Marak Pembuatan Ogoh-Ogoh Menjelang Nyepi, Ini Maknanya
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Kreatifitas seni ogoh-ogoh karya anak–anak sanggar seni Gases telah dikenal masyarakat luas bahkan sudah sampai ke mancanegara. Lahirnya sanggar Gases bermula berkat kegigihan mendiang Drs. Wayan Candra dalam menampilkan seni ogoh–ogoh pada ajang Pentas Kesenian Bali tahun 1990 silam serta dalam berbagai ajang perlombaan di tingkat Nasional.
Baca juga:
Sejarah Nyepi, dari India Hingga Majapahit
“Awal berdirinya Gases karena ketika tahun 1990 ada Pesta Kesenian Bali yang berhasil meng-orbitkan nama Gases. Kebetulan saat itu kami mendapatkan juara satu. Selain di Bali kami juga pernah mewakili Bali ke Taman Mini, di sana kami mendapat perhatian khusus. Ogoh–ogoh kami diambil untuk Taman Mini“, ucap suami dari Ni Nyoman Widiani, di kediamannya di Banjar Lantang Bejuh.
Di atas lahan pekarangan seluas 5 are tersebut, mendiang Wayan Candra telah berhasil menciptakan sanggar beragam seni yang kini telah berkembang pesat, antaranya Seni rupa, Seni tari, Seni karawitan, dan Seni patung. Sanggar Gases pada awalnya hanya singkatan Gajah Sesetan, dan kini telah resmi sebagai organisasi seni.
“Gases awalnya kepanjangan Gajah sesetan, karena desa kami terkenal gajahnya (pura patung gajah ). Lantas kami berkembang karena pengikutnya sudah hampir seluruh Bali. Akhirnya kami beri julukan Gases itu, Gabungan Anak Seni Serba Bisa Bali. Setelah itu kami carikan izin. Organisasi Gases ini suatu organisasi yang berbadan hukum, bukan organisasi seperti modelnya preman,“ ujar bapak lima anak ini saat berbincang dengan beritabali.com tahun 2016 silam.
Untuk menjelang hari Pengrupukan nanti, Sanggar Gases telah menerima 100 unit pesanan ogoh-ogoh. Yang terdiri dari 300 buah tapel ( topeng ), kepala ogoh–ogoh 80 buah. Keseluruhan ditangangi sekitar 50 tenaga dari anggota sanggar dan dari luar. Seluruh pesanan sebagian besar dari daerah bali bahkan akan dikirim ke luar Bali seperti Jakarta ( 2 buah ), Surabaya ( 4 buah ), Banyuwangi, Gorontalo, dan Lombok. Sementara untuk di Bali hampir secara menyeluruh.
Mengenai harga, pihaknya telah menentukan harga pasti yang ditempel pada secarik kertas pada salah satu pilar rumahnya. Harga untuk satu Ogoh–Ogoh tergantung dari ukuran dan tingkat kerumitan dalam merancangnya. Untuk anak–anak dengan tinggi kurang lebih 80 Cm sampai 120 Cm dijual seharga Rp500.000 hingga Rp1.000.000.
Sedangkan untuk yang dewasa dengan tinggi kurang lebih 2.5 M sampai 3.5 M seharga Rp3.500.000 hingga Rp7.000.000. Selama ini mendiang Candra tidak pernah mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku berupa gabus. Seluruh bahan sudah mudah didapat di Bali.
“Kenapa kami pergunakan gabus, karena dalam kreatifitas anak – anak akan turut memudahkan mengembangkan keahliannya dalam seni mematung. Jadi definisi saya ogoh–ogoh adalah suatu hasil karya Seni rupa berbentuk tiga dimensi diusung bersama - sama dan ditarik secara ogah-ogah baru disebut ogoh-ogoh. Sedangkan yang diam, dipajang begitu saja dinamakan dengan patung. Biar ada perbedaan antara patung dengan ogoh–ogoh“, terangnya.
Keahlian beragam seni yang digeluti Candra merupakan warisan dari pendahulunya serta dukungan penuh dari anak-anaknya. Kedepan ia tetap optimis bahwa ogoh–ogoh akan berkembang terus sepanjang masa. Kreatifitas dan budaya tersebut harus ditanamkan sejak dini.
“Budaya kita akan melekat ketika telah masuk ke memori anak–anak itu sendiri. Sehingga setelah dia remaja atau dewasa dia akan memperhatikan budayanya sendiri. Bukan kartun saja yang diingat,” tambahnya.
Selain sebagai seorang seniman, mendiang Wayan Candra juga dikenal sebagai seorang Mangku ( pemimpin upacara ) di Pura Dalem Batu Sari yang berlokasi tepat di pekarangan rumah sekaligus sanggar. Keempat putranya kini mewarisi bakat–bakat yang dimiliki ayahnya dalam segala aktifitas budaya dan karya seni.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim