search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Wong Bali Saat Krisis Covid 19: "Mati Iba Hidup Kai" ?
Minggu, 26 April 2020, 09:00 WITA Follow
image

beritabali.com/ Gus Dark

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Seorang kolega, di suatu sore pertengahan April 2020, mengirimi saya empat foto melalui pesan WhatsApp. “Kene situasi rage di Bali jani, Rah. Sing medaya to perkembangan di tahun 2020,” tulisnya singkat. Empat foto yang Ia kirimkan sontak mengejutkan saya. Isinya adalah judul-judul media cetak dan daring: “Alamak, Warga Sengkidu Tolak Karantina Pekerja Migran di Candidasa”, “Beredar, Surat Dispar Imbau Hotel Tak Menerima PMI Non-Denpasar”, “Pasien dari Nusa Penida Ditolak Turun di Padangbai”, dan “Warga Kuta dan Legian Pertanyakan Naker Migran dari Luar Badung Dikarantina di Wilayahnya.”   

[pilihan-redaksi]

Selanjutnya ia menulis, “ketakutan bercampur dengan edukasi yang tak maksimal, serta tata kelola mitigasi yang buruk, mungkin jadi pemicu.” Belum selesai, Ia melanjutkan kalimat terakhir yang membuat saya menahan nafas, “Tapi yang membuat kita prihatin Rah, betapa rapuhnya apa yang dibangga-banggakan sebagai “identitas kebalian.”

Sejak awal April 2020, Bali memang ramai dengan pro dan kontra pulangnya para PMI (Pekerja Migran Indonesia). Para pekerja migran ini kebanyakan adalah krama Bali yang mengadu nasib di dura negara (luar negeri). Mereka inilah yang rentan terpapar virus Corona dan menyebarkannya di Bali. Beberapa hasil tes juga menunjukkan beberapa PMI terkena virus Covid-19.

Hal itulah yang membuat masyarakat Bali, yang menerima saudaranya sendiri, menjadi takut bukan kepalang. Karantina dan isolasi mandiri memang disiapkan oleh Satgas Covid-19 Bali. Namun apa lacur, beberapa diantaranya bisa lolos, beberapa diantaranya luntang-lantung karena ditolak oleh masyarakat yang wilayahnya dijadikan tempat karantina. Beberapa kasus pada akhirnya para PMI di karantina, kasus lainnya berpindah-pindah ke tempat lain.     

Selang beberapa hari setelah itu, saya terkejut dengan karikatur karya Gus Dark. Ia memadukan dua periode sejarah Bali dalam karyanya. Pertama adalah periode Bali ’65 dimana banyak orang Bali yang kena stigma komunis. Dalam karyanya, bertuliskan, “Ini KEMINIS, orang kiri, ganyang!”. Kedua adalah Bali 2020. Para PMI menyeret koper dihantui dengan tangan-tangan yang memegang handphone. “Gaes VIRUS datang! Hush, pergi, jalan-jalan!”. 

Pendapat kolega saya tadi, serta karya karikatur dari Gus Dark, menggambarkan dampak sosial budaya virus ini yang menggugat berbagai macam konsep harmonis dan semunya jargon menyama braya tentang Bali. Betapa konsep-konsep manis, damai, dan tentram membius manusia Bali untuk tidak memeriksa akar dan mengkritiknya. Tradisi harmonis berjalan membentuk manusia Bali itu sendiri. Namun sayang, tradisi itu berdiri di atas pondasi yang rapuh.

Dalam konteks inilah, tepat sekali merenungkan kembali pernyataan IBM Dharma Palguna (2007:2) dalam satu esainya,“Modifiksi Kebencian”:

Kami bangga mewarisi tradisi yang bertumpu pada keyakinan jelas, atas sesuatu yang samar-samar. Tradisi melatih pikiran kami membayangkan sesuatu yang jauh di sana. Kami fasih berbicara tentang sejuta matahari di atas langit ketujuh. Visi memandang jauh ke depan, membuat kami tak punya referensi ketika, misalnya, ada seorang kakek yang sedang sakit akhirnya mati hangus, karena tidak bisa menyelematkan diri, ketika sebuah desa adat membakar rumah warga yang dikucilkan. 

Dimana Menyama Braya itu?

Tentu apa yang terjadi belakangan ini di Bali, terutama merespon kehadiran PMI dan “hilangnya solidaritas” krama Bali, bukan hal yang biase-biase dogen (biasa-biasa saja). Seloroh yang seolah menggampangkan, Biase Gen Je, kini tentu sangat tidak tepat diungkapkan. Mungkin betul dugaan sahabat saya yang menyebutkan karena kurangnya edukasi, kepanikan warga, lemahnya mitigasi wabah ini oleh pemerintah, serta katakutan yang berlebihan akibat teror sosial media yang selalu dipenuhi berita tentang pandemi. Ini sangat logis.

Namun, saya ingin kita bersama juga bertanya, bahwa virus ini menjadi ujian dari solidaritas kemanusiaan kita. Dengan sangat menyentuh, Yuval Noah Harari (2020) mengungkapkan bahwa dampak besar dari virus ini justru adalah ujian pada nurani kita, kebencian kita, keserakahan dan ketidaktahuan kita sendiri. Ia mengkhawatirkan masyarakat bereaksi terhadap krisis pandemi ini  bukan dengan solidaritas global, melainkan dengan kebencian, saling menyalahkan. serta menyalahkan etnis dan agama minoritas. 

Harari mengingatkan dalam situasi krisis sekarang, dimana hidup dan mati begitu tipis, sangatlah penting mengembangkan sikap kasih sayang dan solider. Hanya dengan sikap inilah kita bisa mengembangkan kemurahan hati untuk membantu mereka yang membutuhkan. Dan kita bisa menilai mana yang benar dan mana yang salah. Sekaligus juga dapat melihat orang yang berhati suci atau culas.  

Pada momen pandemi Covid-19 ini kita juga bisa mengkoreksi nilai gotong royong yang selalu dipromosikan negara kepada rakyatnya. Kritik terhadap otoritas adalah kelihaiannya untuk mengapropriasi (baca: meminjam atau memantas-mantaskan diri) solidaritas rakyat untuk dipergunakan bagi kepentingan negara, dan sudah tentu diakumulasi oleh kapitalisme.    

Kita juga patut mendalami dan merenungkan kembali hakekat menyama braya (bersaudara) dan identitas kebalian dalam menghadapi krisis ini. Betulkan kita merasa menyama sebagai wong Bali dalam menghadapi krisis ini? Ataukah Mati Iba Hidup Kai (Mati Kamu Hidup Aku)?      

Saya justru melihat jasa perlindungan yang diberikan oleh lembaga dan otoritas meyempitkan laku humanisme manusia Bali. Agama, desa adat, klan soroh, dan lembaga lainnya  menawarkan perlindungan yang memberikan rasa aman pada manusia. Pada lokus inilah nilai-nilai dan perilaku dikonstruksi, disepakati, sekaligus juga dibatasi. Sayangnya, mereka lupa untuk melihat (baca: refleksi) dan merubah diri dari dalam. Ancaman selalu dipandang datang dari luar. Sementara di dalam, mereka semakin menguat dan membangun benteng untuk menangkal ancaman. 

Saking terbiusnya dengan tawaran rasa aman dan perlindungan dari lembaga dan otoritas, kita lupa bahwa mengembangkan laku humanisme, bergantung pada pribadi. Jalan menuju spiritualitas bahkan “menemui” Tuhan juga dilakukan seorang diri, tidak beramai-ramai. Pada titik inilah saya melihat bahwa meresapi menyama braya adalah pada tataran personal, pribadi, untuk mengembangkan nilai kasih, Tat Twam Asi yang sejati. Bukannya dengan suryak siyu mengikuti kata lembaga atau otoritas yang konon memberi kita rasa aman.  

Momen pandemi ini menyentak kita untuk eling kembali dan selalu mempertanyakan bujuk rayu lembaga dan otoritas. Kita seringkali diberikan pelajaran bahwa lembaga dan otoritas itu sejatinya adalah ancaman bagi rasa aman yang lebih dalam. Tidak jarang lembaga dan otoritas menelan warganya sendiri. Pada titik inilah diperlukan apa yang disebut dengan keberanian.   
 

Penulis: I Ngurah Suryawan, Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Warmadewa. Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).  

Karikatur:  Gus Dark (2020)

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami