Ngusabha Pekakak, Tradisi Desa Sudaji Setiap Purnama Sasih Kasa
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, BULELENG.
Warga Desa Pakraman Sudaji, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng menggelar tradisi tahunan selamatan (Ngusabha) Pekakak dengan penuh antusias, Senin 22 Juli 2024 malam.
Tradisi ini merupakan bentuk rasa syukur atas karunia kesuburan tanah dan melimpahnya hasil panen yang diwariskan leluhur dan dilestarikan hingga saat ini.
Sebagai sebuah tradisi yang turun temurun, Ngusabha Pekakak dilaksanakan setiap tahun sebagai upacara penutup pujawali di Pura Bale Agung Desa Sudaji, tepatnya pada Purnama Sasih Kasa. Pekakak merupakan sebuah persembahan dua ekor babi guling alit (kecil) dan ageng (besar) yang dibakar setengah matang, kemudian diikat pada bambu.
Setelah itu, Pekakak akan diarak oleh pemuda desa setempat menuju catus pata (perempatan desa) untuk selanjutnya dibawa ke Pura Maspahit Desa Sudaji.
Menurut Jro Made Darsana, selaku pengempon atau Kelian Subak, mengungkapkan Ngusabha Pekakak telah dilaksanakan sejak tahun 1959 dan menjadi sebuah kepercayaan yang wajib dilaksanakan setiap tahunnya.
"Dulu pernah tidak dilakukan acara Pekakak ini, dan mengakibatkan hasil pertanian di desa kami mengalami penurunan hingga gagal panen," ungkapnya.
Babi yang digunakan harus memiliki warna hitam legam dan dalam kondisi sempurna, baik fisik maupun bulunya. Tradisi ini rutin digelar secara turun temurun meski tak ada catatan tertulis mengenai asal usul Pekakak.
"Dulu Bukakak namanya, hanya ada di Pura Desa Sudaji. Tapi sekitar tahun 1959 ada warga yang kesurupan memberikan petunjuk untuk membuat Bukakak juga di Pura Taman, sehingga ada Bukakak ageng dan alit. Karena ada dua Bukakak, jadi penyebutannya adalah Pekakak," ucap Kelian Subak Dukuh Gede, Desa Sudaji, Made Darsana.
Arak-arakan Pekakak diiringi dengan alunan gambelan (gong) dan daun kelapa kering yang dibakar, menghadirkan suasana yang semarak. "Pekakak Ageng memiliki berat 100 kilo lebih, sedangkan Pekakak Alit memiliki berat 90 kilo," tambah Jro Made Darsana.
Uniknya, pembawa Pekakak Ageng dan Alit mengenakan tanda pengenal yang berbeda. Mereka yang mengusung Pekakak Ageng memakai ikat berwarna hijau di leher, melambangkan dewi kesuburan, sementara pembawa Pekakak Alit mengenakan ikat berwarna merah, simbol dewa Brahma.
Tradisi Ngusabha Pekakak tidak hanya menjadi bentuk rasa syukur, tetapi juga sebagai momen untuk mempererat tali persaudaraan antar warga desa. Seluruh warga bahu membahu dalam mempersiapkan dan melaksanakan upacara ini, Selama prosesi, warga dari berbagai kalangan usia bergotong royong mempersiapkan segala keperluan upacara.
"Ini merupakan tradisi yang sangat penting bagi kami, dan kami bersyukur dapat terus melestarikannya hingga saat ini," tutupnya.
Usai pengarakan selesai, Pekakak tersebut dibawa ke Pura Maspahit Desa Sudaji, selanjutnya kedua babi itu kemudian dimasak ulang menjadi lawar dan dibagikan kepada warga subak Dukuh Gede.
Ngusabha Pekakak menjadi bukti kekayaan budaya dan tradisi yang dimiliki oleh Desa Sudaji. Tradisi ini patut dilestarikan sebagai bagian dari identitas dan warisan budaya leluhur.
Editor: Robby
Reporter: bbn/bul