search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Jaen Hidup di Bali?
Minggu, 12 April 2020, 11:20 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Seorang perempuan lingsir (tua) menawarkan satu plastik kecil bunga cempakanya kepada kami, di sebuah pasar tradisional di pinggiran Kabupaten Badung, pada suatu pagi awal April 2020. Saya dan istri sontak saja iba. “Tumbasin bungan titiang gek. Limang tali kemanten,” ujarnya lirih. (Beli bunga saya. Lima ribu saja). Istri saya kaget, bunga cempaka yang biasanya berharga dua kali lipat tersebut kini harganya terjun bebas pada masa wabah Covid-19 ini. Tak berapa lama, mulailah Ia bercerita tentang perjuangannya mendapatkan bunga tersebut.
 
Nak lingsir (orang tua) tersebut mengisahkan, Ia berjuang sendiri mencari bunga untuk siap dijual di pasar pagi harinya. Sekira pukul 02.00-03.00 dini hari, Ia berjuang mencari bunga di tengah gelapnya malam. Itu Ia lakukan sendiri dan kadang dibantu cucunya. Ia menggunakan bambu panjang untuk menjatuhkan bunga atau naik menggunakan tangga. Hal ini Ia lakukan karena pagi hari sudah hari bergegas ke pasar menjualnya. Ia dan beberapa saudaranya mempunyai pohon bunga cempaka. Hasil menjual bunga itulah yang menjadi salah satu pendapatannya, selain menjual canang sari, bunga pacah, dan kembang rampai. 

Pasar pagi itu tampak lengang. Para pedagang di lantai dua pasar, yang khusus menjual perlengkapan upacara agama, berebut memanggil para pembeli. “Mriki bu, tumbasin titiang,” ujar mereka silih berganti. (Kesini bu, berbelanja di saya). Pasar-pasar tradisional pada masa pendemi Covid-19 sejak akhir Maret – april 2020 tampak sepi. Para pedagang mulai berkeluh semakin terhimpitnya kehidupan mereka karena menurunya para pembeli. “Ten karuan niki hidup titiang mani puan pak,” kisah seorang pedagang pisang di sudut pasar kepada saya. (Tidak menentu kehidupan saya besok atau lusa). 

Rakyat kecil yang rentan saat grubug (wabah) Covid-19 harus memikirkan nasibnya di tengah himbauan bekerja dari rumah, work from home, megae jumah, dan sejenisnya. Mereka bukanlah para pejabat, birokrat, anggota DPR, atau ASN yang setiap bulan dipastikan memiliki pendapatan meskipun work from home. Di tengah situasi wabah dan krisis seperti saat ini, saya kembali teringat kalimat yang jamak saya dengar di bale banjar ataupun acara-acara pertemuan keluarga. “Sing perlu ruwet, nak mule jaen hidup di Bali.” (Tidak perlu berpikir ribet, enak hidup di Bali).  

Seken Jaen?      

Sungguhkah jaen (enak) hidup di Bali? Kita bisa berdebat lama dalam memutuskan jawaban atas pertanyaan ini. Tapi satu yang pasti, jawaban ini tergantung pada posisi struktur sosial beserta modal ekonomi yang kita miliki. Tentu hal ini ditambah dengan modal sosial dan budaya di dalamnya. 

Mungkn banyak orang Bali yang bisa menepuk dada merasakan nyaman dengan kehidupannya sekarang. Tapi, jika kita menengok ke bawah, tidak sedikit juga krama (warga) Bali yang harus terus berjuang dalam melanjutkan hidup dan jati dirinya sebagai manusia Bali. Namun, dalam lubuk hati yang terdalam, saya meragukan orang Bali yang selalu nyaman dengan kehidupannya.

Kenyamanan, jaen, sing demen ruwet, membuat saya risau. Tapi justru ini yang dikampanyekan para elit bahkan cendekiawan Bali untuk menandakan Bali baik-baik saja, dan masyarakat bahagia dan sejahtera. Pernyataannya, dampak pariwisata membuat orang Bali sejahtera dan bahagia. Sesederhana itu.   

Justru yang merisaukan saya, renyahnya kalimat jaen hidup di Bali membuat kita lupa untuk memeriksa tipu muslihat para elit lokal Bali dan juga legitimasi cendekiawan ataupun akademis yang memanfaatkannya untuk kepentingan proyek, status, dan kuasanya. Masyarakat larut dalam jargon ini. Bujuk rayu akan kenyamaan Bali yang dikampanyekan para elit dan dikonstruksikan oleh kaum cerdik pandai ternyata berada pada pondasi yang rapuh.  

Histeria dan teater “mimpi hidup jaen” juga menyeret orang Bali menjadi lupa untuk menyiapkan dirinya pribadi (secara mandiri, tanpa tergantung bantuan sosial dan hibah) untuk tetap survive (bertahan) saat krisis mendera kehidupannya. Pada kondisi seperti ini, sudah tentu para elit ini akan meninggalkan rakyatnya. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari mereka.      

Gelimang Bantuan Sosial (Bansos), hibah, hingga peredaran uang belum lama dirasakan masyarakat Bali pada saat pemilihan anggota legislatif. Namun, pada krisis ini, semuanya telah kering kerontang. Di tengah semakin tidak menentunya wabah, kehidupan mereka juga tidak menentu. Seolah-olah hanya satu kali untuk selama-lamanya masyarakat dimanjakan dengan gelontoran dana. Tentu motifnya sangat kental dengan muatan transaksional, yaitu jual beli suara dalam bentuk yang simbolik. Kini, bantuan kebutuhan pokok pun tidak mendapatkan bantuan secara cepat dari pemerintah. 

Wabah Covid-19 ini memaparkan kerapuhan Bali dalam penanganan krisis dan wabah. Masyarakat tidak bisa berharap banyak dari pemerintah ataupun dari para elit yang sebelumnya memanjakan mereka. Tidak ada skema jaminan kesejahteraan sosial yang betul-betul meyakinkan, terutama untuk melindungi masyarakat miskin yang rentan, yang dimiliki negara ini. Sehingga tidak heran, krisis dan wabah seperti sekarang ini membuat pemerintah tergagap-gagap untuk mengambil kebijakan sosial, terkhusus di Bali.

Skema Kesejahteraan     

Sejatinya, negaralah yang mempunyai wewenang dan tentunya kemauan politik untuk membuat skema-skema kesejahteraan dalam bentuk jaminan sosial untuk melindungi individu, yaitu warga negaranya. Individu tidak berdaya dalam menghadapi arus industrialisasi dan transformasi sosial yang melaju kencang. Selain lokus negara yang menawarkan skema kesejahteraan sosial, terdpat juga lokus komunitas dan pasar. 

Solidaritas sosial didefinisikan sebagai mekanisme kolektif untuk menyediakan sumber-sumber yang bertujuan untuk meminimalisasi beban dan resiko yang dihadapi oleh kelompok-kelompok rentan atau bahkan masyarakat secara umum. Solidaritas sosial merupakan produk dari konsensus yang dinamis ketimbang sebatas etika moral (Lay dkk, 2018: 5).  

Seperti juga yang terjadi di Bali dan daerah-daerah lainnya di Indonesia, para elit dan pemburu kuasa, menggunakan isu-isu kesejahteraan sosial untuk menjaring suara. Studi dari Aspinall dan Sukmajati (2015) menunjukkan bahwa berbagai skema kesejahteraan seringkali dikembangkan terutama bertujuan untuk memperoleh dukungan electoral dan dikelola dengan memelihara ikatan klientelistik. 

Studi lainnya yang dilakukan Sumarto (2015) juga menjelaskan dengan gamblang bahwa kebijakan sosial di Indonesia dikembangkan untuk tujuan electoral ketimbang dimaksudkan sebagai upaya untuk mengembangkan sistem kesejahteraan yang terlembaga. Sedangkan studi yang dilakukan oleh Mas’udi (2017) mengungkapkan bahwa ramuuan kebijakan-kebijakan populis, seperti bantuan tunai, subsidi langsung untuk keluarga miskin, dan subsidi untuk layanan-layanan dasar terutama dikembangkan sebagai instrumen populis untuk menciptakan legitimasi kepemimpinan politik (Lay dkk, 2018: 3). 

Lalu, darimana masyarakat bisa bersandar? Pada masa pendemi Covid-19 ini, melihat dinamika masyarakat di Bali, solidaritas sosial justru terjadi pada ruang-ruang solidaritas komunitas. Saya merujuk kepada hadirnya Desa Adat dan LPD (Lembaga Perkreditan Desa) di tengah-tengah keterpurukan hidup para warganya. Sebagai komunitas tradisional yang berakar kuat di Bali, Desa Adat beserta LPD memberikan langkah kongkrit untuk membantu meringankan kesulitan warganya di masa wabah. 

Desa Adat Dukuh Panaban di Kabupaten Karangasem dan Desa Adat Batuan di Kabupaten Gianyar adalah beberapa diantaranya. Kedua desa ini memberikan bantuan beras dan kebutuhan dasar lainnya selama masa krisis berlangsung. LPD Desa Adat Panjer, Jumpai, dan  Kedonganan adalah beberapa diantaranya yang membantu memberikan beras dan sembako kepada warganya. 

Langkah Desa Adat dan LPD dalam meringankan beban warganya adalah contoh kuat solidaritas yang berlangsung pada lokus komunitas. Dua lokus lainnya adalah negara dan pasar, atau bahkan kombinasi di antara ketiganya. Ruang solidaritas komunitas ini dapat didasarkan pada agama, adat, kekerabatan atau ikatan-ikatan identitas lainnya. Ruang ini dapat bekerja baik secara formal maupun informal, serta berprinsip pada kesukarelaan (volunterisme).  Solidaritas berbasis komunitas dapat mengambil bentuk dari mekanisme komunalisme formal sebagaimana dapat kita temui dalam masyarakat tradisional (Lay dkk, 2018: 8).

Upaya-upaya swadaya dan volunterisme merupakan karakter utama dari solidaritas sosial pada komunitas. Pada konteks Bali, komunitas yang mengakar kuat adalah desa adat dan banjar-banjar yang menopangnya. Solidaritas sosial pada komunitas memberikan kita harapan dalam menghadapi wabah Covid-19. Jika demikian, sangatlah terbuka harapan bahwa desa adat sebetulnya bisa mandiri, berkarakter kuat, dan merdeka untuk memberikan cermin bahkan kritik terhadap kuasa pasar dan negara yang selalu berebut mengeksploitasinya.    

Penulis: I Ngurah Suryawan, Antropolog, Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Warmadewa 
 

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami