Jeritan Sunyi di Balik Senyum: Kisah Seorang Guru yang Berjuang Melawan Luka Batin
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Di balik senyum seorang guru, terkadang tersembunyi jeritan yang tak terdengar oleh siapa pun. Seorang pria berusia 31 tahun, guru komputer di sebuah sekolah dasar, datang dengan raut wajah gelisah.
Dalam sesi wawancara, air matanya mengalir terus. Ia berkata, “Saya merasa bersalah… saya tidak tahu kenapa dua bulan ini saya marah-marah terus. Teman saya lelah dan mau meninggalkan saya… saya takut ditinggalkan.”
Bukan hanya tangisan yang ia bawa. Di tubuhnya terdapat bekas luka sebagai hasil dari usaha menyakiti diri berupa goresan, gigitan, luka di tangan, paha, dan badannya. Suara-suara di telinganya menyuruhnya mati.
“Kamu bodoh. Kamu orang gila. Kamu lebih baik mati saja,” ujar suara laki-laki yang dilihatnya sebagai sosok besar berbadan hitam yang terus mengikutinya.
Ini bukan kisah fiksi. Ini adalah potret nyata dari keputusasaan yang seringkali tersembunyi di tengah masyarakat kita.
Saat Hidup Menjadi Terlalu Berat
Orang yang ingin mengakhiri hidupnya sejatinya sedang mencari pertolongan. Mereka tidak sungguh ingin mati, mereka hanya ingin menghentikan rasa sakit yang tidak tertanggungkan. Bunuh diri sebagai bentuk “jeritan yang tidak terdengar”, sebagai bentuk permintaan tolong dari jiwa yang kelelahan.
Dalam dunia psikiatri, gejala yang dialami pria ini tergolong kondisi krisis yang mengindikasikan depresi berat dengan gejala psikotik. Artinya, ia tidak hanya mengalami kesedihan mendalam dan hilangnya harapan hidup, tetapi juga mulai kehilangan kemampuan membedakan mana kenyataan dan mana halusinasi.
Suara-suara yang menyuruhnya mati dan bayangan sosok hitam yang mengikutinya merupakan tanda gangguan persepsi realitas. Sementara tindakan menyakiti diri adalah bentuk teriakan dari rasa sakit emosional yang tak tertahankan, bukan sekadar "drama" atau "cari perhatian", tapi sinyal serius bahwa nyawa seseorang sedang berada dalam bahaya. Dalam dunia psikiatri, ini adalah keadaan gawat darurat yang membutuhkan penanganan segera.
Mengapa Ini Bisa Terjadi?
Bunuh diri bukan semata-mata karena “tidak kuat”. Ada banyak faktor yang mempengaruhi seperti trauma masa kecil, tekanan sosial, kehilangan orang yang dicintai, hingga gangguan kimiawi di otak. Depresi berat dengan gejala psikotik berkaitan erat dengan disfungsi sistem saraf pusat, termasuk rendahnya kadar neurotransmiter seperti serotonin dan dopamin.
Halusinasi, gangguan tidur dan impuls menyakiti diri, semua itu bukan "buatan" atau "lemah iman", tetapi hasil dari gangguan nyata pada otak dan sistem hormon stres. Perasaan takut ditinggalkan, mudah marah, dan menyakiti diri sendiri sering muncul pada individu yang mengalami trauma relasional atau luka keterikatan di masa lalu.
Kondisi ini juga dapat berkaitan dengan gangguan kepribadian tertentu, seperti borderline personality traits, yang membuat seseorang sulit mengatur emosi dan sangat sensitif terhadap penolakan. Sebanyak 90% kasus bunuh diri berkaitan dengan gangguan jiwa baik itu depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, atau kepribadian yang rapuh.
Setiap pikiran negatif yang dipelihara terlalu lama bisa berubah menjadi racun. Jika dibiarkan, ia bisa tumbuh dan mengambil alih realitas kita. Pikiran negatif yang terus-menerus, bisikan-bisikan batin yang menghina diri sendiri, rasa malu, kecewa, dan dendam bisa menjelma menjadi suara-suara di kepala yang terdengar nyata.
Selain suara yang terdengar nyata juga bisa bermanifestasi melihat sosok yang tidak tampak bagi orang lain, atau merasakan maupun mencium dan mengecap sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Ini bukan imajinasi biasa, melainkan pengalaman nyata yang benar-benar dialami oleh penderitanya dan bahkan bisa mengganggu fungsi hidup sehari-hari.
Akumulasi luka batin, pikiran negatif, dan emosi yang tertahan yang terus berkembang tanpa disadari layaknya sebuah kanker pikiran yang bisa "bermetastasis" menjadi gejala yang lebih berat termasuk halusinasi, paranoia, atau bahkan dorongan untuk menyakiti diri.
Guru ini sedang berada dalam krisis relasional dimana kehilangan rasa aman dalam relasi dekatnya. Ketika seseorang tidak lagi merasa punya tempat bercerita, sistem pendukung sosial yang lemah dapat memperparah krisis emosional dan memicu pikiran untuk mengakhiri hidup.
Dalam banyak kasus, relasi yang tidak sehat, pengucilan sosial, atau tekanan pekerjaan menjadi pencetus utama. Di banyak masyarakat, termasuk di Indonesia, laki-laki sering kali diajarkan untuk menahan tangis, tidak menunjukkan kelemahan, dan “harus kuat”. Akibatnya, banyak pria dewasa muda tidak mencari pertolongan saat mengalami gangguan jiwa, bahkan merasa malu untuk sekadar mengungkapkan kesedihan.
Seseorang yang berada dalam kondisi terpuruk dan kehilangan arah bisa merasa bahwa “mati” adalah satu-satunya jalan keluar. Dalam budaya Bali, ini dikenal sebagai ulah pati, kematian yang tidak dibenarkan secara spiritual dan meninggalkan luka mendalam bagi keluarga.
Sayangnya, di masyarakat kita, ungkapan kesedihan dan tangis dari seorang laki-laki dewasa sering dianggap lemah atau berlebihan. Padahal, justru keberanian untuk mengungkapkan rasa sakit itulah yang seharusnya dihargai. Pria ini telah mengalami gangguan tidur, kehilangan kontrol emosi, konflik relasi, hingga keinginan untuk mengakhiri hidup. Semua itu adalah tanda-tanda kegawatdaruratan psikiatri yang memerlukan pertolongan segera.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kita sebagai masyarakat harus lebih peka terhadap sinyal-sinyal krisis mental seperti ini:
• Perubahan suasana hati yang ekstrem.
• Menarik diri dari lingkungan sosial.
• Perilaku menyakiti diri sendiri.
• Halusinasi atau bicara hal-hal tidak masuk akal.
• Ungkapan ingin mati atau merasa tidak berharga.
Jangan tunggu sampai terlambat. Ketika seseorang menunjukkan gejala seperti ini, langkah terbaik adalah membawanya ke layanan kesehatan jiwa atau rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan profesional. Gangguan jiwa adalah kondisi medis. Seperti luka di tubuh, luka di pikiran juga bisa disembuhkan dengan pengobatan, terapi, dan cinta.
Hidup Ini Tidak Pernah Terlambat untuk Diperjuangkan
Kasus ini bukan hanya tentang seorang guru yang putus asa. Ini tentang bagaimana kita sebagai masyarakat perlu belajar mendengar, memahami, dan hadir bagi orang-orang di sekitar kita. Bahwa depresi bukan kelemahan. Bahwa bunuh diri bukan pilihan. Dan bahwa setiap orang yang sedang dalam penderitaan berhak mendapatkan dukungan, bukan penilaian. Ia bukan orang lemah namun ia adalah orang yang sedang berjuang dalam sunyi.
Mari kita jadikan kisah ini sebagai pengingat bahwa setiap orang, di balik senyum dan perannya di masyarakat, bisa saja sedang berperang dalam jiwanya. Kita sebagai sesama manusia punya peran untuk saling menjaga dan menyelamatkan. Jangan biarkan mereka mati sia-sia. Jadilah suara bagi jiwa yang terdiam. Jika di sekitar kita ada orang yang menunjukkan tanda-tanda keputusasaan, jangan diam. Ulurkan tangan. Anda mungkin sedang menyelamatkan sebuah nyawa. (Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim