search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Bukan Soal Mati, Tapi Ingin Dimengerti: Kisah di Balik Percobaan Bunuh Diri
Minggu, 6 Juli 2025, 12:05 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi/Bukan Soal Mati, Tapi Ingin Dimengerti: Kisah di Balik Percobaan Bunuh Diri.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Seorang pria berusia 33 tahun ditemukan dalam kondisi mengenaskan terlentang dengan mata mendelik dan tubuh bersimbah darah dan cairan pembersih lantai di kamar kosnya. 

Mulutnya masih mengeluarkan ludah bercampur darah. Ia baru saja mencoba mengakhiri hidupnya dengan menenggak cairan pembersih lantai. Dalam kondisi penuh rasa sakit setelah dibawa ke UGD, ia masih mampu menyebutkan namanya dan mengatakan bahwa ia meminum cairan tersebut atas keinginannya sendiri. 

Tidak ada yang menyuruhnya. Ia hanya berkata ada masalah, namun enggan menjelaskan lebih lanjut. Pesan terakhir yang dikirimkan kepada temannya hanyalah kalimat singkat, “Bli, selamat tinggal. Saya minta maaf.”

Ia dikenal oleh temannya sebagai seorang pekerja keras. Tamatan SMP, sudah 10 tahun bekerja di toko gelato dan dipercaya sebagai supervisor. Ia dikenal baik, tidak pernah punya masalah hukum, namun juga dikenal pendiam dan tertutup. 

Di balik wajah tenangnya, ia menyimpan tekanan ekonomi, konflik keluarga, dan rasa tanggung jawab yang terlalu besar sebagai tulang punggung keluarga. Ia sempat meminjam uang ke perusahaan, bermain trading dan kemungkinan merugi, namun tetap berusaha menutupi semuanya sendiri. 

Beban di balik senyum

Tindakan percobaan bunuh diri yang dilakukan ini mencerminkan konflik internal yang berlangsung lama antara kebutuhan akan penerimaan dan rasa bersalah. Antara dorongan untuk bertahan dan dorongan destruktif yang muncul sebagai upaya pelarian dari tekanan jiwa yang tidak tertahankan. 

Pasien dikenal sebagai pribadi tertutup, jarang mengungkapkan masalah, dan cenderung memendam perasaan. Dalam hal ini dapat dipahami sebagai penggunaan mekanisme pertahanan diri seperti represi (penekanan emosi dan konflik), isolasi (memisahkan emosi dari pengalaman), dan kemungkinan reaksi formasi (menampilkan sikap tenang atau baik sebagai kompensasi atas konflik agresif atau frustasi).

Tindakan meminum cairan pembersih dan meninggalkan pesan perpisahan menunjukkan dorongan destruktif yang diarahkan kepada diri sendiri. Hal ini dapat dipahami sebagai bentuk Thanatos (insting kematian), yaitu dorongan ke arah kehancuran diri ketika tekanan jiwa tidak tersalurkan secara adaptif. 

Namun tindakan ini bukan semata-mata keinginan untuk mati, melainkan teriakan dalam dirinya sebagai ekspresi simbolik atas keputusasaan yang tidak mampu ia komunikasikan dengan kata-kata. Hal ini mengindikasikan adanya kegagalan fungsi ego dalam menyeimbangkan tekanan dari id (dorongan bawah sadar yang kuat yaitu rasa frustrasi dan malu karena kegagalan ekonomi) dan superego (rasa bersalah karena merasa mengecewakan keluarga dan tidak mampu menjalankan tanggung jawab).

Jika dilihat dari pengalaman masa lalu pasien dengan figur ibu yang kuat, kemungkinan ibu sebagai objek primer yang diidealkan dan berperan dalam pembentukan pola hubungan interpersonalnya. Ia menjadi pribadi yang sangat bertanggung jawab terhadap ibunya, bahkan hingga mengorbankan kesejahteraan dirinya. 

Ketergantungan emosional terhadap peran sebagai “penyelamat” keluarga dapat menyebabkan idealisasi diri yang rapuh. Ketika harapan atau identitas ini runtuh (misalnya akibat kegagalan finansial), pasien kehilangan rasa harga diri secara drastis. Dalam kerangka ini, tindakan bunuh diri bisa dimaknai sebagai bentuk penghukuman diri karena kegagalan memenuhi ekspektasi internal yang berasal dari figur penting masa lalunya.

Kecenderungan untuk menarik diri dan tidak membuka perasaan kepada orang lain juga menunjukkan kemungkinan ketakutan akan penolakan atau pengabaian jika ia menunjukkan kelemahan. Mekanisme ini berkaitan dengan dinamika ambivalensi dalam relasi objek dasar di mana cinta dan agresi terhadap objek yang sama (misalnya sosok ibu) belum tersintesis secara matang. 
Ketidakmampuan menyalurkan kemarahan secara eksternal (terhadap sistem, keluarga, atau beban yang ia alami) akhirnya berbalik menjadi kemarahan terhadap diri sendiri (autoagresi).

Secara keseluruhan, ia mengalami konflik intrapsikis yang mendalam antara ideal-ego yang menuntut untuk selalu kuat, kebutuhan mendalam akan afeksi dan pemahaman, serta realitas batin yang penuh tekanan namun tanpa ruang untuk pemrosesan emosional yang sehat.

Kebutuhan untuk dimengerti

Dalam teori perkembangan psikososial, setiap individu akan menghadapi delapan tahap krisis psikososial sepanjang rentang kehidupannya. Setiap tahap mencerminkan konflik utama yang harus diselesaikan agar perkembangan kepribadian berjalan sehat. 
Pada usia 33 tahun, pasien berada dalam tahap “Intimacy vs Isolation”, yakni tahap perkembangan yang khas bagi usia dewasa awal (20–40 tahun), di mana individu ditantang untuk membangun kedekatan emosional, hubungan yang bermakna, serta membentuk keterikatan yang sehat dengan orang lain.

Dalam kasus ini pasien menunjukkan kegagalan dalam menyelesaikan tugas perkembangan tersebut secara adaptif. Ia diketahui sebagai pribadi tertutup, jarang mengungkapkan perasaan, dan cenderung memendam masalah meskipun menghadapi tekanan berat, baik secara ekonomi maupun keluarga. 

Tidak ditemukan informasi bahwa ia memiliki pasangan atau relasi emosional yang signifikan di luar hubungan dengan keluarganya, khususnya sang ibu yang menjadi pusat tanggung jawab hidupnya. Hal ini mencerminkan terjadinya isolasi emosional yang cukup mendalam. Meskipun pasien hidup dalam lingkungan kerja dan memiliki teman, relasi tersebut tampaknya tidak berkembang menjadi hubungan yang cukup aman secara emosional untuk tempat berbagi atau mencurahkan perasaan terdalamnya.

Isolasi yang dialami pasien bukan hanya dalam bentuk fisik atau sosial, tetapi juga dalam bentuk psikologis, dimana ia merasa sendirian dalam menghadapi beban hidup, merasa tidak dimengerti, dan tidak memiliki tempat yang aman untuk mengekspresikan kerapuhan. Kondisi ini menunjukkan bahwa krisis intimacy vs isolation lebih condong pada sisi negatif, yaitu isolasi. 
Kegagalan dalam membentuk kedekatan emosional dapat memunculkan perasaan terasing, kesepian, dan kehampaan, yang pada kondisi ekstrem seperti yang dialami pasien dapat berkembang menjadi keputusasaan dan akhirnya mendorong munculnya ide atau tindakan bunuh diri sebagai bentuk pelarian dari penderitaan batinnya.

Faktor-faktor psikososial lainnya seperti latar belakang pendidikan (SMP), tekanan ekonomi akibat kegagalan dalam trading, tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga, serta ketidakmampuan memperoleh bantuan yang memadai dari lingkungan sosial, juga berperan dalam memperburuk krisis identitas dan keintiman yang dialami. 

Di sisi lain, tidak ada figur dukungan sosial yang secara konsisten hadir sebagai secure base bagi pasien, baik dari keluarga maupun relasi interpersonal lainnya. Absennya dukungan emosional ini menjadi faktor risiko serius dalam tahap kehidupan di mana kebutuhan akan kelekatan dan kepercayaan interpersonal sangat penting.

Trading sebagai pelarian

Pilihan pasien untuk terlibat dalam aktivitas trading meskipun tanpa latar belakang pendidikan keuangan formal tidak dapat dilepaskan dari konteks tekanan hidup yang ia alami.  Ia menghadapi beban ekonomi dan tanggung jawab sosial yang sangat berat. 

Dalam situasi tersebut, trading tampak seperti jalan pintas untuk memperbaiki kondisi keuangan. Trading (terutama yang berbasis digital seperti saham, forex, atau kripto) memberikan ilusi kendali bahwa dengan pengetahuan atau keberanian, seseorang bisa “mengubah nasibnya” secara cepat. Bagi orang yang merasa hidupnya statis dan penuh tekanan, trading bisa tampak seperti pintu darurat untuk perubahan nasib hidup. 

Aktivitas ini memberikan harapan akan solusi cepat dan potensi perubahan nasib secara instan, sesuatu yang sangat menggoda bagi mereka yang merasa tidak punya cukup pilihan dalam hidupnya. Secara psikologis, trading menjadi mekanisme pelarian bukan hanya dari masalah ekonomi, tetapi juga dari rasa tidak berdaya, malu, dan ketidakmampuan memenuhi ekspektasi keluarga. 

Aktivitas ini memberikan stimulasi emosional (harapan, adrenalin, antisipasi) yang menggantikan perasaan hampa atau kegagalan. Ia menjadi pengganti relasi sosial atau harga diri yang rapuh. Ketika seseorang merasa kehilangan kendali atas hidupnya, trading memberikan ilusi kontrol, seolah-olah keberhasilan ada di tangan sendiri, hanya tinggal menekan tombol dan mengambil keputusan.

Namun, di balik itu semua, terdapat bahaya tersembunyi. Minimnya literasi keuangan membuat pasien tidak memahami risiko besar dalam aktivitas ini. Kerugian yang dialami tidak hanya berdampak secara materi, tetapi juga menghantam harga diri dan rasa kebermaknaan hidupnya. 

Dalam hal ini, kerugian finansial dipersepsikan sebagai kegagalan total sebagai anak, tulang punggung keluarga, dan individu yang seharusnya kuat. Ketika harapan besar bertemu dengan kegagalan besar, terjadilah kehancuran psikologis yang sangat dalam. 

Dalam konteks budaya sosial saat ini, di mana narasi sukses cepat dari trading banyak dibagikan di media sosial, pasien bisa jadi merasa “tertinggal” atau “tidak berguna” ketika kenyataan tidak sesuai harapan. Di sinilah trading tidak hanya menjadi pilihan ekonomi, tetapi juga cermin dari keputusasaan dan krisis identitas. Trading bukan semata aktivitas keuangan, melainkan simbol dari perjuangannya untuk membebaskan diri dari beban hidup, perjuangan yang akhirnya membuatnya nyaris kehilangan nyawa.

Apa yang bisa dilakukan dalam memberikan makna kehidupan 

Dari sudut pandang pencegahan bunuh diri, pendekatan yang berfokus pada pemulihan makna hidup menjadi sangat relevan. Intervensi harus menggali kembali nilai-nilai yang ia yakini, orang-orang yang ia sayangi, pengalaman yang pernah membuatnya merasa hidup dan berarti. 

Terapi berbasis logotherapy, dignity therapy, atau narrative therapy dapat menjadi sarana untuk membantu pasien menyusun ulang narasi hidupnya, bahwa nilai diri seseorang tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak uang yang bisa ia hasilkan, tetapi juga dari keberanian, kepedulian, dan cinta yang ia berikan selama ini.

Penting juga untuk menciptakan ruang sosial dan psikologis yang aman, di mana ia merasa dilihat bukan hanya sebagai "penyintas kegagalan", tetapi sebagai manusia yang tetap punya harapan dan tempat dalam dunia ini. Membangun relasi yang otentik, mendukung proses berbagi makna secara terbuka, serta menumbuhkan kembali koneksi spiritual atau tujuan hidup jangka panjang, merupakan bagian dari strategi menyeluruh dalam pencegahan bunuh diri.

Dengan demikian, kasus ini mengajarkan kita bahwa pencegahan bunuh diri bukan hanya soal menghapus gejala atau memberi obat, tetapi juga tentang menyalakan kembali cahaya kecil di dalam diri seseorang, bahwa hidupnya masih penting, bahwa keberadaannya masih berarti, dan bahwa dunia ini masih membutuhkan dirinya. (Prof. Cokorda Bagus Jaya Lesmana)

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami