search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Jepang Catat Rekor Kasus Bakteri Pemakan Daging, 77 Meninggal
Rabu, 19 Juni 2024, 09:15 WITA Follow
image

beritabali.com/cnnindonesia.com/Jepang Catat Rekor Kasus Bakteri Pemakan Daging, 77 Meninggal

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DUNIA.

Jepang mencatat rekor baru kasus infeksi bakteri 'pemakan daging'.

Kementerian Kesehatan Negeri Sakura melaporkan per 2 Juni, ada 977 kasus streptococcal toxic shock syndrome (STSS) yang tersebar di seluruh negeri. Selama rentang Januari hingga Maret, sebanyak 77 orang meninggal dunia akibat infeksi ini.

Dilansir dari CNN, ini merupakan rekor baru kasus STSS di Jepang setelah pada 2023 mencapai 941 kasus.

National Institute of Infectious Diseases Jepang melaporkan pada 2023, sebanyak 97 kematian terjadi akibat STSS. Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi kedua selama enam tahun terakhir.

Apa itu STSS?

STSS merupakan kasus infeksi bakteri yang jarang terjadi namun bisa berakibat fatal ketika dialami manusia. STSS mampu berkembang ketika bakteri menyebar ke jaringan dalam dan aliran darah.

Pasien yang terinfeksi mulanya akan menderita demam, nyeri otot, dan muntah-muntah. Gejala ini bisa semakin parah hingga mengancam nyawa karena menurunkan tekanan darah, menyebabkan pembengkakan, dan syok tubuh sehingga beberapa organ tak bisa bekerja.

"Bahkan meskipun diobati, STSS bisa tetap mematikan. Dari 10 orang yang mengidap STSS, tiga orang akan meninggal karena infeksi," demikian menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC).

Sebagian besar kasus STSS disebabkan oleh bakteri group A streptococcus (GAS). Bakteri ini yang menyebabkan demam dan sakit tenggorokan pada anak-anak.

GAS bisa menjadi invasif ketika menghasilkan racun yang memungkinkannya mendapatkan akses ke aliran darah sehingga mengakibatkan penyakit serius seperti syok toksik.

Kendati begitu, kondisi tersebut cukup jarang terjadi.

GAS juga bisa menyebabkan kondisi fasciitis nekrotikans alias infeksi jaringan lunak yang bisa menghancurkan jaringan di kulit dan otot. Pasien dengan kondisi ini berpotensi kehilangan anggota tubuh.

Kendati demikian, sebagian besar pasien yang mengidap STSS memiliki riwayat kesehatan lain seperti kanker atau diabetes sehingga menurunkan kemampuan tubuh mereka untuk melawan infeksi.

Meroket Pasca-pandemi

Kasus infeksi bakteri ini sempat tak masif ketika pandemi Covid-19. Sebab saat itu orang-orang mengenakan masker dan menjaga jarak.

Namun, setelah pembatasan dilonggarkan, kasus ini pun kembali merebak.

Pada Desember 2022, lima negara Eropa melapor kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa ada peningkatan invasive group A streptococcus (iGAS) yang kebanyakan menjangkiti anak-anak di bawah 10 tahun.

CDC saat itu juga melaporkan peningkatan serupa ketika mereka mengaku sedang menginvestigasi kasus tersebut.

Pemerintah Jepang sendiri sejak Maret telah memperingatkan bahwa ada lonjakan kasus STSS.

Menurut Institut Nasional Penyakit Menular Jepang, jumlah kasus STSS yang disebabkan iGAS sudah meningkat sejak Juli 2023. Kasus ini disebut banyak terjadi di kalangan orang berusia di bawah 50 tahun.

Seiring dengan itu, CDC menyebut orang tua yang memiliki luka terbuka paling berisiko terjangkit STSS. Begitu pula mereka yang baru menjalani operasi.

"Namun, para ahli tidak tahu bagaimana bakteri itu masuk ke dalam tubuh," demikian pernyataan CDC.

Sejauh ini, penyebab peningkatan kasus STSS di Jepang tahun ini belum diketahui.

Profesor dari Tokyo Women's Medical University, Ken Kikuchi, menduga lonjakan kasus di Jepang diakibatkan oleh melemahnya sistem kekebalan tubuh setelah pandemi Covid-19.

"Kita bisa meningkatkan kekebalan tubuh jika kita terus-menerus terpapar bakteri. Namun mekanisme itu tidak terjadi selama pandemi Covid-19," ujarnya.

"Oleh sebab itu, banyak orang sekarang rentan terhadap infeksi dan mungkin itu jadi salah satu alasan kasus ini meningkat tajam," imbuh dia. (sumber: cnnindonesia.com)

Editor: Juniar

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami