search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Desa Pegametan dan Asal Muasal "Wong Samar" di Bali
Senin, 4 Juli 2022, 14:30 WITA Follow
image

Beritabali.com/ist/Desa Pegametan dan Asal Muasal

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Naskah-naskah lontar di Bali yang sebagian besar ditulis pada abad ke-16 dan mengalami beberapa kali penyalinan hingga dikodifikasi oleh Van Der Tuuk (peletak dasar linguistika modern beberapa bahasa yang dituturkan di Nusantara) pada awal abad ke 20, banyak mengungkap asal muasal "wong samar" di Bali.

Dang Hyang Nirartha, pendeta Brahmana dari masa Majapahit, menyeberang dari Pasuruan Jawa Timur ke Bali pada tahun 1489 bersama istri dan tujuh anaknya. Sesampainya di Bali, rombongan pendeta ini mengalami musibah saat memasuki kawasan Bali utara.

Putri sulungnya, Dyah Swabhawa, dianiaya sekelompok pemuda di sebuah desa tua bernama Pegametan. Pendeta Nirartha kemudian mengutuk warga desa itu agar menjadi manusia yang tidak terlihat (Wong Samar) dan membakar habis desa itu dengan kekuatan saktinya. Selama 300 ratus tahun wilayah bekas Desa Pegametan menjadi daerah yang ditakuti dan ditinggalkan, ditumbuhi padang belukar dan belantara.

Seorang saudagar kaya dari Tiongkok kemudian membuka lahan di tempat itu pada abad ke-18 atas izin Raja Bali Utara. Langkah ini kemudian diikuti banyak warga Tionghoa lainnya yang berlabuh di pelabuhan abad pertengahan di dekat sana. Kini orang mengenal bekas pelabuhan lawas itu sebagai Teluk Terima.

Menurut buku "Alien Menurut Hindu" Halaman 357, putri sulung Dang Hyang Nirartha, yakni Dyah Swabhawa, oleh ayahnya kemudian diangkat menjadi pemimpin para "Wong Samar" di Bali, yang menurut berbagai cerita rakyat bertempat tinggal di kawasan Melanting, sekitar satu kilometer dari Pulaki, menelusuri jalan kecil ke arah bukit.

Jadi berdasarkan sumber naskah-naskah lontar abad ke-16, ibu kota lokal bagi "manusia Bali tak kasat mata" ini ada di Melanting.

Keberadaan "wong samar" semacam ini menjadi satu bukti bahwa manusia tidak seorang diri di planet ini. Dan planet bumi tidak sekecil yang kita kira.

Kisah manusia berubah menjadi manusia tidak terlihat mengindikasikan bahwa ras-ras tersebut adalah manusia dari jenis lain yang tinggal di dimensi "Bhu-Mandala" atau Bumi besar atau "Jambu Dwipa" (bumi tengah).

Para "wong samar" ini juga memiliki siklus kehidupan layaknya manusia. Bahkan di beberapa desa terpencil di Bali, mayat wong samar kadang ditemukan tergeletak di semak belukar dan akan lenyap setelah beberapa hari. Beberapa desa melakukan upacara kremasi bagi mayat itu atau dikuburkan di pemakaman.

Di beberapa Desa di Bali masih ada sebagian orang yang menyimpan benda-benda yang diklaim sebagai pemberian wong samar. Ada yang menyimpan uang kepeng, tongkat, atau bahkan segulung rambut yang diyakini sebagai rambut wong samar.

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami