search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Wisata Konservasi Masa Depan Pariwisata Indonesia
Sabtu, 12 Oktober 2019, 13:15 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Wisata konservasi nyatanya sudah jadi bagian dari cakupan besar pariwisata dalam negeri. Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Udayana (Unud) Nyoman Sukma Arida menjelaskan, kawasan konservasi merupakan wilayah dilindungi, baik oleh undang-undang maupun hukum adat.

[pilihan-redaksi]
"Misalnya saja Teluk Benoa. Itu kan masuk wilayah konservasi. Tata ruang memang diurus pemerintah daerah (pemda), tapi juga harus diperhatikan secara pandangan kearifan lokal. Karena di sana banyak mata air dan ditemukan belasan pura juga," katanya seperti dikutip dari Liputan6.com, Jumat, 11 Oktober 2019.

Tenaga Ahli Menteri Pariwisata Bidang Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Valerina Daniel menambahkan, wisata konservasi sudah masuk dalam lingkupan wisata berkelanjutan.

Keputusan ini diadopsi Kementerian Pariwisata (Kemenpar) dari konsep wisata berkelanjutan yang dikeluarkan United Nations World Tourism Organization (UNWTO) ke peraturan menteri pariwisata nomor 14 tahun 2016, di mana terdapat empat kategori di dalamnya.

"Disebutnya 3P1M, yaitu planet, people, prosperity, dan management," paparnya lewat sambungan telepon, Jumat, 11 Oktober 2019.

Valerina mengatakan, konsep inilah yang bakal jadi arah pembangunan pariwisata Indonesia sampai 2030. Dalam pelaksanaannya, Kemenpar berperan dalam memberi guidance, membangun pusat monitoring bekerja sama dengan universitas, serta memberi penghargaan untuk mendorong lebih banyak tempat wisata menerapkan konsep berkelanjutan.

"Ada lima titik pusat monitoring, yaitu di Kabupaten Sleman dengan UGM, di sanur bersama Unud, Sesaot bersama Universitas Mataram, Pangandaran bareng ITB, dan Toba dengan USU. Soal penghargaan, kami punya ISTA yang diselenggarakan per tahun dan sudah berjalan sejak 2017," ujarnya.

Di samping, kunci lainnya adalah terus menguatkan komunitas lokal untuk menjaga dan mengembangkan destinasi wisata. "Biar konsep people-nya juga kena," kata Valerina.

Pendapat senada juga dituturkan Nyoman. "Supaya ada rasa memiliki, apalagi mereka yang memang tempat tinggalnya masih masuk dalam wilayah wisata konservasi," tuturnya.

Tak bisa dipungkiri bahwa perkenalan sederet wisata konservasi sekaligus meletakkan tempat-tempat tersebut di atas ancaman perusakan. Karenanya, kendati sudah diatur secara hukum, Valerina mengatakan, peran komunitas lokal sangat krusial.

"Harus ada pendampingan dari local guide. Mengawasi pengunjung dan menegaskan mana saja yang boleh-tidak boleh," katanya. Selain, terus meningkatkan tata kelola agar keseimbangan tetap terjadi di destinasi wisata konsevasi.

Juga, Nyoman menyambung, peran pengunjung tak kalah vital. Mulai dari sesederhana memerhatikan tentang sampah. "Tapi, kalau wisata konservasi, biasanya pengenalan semacam ini bakal jadi bagian dari aktivitas. Tidak selalu, tapi ada beberapa agenda kayak wisatawan pergi ke hutan bakau dan ikut tanam bibit," jelasnya.

Menurut Adventure Consultant Buddy Buckers, berdasarkan pengalaman lima tahun membuka tur ke kawasan konservasi, kasus turis mengancam wilayah daratan masih sangat kecil. "Karena dalam peraturan dan pelaksanaannya hanya sebagian kecil kawasan yang bisa diakses turis," paparnya lewat pesan, Jumat, 11 Oktober 2019.

Ia memperkirakan, setidaknya persentase kawasan yang bisa diakses tak sampai lima persen dari total luas kawasan taman nasional. Buddy berpendapat, kehadiran wisatawan di taman laut lah yang telah menyebabkan kerusakan serius.

"Kunjungan wisatawan terbiilang tinggi, tapi pengawasan masih kurang dan rendahnya kemampuan pihak tour operator menjaga tamu mereka untuk sama-sama melindungi kawasan," tuturnya.

[pilihan-redaksi2]
"Sering kali ada operator tour nekat membawa wisatawan yang tidak terlalu menguasai aktivitas berenang dan snorkeling. Akibatnya sampai koral hancur akibat diinjak," sambung Buddy.

Kunjungan ke kawasan konservasi, yakni taman nasional, tak memerlukan izin khusus. "Beda dengan kawasan konservasi dalam kategori Kawasan Suaka Alam (KSA) yang hanya bisa diakses untuk kegiatan ilmiah dan penelitian, itu butuh surat izin," katanya.

Sementara, taman nasional yang masuk dalam ketegori Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dimanfaatkan sebagai budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Apalagi, seruan 'Ayo ke Taman Nasional!' beberapa tahun ke belakang gencarkan disuarakan pihak pemerintah.

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami