Oligarki di Tengah Pandemi?
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
PDI Perjuangan (PDIP) terusik. Partai moncong putih ini bereaksi. Terkhusus di Bali, jajaran elit DPD PDIP serentak melaporkan pembakaran bendera PDIP bersama bendera PKI saat aksi demonstrasi menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada 24 Juni 2020. Jajaran elit PDIP Bali pada Senin, 29 Juni 2020 berorasi secara bergiliran di Kantor DPD PDIP Bali di Kawasan Renon sebelum bergerak ke Polda Bali. Tujuannya adalah untuk melaporkan pembakaran bendera partai.
Pelaporan kasus ini dilakukan serentak di seluruh daerah di Bali. DPC PDIP Kabupaten/kota bahkan sudah terlebih dahulu melaporkan kasus ini ke masing-masing Polres. Ada tiga poin pengaduan yang dilaporkan DPD PDIP Bali ke Polda: pertama, penghinaan symbol-simbol partai dengan membakar bendera PDIP. Kedua, terjadinya fitnah terhadap PDIP yang dikatakan sebagai PKI. Ketiga, melakukan tindakan kekerasan atas dalih demokrasi (Nusa Bali, Selasa, 30 Juni 2020).
PDIP menjadi partai dominan di Bali paling tidak sepuluh tahun terakhir. Jajaran legislatif dan eksekutif didominasi oleh kader partai moncong putih. Bali betul-betul metal (merah total). Namun, dominannya kekuasaan PDIP di segala institusi pemerintahan tentu menghadapi banyak tantangan sekaligus jebakan. Salah satu perangkap yang lumrah dialami adalah otokritik terhadap nilai-nilai perjuangan marhaen dan wong cilik yang pondasinya diletakkan oleh Soekarno. Atau juga kegagalan mengimplementasikan nilai-nilai Tri Sakti yaitu berdaulat dalam bidang politik, berdikari dari segi ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya.
Studi yang dilakukan oleh Retor A.W.Kaligis berjudul Marhaen dan Wong Cilik, Membedah Wacana dan Praktik Nasionalisme bagi Rakyat Kecil dari PNI sampai PDI Perjuangan (2014) menegaskan bahwa partai nasionalis seperti PDIP jika tidak berhati-hati, sangat rentan terjebak dalam lingkaran kepentingan elit kekuasaan. Sebagai pewaris gagasan nasionalisme kerakyatan, PNI (Partai Nasional Indonesia), PDI (Partai Demokrasi Indonesia), dan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) mengedepankan populisme dengan memunculkan istilah-istilah khas seperti marhaen dan wong cilik dalam wacana politik nasional.
PNI menemui kejatuhannya karena partai nasionalis ini, yang diharapkan berperan mendorong kesejahteraan rakyat, ternyata dalam praktiknya lebih berorientasi pada kepentingan elit kekuasaan dan seringkali tidak berpihak kepada rakyat kecil. PNI yang didirikan pada tahun 1946, ketika Indonesia memasuki era system multiapartai, pernah memenangkan Pemilu 1955. PNI yang juga sering menguasai kabinet, mengalami inkonsistensi pembelaan terhadap rakyat kecil.
Kaligis (2014: 4) dengan mengutip kesaksian otokritik dari Bagin, mantan sekretaris LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), organisasi kebudayaan yang dibentuk oleh PNI periode 1963-1966, mengungkapkan bahwa kantor PNI itu seperi kantor makelar. Kantor PNI ini dijadikan tempat untuk bertransaksi untuk menduduki jabatan pemerintahan, mendapatkan lisensi istimewa, termasuk mendapatkan jatah gula dari Persatuan Pedagang Gula Indonesia (PPGI). Pada paruh pertma era 1960an, Sebagian elit lokal PNI mendukung tuan-tuan tanah di perdesaan dalam isu landreform. Hal ini sangat mengecewakan kaum tani yang lalu diorganisir oleh BTI (Barisan Tani Indonesia), yang kerap berhadapan dengan par akativis PNI di daerah-daerah.
Di tengah represi Orde Baru, PDI yang merupakan fusi 5 partai, diantaranya adalah PNI, memiliki kemampuan sekaligus peran politik yang terbatas. PDI yang terkooptasi kekuasaan Orde Baru lebih cenderung menyesuaikan diri dengan konstelasi politik yang berkembang. Pada era reformasi, PDI Perjuangan menjadi partai besar yang memenangkan Pemilu 1999. Partai ini merupakan kelanjutan dari PDI dan banyak menggunakan symbol Soekarno, bahkan dipimpin langsung oleh anak Soekarno, Megawati Soekarnoputri. PDI di era kepemimpinan Megawati pernah diharapkan sebagai kekuatan untuk menghadapi hegemoni Orde Baru. Dukungan arus bawah terhadap Megawati dan PDI sejak Kongres Luar Biasa (KLB) 1993 di Surabaya terus bertambah pasca Peristiwa 27 Juli 1996. Pasca kemenangan dalam Pemilu 1999 dan terpilihnya Megawati sebagai Presiden RI tahun 2001, dukungan tersebut mulai menurun. Sebagian rakyat kecewa, antara lain, atas banyak pemberitaan ketidakkonsistenan sejumlah kadernya membela kepentingan rakyat kecil (Kaligis, 2014: 5).
PDI Perjuangan kembali menggeliat pada Pemilu 2014 dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia ke-7 dan mulai mejabat sejak 20 Oktober 2014. PDI Perjuangan semakin mengokohkan kekuasaannya pada Pemilu 2019 dan memenangkan kembali pemilihan presiden dengan terpilihnya Kembali Joko Widodo untuk kedua kalinya.
Oligarki
Selain cengkraman kekuasaan elit yang menghantui partai dominan seperti PDIP, satu hal lagi yang mungkin dilupakan oleh Kaligis (2014) dalam studinya adalah kooptasi kapital di tubuh partai politik. Kooptasi kapital ini mengacu kepada kuasa para actor-aktor yang memiliki kuasa modal besar sehingga mampu untuk mendikte bahkan menguasai system politik yang ada. Pionnya adalah para elit politik itu sendiri.
Tesis oligarki berawal dari ketimpangan kekayaan di era demokrasi. Demokrasi sebagai system politik, diinggap akan mampu mendorong kesetaraan akses dan partisipasi mengingat mayoritas rakyat biasa berkepentingan untuk mencegah terjadinya ketimpangan kekayaan. Namun pada kenyataannya, justru dalam demokrasi, kalangan kaya selalu memperkaya dirinya sendiri tanpa harus memperhatikan posisi yang ada. Kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang kaya yang memungkinkan mereka untuk memproduksi bentuk politik tertentu. Material menjadi kekuasaan politik tersendiri yang dapat mempengaruhi proses sekaligus hasil politik dalam demokrasi. Dalam system demokrasi, actor-aktor dalam oligarki bukannya terancam tapi jutsru mendapatkan ruang politik yang sangat kondusif untuk mempertahankan kepentingannya.
Konsep oligarki bersumber dari teori sumber kekuasaan. Dalam relasi oligarki, kekayaan material menjadi sumber kekuasaan tersendiri yang digunakan oleh para oligark (actor oligarki) untuk mempengaruhi serta merespon siatuasi politik yang ada. Terdapat lima sumber utama kekuasaan individual yaitu: pertama, kekuasaan berdasarkan hak-hak politik; kedua, kekuasaan berdasar posisi resmi dalam pemerintahan atau dalam suatu organisasi; ketiga, kekuasaan koersif; keempat, kekuasaan memobilsiasi; dan kelima, kekuasaan material. Empat sumber kekuasaan pertama jika dikuasai oleh individu akan menciptakan kekuasaan elit. Sementara hanya kekuasaan materiallah yang akan memproduksi oligarki dan oligark (Winters, 2011; Ridha, 2020: 5-14).
Kuatnya cengkraman para oligark yang mempengaruhi keputusan politik kental terasa dalam penerapan kehidupan new-normal (normal baru) di masa pandemi ini. Laporan Majalah TEMPO edisi 1-7 Juni 2020 dengan gamblang menuliskan bahwa lobi-lobi pengusaha ikut mendorong pemerintah memberlakukan tatanan new-normal di tengah pandemi ini. Tanpa indicator jelas, pemerintah menetapkan puluhan daerah, yang sebagian merupakan zona merah, untuk menerapkan tatanan baru. Dengan pengujian sampel yang masih minim, sejumlah ahli memperkirakan bakal terjadi gelombang kedua wabah. Jeritan pengusaha yang kian tercekik akibat penurunan pendapatan, serta kondisi kas negara yang terancam bolong, pastilah berperan mendorong kebijakan tersebut. Meski pemerintah berkali-kali menegaskan tak akan mengorbankan Kesehatan masyarakat demi memutar roda ekonomi, fakta di lapangan menunjukkan situasi tak akan sesederhana itu.
Dengan argumentasi itulah, pantas kita menduga bahwa geliat oligarki di tengah pandemic ini bukan ilusi semata. Politik, oligarki, dan kebijakan public saling bekelidan mengakumulasi kapital dan kuasa. Jika demikian situasinya, dimana nasib para marhaen dan wong cilik yang konon diperjuangkan oleh partai politik nasionalis?
Penulis: I Ngurah Suryawan
Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa. Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).
Reporter: bbn/opn