Begini Efek Derita dari Krisis Biaya Hidup
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DUNIA.
Dana Moneter Internasional (IMF) membeberkan bahayanya krisis biaya hidup yang menghampiri dunia tahun ini. Hal ini diungkap IMF dalam World Economic Outlook (WEO): Countering The Cost-of-Living yang dirilis minggu ini, Senin (10/10/2022).
Baca juga:
NATO Gelar Latihan Nuklir Pekan Depan
IMF krisis biaya hidup semakin persisten dan meluas. Hal ini bisa memicu tantangan inflasi yang lebih tinggi ke depannya.
"Risiko penurunan prospek tetap tinggi, sementara pertukaran kebijakan untuk mengatasi krisis biaya hidup menjadi lebih menantang," ujar Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas, dalam paparannya, dikutip Kamis (13/10/2022).
Kenaikan harga di balik krisis ini menjadi ancaman paling mendesak bagi kemakmuran banyak negara di dunia baik saat ini dan masa yang akan datang. Bahkan, Gourinchas menuturkan krisis biaya hidup dapat menekan pendapatan riil dan merusak stabilitas makroekonomi.
Krisis biaya hidup ini, kata Gourinchas, harus ditangani dengan kebijakan dari bank sentral.
"Bank sentral sekarang fokus pada pemulihan stabilitas harga, dan laju pengetatan telah meningkat tajam," sambungnya.
Namun, dia mengingatkan ada risiko pengetatan yang terlalu lemah dan terlalu kuat. Pengetatan yang lemah justru semakin memperkuat inflasi, mengikis kredibilitas bank sentral, dan membuat ekspektasi inflasi tak terkendali.
"Seperti yang diajarkan sejarah kepada kita, ini hanya akan meningkatkan biaya untuk mengendalikan inflasi," kata Gourinchas.
Sementara itu, pengetatan moneter yang agresif bisa memicu ekonomi global masuk ke resesi parah. IMF memandang kebijakan keuangan harus memastikan bahwa pasar tetap stabil.
"Namun, bank sentral tetap perlu berpegang teguh pada kebijakan moneter yang secara tegas berfokus pada penjinakan inflasi," pungkasnya.
28 Negara
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan dirinya mendapatkan informasi dari Washington DC bahwa sejumlah negara tengah antre untuk menjadi pasien IMF.
"Dari pertemuan di Washington DC, 28 negara sudah antre di markasnya IMF menjadi pasien," papar Jokowi, Selasa (11/10/2022).
Jokowi pun membeberkan informasi ini didapatnya dari Sri Mulyani. Indonesia Mission Chief, Asia and Pacific Department, IMF Cheng Hoon Lim, mengungkapkan bahwa 28 negara tersebut mengalami permasalahan serius akibat kenaikan harga pangan yang luar biasa.
"Mereka berada dalam tantangan mikro karena kita tahu negara-negara yang paling rentan berada di Afrika," paparnya.
Baca juga:
4 Negara Asia Ini Jadi Musuh Putin
Dia mengungkapkan IMF akan memberikan bantuan keuangan darurat bagi negara-negara yang mengalami masalah kerawanan pangan. Beberapa waktu lalu, (3/10/2022), IMF mengingatkan bahwa hingga saat ini 20 negara, terutama negara Afrika, tengah memerlukan bantuan darurat untuk mengatasi krisis pangan global.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menuturkan 141 juta orang di seluruh wilayah Arab pun terekspos pada risiko ini.
IMF pun telah menyetujui paket pinjaman untuk mengatasi kerawanan pangan atau 'food shock' baru di bawah instrumen pembiayaan darurat yang ada untuk membantu negara-negara rentan mengatasi kekurangan pangan dan biaya tinggi yang merupakan efek dari perang Rusia di Ukraina.
Georgieva mengatakan bahwa 48 negara di seluruh dunia secara khusus terkena krisis pangan.
"Dari 48 negara, sekitar 10-20 kemungkinan akan meminta (bantuan darurat)," kata Georgieva, seraya menambahkan bahwa cukup banyak dari mereka berasal di sub-Sahran Afrika.
Solusi IMF
Director of the Fiscal Affairs Department IMF Vitor Gaspar dan timnya mengungkapkan bagi pemerintah untuk menghadapi krisis biaya hidup.
"Pemerintah menghadapi trade-off yang sulit di tengah kenaikan tajam harga pangan dan energi. Pembuat kebijakan harus melindungi keluarga berpenghasilan rendah dari kerugian pendapatan riil yang besar dan memastikan akses mereka ke makanan dan energi," katanya.
Namun, pemerintah negara-negara di dunia juga harus mengurangi kerentanan dari utang publik yang besar sebagai efek dari inflasi yang tinggi, serta mempertahankan sikap fiskal yang ketat sehingga kebijakan fiskal tumpang tindih dengan kebijakan moneter.
IMF mencatat harga pangan telah naik setengahnya sejak 2019 dan gangguan pasokan terus berlanjut baik di pasar pangan maupun energi.
"Harga yang lebih tinggi mengancam standar hidup masyarakat di mana-mana, mendorong pemerintah untuk memperkenalkan berbagai langkah fiskal, termasuk subsidi harga, pemotongan pajak, dan transfer tunai," ungkapnya.
IMF memperkirakan rata-rata biaya fiskal dari upaya penyelamatan tersebut mencapai 0,6 persen dari PDB nasional. Nilai ini di atas subsidi yang sudah ada sebelumnya.
Di saat bersamaan, sebagian besar pemerintah menghadapi tekanan lebih lanjut pada keuangan publik yang sudah tegang oleh pandemi.
Meningkatnya inflasi, melemahnya mata uang, dan kenaikan suku bunga menjadi kombinasi sempurna yang menyebabkan lonjakan spread utang di banyak negara meningkat dan beban bunga yang lebih tinggi di masa mendatang.
Efeknya, utang publik global diproyeksikan akan tetap tinggi pada 91 persen dari PDB pada tahun 2022, setelah surut dari rekor tertinggi dalam sejarah pada tahun 2020 dan tetap sekitar 7,5 poin persentase lebih tinggi dari tingkat prapandemi.
"Negara-negara berpenghasilan rendah sangat rentan: hampir 60 persen ekonomi termiskin berada dalam kesulitan utang atau berisiko tinggi," kata Gaspar.
Gaspar mengungkapkan pemerintah perlu membangun ketahanan dari waktu ke waktu terhadap berbagai guncangan yang merugikan. Pandemi dan krisis keuangan global, di luar bencana alam telah menunjukkan bahwa pemerintah harus bersiap menghadapi guncangan.
"Membangun penyangga fiskal secara bertahap pada akhirnya akan memungkinkan pembuat kebijakan untuk merespons krisis dengan cepat dan fleksibel," ungkapnya.
Beberapa perangkat fiskal yang terbukti bermanfaat selama pandemi dapat dijadikan bagian dari perangkat yang lebih permanen, tergantung pada kapasitas negara dan ruang fiskal yang tersedia.
"Skema retensi pekerjaan, misalnya, terbukti efektif selama pandemi dengan menstabilkan lebih dari 40 persen kehilangan pendapatan individu di Uni Eropa," sambungnya.
Selain itu, dukungan keuangan yang luar biasa kepada perusahaan dapat mencegah kebangkrutan yang meluas.
Tetapi, IMF mengingatkan dukungan semacam itu harus disediakan untuk krisis yang parah karena hal itu menghadapkan pemerintah pada risiko beban fiskal yang cukup besar.
Secara lebih umum, IMF tetap yakin jaring pengaman sosial membantu orang bangkit kembali dari pengangguran, penyakit, atau kemiskinan. Kebijakan ini membuat kelompok miskin dan rentan miskin lebih tahan terhadap serangkaian tantangan yang luas.
"Sistem seperti itu dapat dibuat dengan mudah terukur dan ditargetkan dengan lebih baik dengan bantuan teknologi digital," tegasnya.
Inggris & Kanada
Inggris adalah contoh nyata dari krisis biaya hidup. Mahalnya biaya hidup bahkan membuat kalangan muda memutuskan untuk mengambil jalan penuh "risiko".
Fenomena banyaknya mahasiswa kurang gizi bukanlah hal baru. Dalam laporan ITV News, dikutip Rabu (12/10/2022), pantauan National Union of Students menemukan bahwa seperempat siswa juga rela berhutang, menggunakan kartu kredit hingga menggunakan skema "beli sekarang dan bayar nanti" hanya untuk makan.
Sebagian lain, sekitar 6 persen mengambil pinjaman bank untuk menyelesaikan pendidikan. Sementara 8 persen lain meminta bantuan darurat ke sejumlah pihak berwenang.
Namun bukan hanya itu. Terungkap pula sejumlah mahasiswa beralih ke cara ekstrim untuk membayar tagihan.
Scarlett misalnya. Mahasiswi ini, akhirnya memutuskan menjadi seorang pekerja seks komersial (PSK), demi mendapat penghasilan tambahan yang menurutnya sangat penting.
Menurutnya, sebenarnya banyak siswa lain yang tertarik menjadi PSK sepertinya. Banyaknya warga Inggris yang beralih profesi menjadi PSK sebenarnya bukanlah hal baru. Ini terjadi sejak musim panas lalu.
Setidaknya hal ini dimuat English Collective of Prostitution, sebagaimana dimuat Sky News. Pada Juni hingga September, ada tambahan 1/3 perempuan menjadi PSK.
"Krisis biaya hidup sekarang mendorong wanita menjadi pekerja seks dengan berbagai cara. Apakah itu di jalan, di tempat atau online," kata Juru Bicara Niki Adams.
"Secara keseluruhan apa yang kami lihat adalah orang-orang datang ke pekerjaan itu dari tempat yang putus asa," ungkapnya.
Kenaikan biaya hidup tak hanya terjadi di Inggris. Terbaru, fenomena ini telah mencapai Amerika Utara, tepatnya di Kanada.
Di Negeri Maple itu, inflasi yang terus melonjak membuat warga mengambil tindakan serius untuk mengurangi biaya hidup seperti mengemudi di jarak yang lebih pendek, lebih memperhatikan pembelian barang-barang, dan bahkan melewatkan makan.
"Kegiatan yang biasanya kami lakukan setiap tahun tanpa pertanyaan tentang bahan bakar atau biaya lain, kami telah mempertanyakan dan membatalkan pergi karena tidak dalam anggaran," kata seorang warga Ontario bernama Heather Harris kepada CTV News, Senin (10/10/2022).
"Saat ini rasanya putus asa bagi orang-orang dalam situasi yang sama dengan saya. Milenial paling berjuang."
Harris menambahkan bahwa ia lebih memperhatikan penawaran selebaran, membeli lebih banyak bahan pangan dalam jumlah besar, dan mengurangi porsi makan di restoran untuk dibawa pulang.
"85 dolar Kanada dapat mengisi keranjang belanjaan kembali pada tahun 2019. Tetapi sekarang, jumlah itu hampir tidak mencakup beberapa kebutuhan pokok dapur, buah-buahan, dan produk susu."
Tekanan biaya hidup yang menjadi sangat buruk bahkan mendorong beberapa warga untuk terpaksa melewatkan makan. Warga lainnya bernama Amber Rose mengaku ia tidak lagi sarapan dan mengenakan sweater tambahan di sekitar rumah karena tak mampu menyalakan termostat saat cuaca semakin dingin.
Inflasi di Kanada sendiri mencapai 7 persen pada Agustus 2022, sementara inflasi inti berada di level 5 persen. Gubernur Bank Sentral Kanada Tiff Macklem menjelaskan bahwa pertarungan melawan inflasi saat ini adalah ujian terbesar yang dihadapi bank sentral itu sejak mulai menargetkan inflasi 30 tahun lalu.(sumber: cnbcindonesia.com)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/net