkan. Kalau kita makan, ada warung nasi campur di pinggir jalan di Teges yang sekarang sudah 3 generasi berjualan dengan pengolahannya saya lihat tetap seperti yang lampau. Di pusat desa Ubud, antara Puri dan pasar dulu ada penjual nasi ayam garang asem, tepatnya di depan Puri Ubud.
Pedagangnya bernama Gusti Aji Negari dan sekitar Wantilan ada pedagang makanan Bali. Ada wantilan besar yang sekarang bisa kita lihat. Tempat itu pada waktu dulu oleh masyarakat dipergunakan untuk persiapan upacara dan sabungan ayam. Di Wantilan ini banyak terdapat burung merpati yang turun ke jalan di depan Puri, jumlahnya hampir ratusan ekor. Kalau sore kita bisa melihat ada banyak petani yang menggotong padi dan hasil perkebunannya. Sekarang cerita ini banyak kita lihat ada pada lukisan yang terpampang di museum atau artshop.
[pilihan-redaksi2]
Sore hari biasanya masyarakat berjalan kaki menuju tempat pemandian di Sungai seperti Campuhan, Mumbul ataupun pancuran yang airnya masih jernih. Biasanya air dari beberapa mata air ini dibawa pulang untuk air minum tanpa dimasak. Malam hari udaranya dingin sekali di Ubud. Penerangan yang ada hanyalah lampu sentir dan petromak hanya sampai jam 8 malam saja karena ada keterbatasan minyak saat itu. Listrik belum ada. Kalau belajar pada malam hari, maka besok paginya muka ini sudah kena abu hitam karena memakai penerangan sentir. Hanya ada satu-satunya tempat yang memiliki penerangan listrik pada saat itu yakni Artshop Adipati Soeryo. Pemilik tempat ini memakai generator dan hidup / buka sampai jam 9 malam.
Aliran Baru Young Artists
Datangnya seorang seniman dari Belanda yang bernama Arie Smith pada tahun 1970 banyak memberikan nuansa baru pada kalangan anak muda di Ubud. Aliran ini sangat mudah bagi anak muda dalam mempelajari dan membuatnya pun tidak terlalu lama sebagaimana lukisan tradisional yang begitu lama pengerjaannya. Kalangan anak muda ini kebanyakan dari daerah Campuhan dan Penestanan. Mereka melukis untuk membiayai sekolah dan keluarga. Lukisan jenis ini seperti pisang goreng laris dijual bagi wisatawan Itali dan Spanyol dan sebagian anak muda itu pun juga bisa berbahasa Spanyol dan Itali.
Ubud dan Pariwisata
Ubud bukan saja menjdi kampung seniman karena didukung nuansa spiritual, nuansa alam, kehidupan budaya saja (culture life) tetapi juga karena dukungan industri pariwisata pada era tahun 1970. Sebelumnya industri tersebut hanya bisa dibangun oleh kalangan bangsawan saja seperti Hotel Campuhan. Dalam perkembangannya masyarakat biasa mulai membangun pondok wisata yang dikenal dengan home stay, rumah makan dengan gaya cuisine seperti Murni's Warung, rumah makan Cina seperti Okawati, Warung Nadi dll. Masyarakat juga mulai membuka lapak-lapak barang seni sesuai dengan perkembangan di dunia pariwisata.
Menginjak tahun 1980 walaupun di Puri sudah ada penginapan, jamuan makan makan dengan kemasan performance mulai diperkenalkan. Paket-paket tour sekeliling Bali mulai dijajakan serta penyewaan kendaraan sudah disediakan sebagai sarana pendukung. Juga mulai terjadi pertumbuhan penyediaan destinasi seperti museum dan Monkey Forest sesuai dengan pergerakan pariwisawa di Ubud. Media bahasa Inggris "Napi Orti" menjadi pelengkap yang memberikan informasi bagi para wisawatan, “Bali Path Finder” sebagai pemandu travelling di Bali. Masyarakat membangun lembaga yang bernama "Yayasan Bina Wisata" sebagai pusat informasi dan pembinaan bagi pelaku pariwisata di Ubud.
Penutup
Ubud adalah desa bukan kota. Ubud hanya memiliki potensi alam, sungai, kehidupan budaya serta kehidupan spiritual. Konsep pembangunan tahun 1980 yang telah kami canangkan bersama dapat dipertahankan, bagaimana pembangunan pariwisata untuk kepentingan masyarakat (community based tourism), bagaimana budaya menjadi dasar pembangunan pariwissata (cultural tourism), arts tourism, dan spiritual tourism sehingga Ubud tetap menjadi Ubad bagi siapa pun yang datang dan tinggal di Ubud.
Berita Gianyar Terbaru
Reporter: bbn/rls