Prof Ramantha: Tidak Ada Kerugian Negara di Kasus LPD
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, BADUNG.
Kasus hukum yang menjerat sejumlah LPD di Bali sesungguhnya sama sekali tidak merugikan keuangan negara, tetapi hanya merugikan krama Desa Adat selaku “pemilik” LPD.
Dengan demikian, sungguh tidak tepat, jika kasus LPD ini diselesaikan oleh hukum positif. Kasus penyimpangan keuangan di LPD lebih tepat diselesaikan dengan hukum adat.
Dengan demikian keberadaan LPD sebagai lembaga keuangan milik Desa Adat tetap mampu berkontribusi untuk melestarikan adat budaya Bali.
Demikian intisari pendapat para pakar yang muncul di dalam Focus Group Discussion (FGD) FGD yang bertema “LPD Sehat, Desa Adat dan Bali Selamat, NKRI dan Pancasila Kuat” yang digelar Paiketan Krama Bali dalam rangka HUT ke-5, Rabu (1/6) di Krisna Oleh-Oleh Bali By Pass Ngurah Rai Kuta Badung.
FGD ini menampilkan lima pembicara kunci yakni Prof. Dr. I Wayan Ramantha, I Gde Made Sadguna, S.E, MMA, DBA, Dr. IDG Palguna, S.H, M.H; I Ketut Madra, S.H, M.Si dan Dr. Ir. I Wayan Jondra, M.Si.
Juga hadir praktisi dan akademisi internal Paiketan Krama Bali serta Akademisi Politeknik Negeri Bali Dr. Ni Nyoman Aryaningsih yang getol melakukan pengabdian kepada masyarakat melalui pelatihan akuntansi keuangan LPD.
Keberadaan LPD menjadi sangat strategis dalam melestarikan Adat dan Budaya Bali dalam bingkai NKRI berdasarkan Pancasila. Namun faktanya, belakangan akibat kesalahan tata kelola, lemahnya pengawasan, minimnya pembinaan, nihilnya perlindungan, dan tidak sinkronnya regulasi, telah menyeret beberapa oknum pengurus dan perangkat desa di beberapa LPD terlibat ‘korupsi’ sehingga menurunkan kepercayaan krama desa adat untuk menabung di LPD.
Kondisi ini diperparah oleh masuknya aparat penegak hukum untuk menangani penyimpangan/korupsi oknum pengurus, karena diduga merugikan negara.
Penilaian bahwa penyimpangan keuangan LPD diduga ada kerugian negara karena di masa lalu saat awal berdirinya, pemerintah Bali memberikan kontribusi, walaupun sangat kecil.
Pada tahun 1984 pemerintah Bali mencetuskan pendirian Lembaga Perkreditan Desa di seluruh Desa Pakraman di Bali melalui SK Gubernur No. 972 Tahun 1984 tentang Pendirian Lembaga Perkreditan Desa di Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Waktu berjalan, lalu diterbitkan Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD), yang kemudian diubah dengan Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa, yang kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2017 yang masih berlaku saat ini.
Nah, pada saat pemerintah daerah terdahulu memberikan kontribusi ke masing-masing LPD kemungkinan ada kesalahan pencatatan dalam nomenklatur kontribusi pemerintah daerah sebagai penyertaan bukan sumbangan (donasi).
“Kekeliruan” pencatatan nomenklatur inilah yang menjadi biang kerok kenapa Jaksa Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) masuk menangani kasus korupsi di beberapa LPD.
Terjeratnya sejumlah LPD ke kasus hukum tentu sangat meresahkan krama Desa Adat di Bali walaupun jumlahnya 38 (kurang dari 2 %) dari 1.437 LPD di seluruh Bali.
Saat ini, Pemerintah Provinsi Bali telah mengambil kebijakan untuk mengubah nomenklatur “penyertaan modal” itu menjadi hibah sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Daerah Bali, Dewa Made Indra sesaat sebelum membuka FGD yang dihadiri oleh sejumlah tokoh yang berjumlah hampir seratus orang itu.
Hanya saja menurut akademisi Unud, Prof. I Wayan Ramantha, yang juga Pembina Ekonomi Paiketan Krama Bali, jika nomenklatur diubah menjadi hibah, maka itu artinya pemerintah daerah mengakui selama ini ada “penyertaan modal”.
Padahal menurut peraturan keuangan, pemerintah daerah bukanlah lembaga keuangan, dan bukan pemilik LPD. LPD sepenuhnya adalah milik krama Desa Adat.
“Padahal yang dirugikan adalah krama adat. Tidak ada kerugian negara di LPD. Putusan pengadilan terhadap korupsi LPD sangat tidak memenuhi rasa keadilan Krama Adat, karena modal dan uang di LPD adalah milik Krama Adat. Ini aneh,” ujar Prof. I Wayan Ramantha.
Anehnya lagi, kasus penggelapan uang oleh oknum pengurus LPD, berdasarkan putusan pengadilan uangnya justru disetor ke kas negara, bukan ke kas LPD.
Menurut Prof. Ramantha, hal ini jelas akan sangat mengganggu kesehatan LPD karena uang LPD hampir sepenuhnya berasal dari dana masyarakat (bukan dana dari negara).
Ramantha berharap, penegakan hukum dan penegakan prinsip-prinsip keuangan dapat berjalan seirama dalam membantu penegakan jalan LPD, guna menunjang kemandirian Desa Adat di Bali.
Ancaman lain, LPD mulai diendus menjadi sasaran wajib pajak. Padahal, sebagai sebuah sesuai dengan Pera 4 Tahun 2019, LPD adalah Labda Pacingkreman Padruwen Desa Adat, LPD tidak mencari untung.
Semua pendapatan LPD kembali menjadi milik krama adat melalui jasa produksi dan bantuan sosial dan upakara.
“Tidak sepeser pun harta benda yang dimiliki oleh LPD, karena semua harta benda yang berada di LPD adalah milik krama Desa Adat,” tegas Ketua Umum Paiketan Krama Bali, Dr.Ir. I Wayan Jondra, M.Si.
Sementara, salah satu Pembina Umum Paiketan Krama Bali, Prof. Dr. I.B. Raka Suardana, S.E, M.M yang juga Guru Besar Manajemen Univ. Pendidikan Nasional (Undiknas) mengatakan selama ini, kelemahan tata kelola (governance) memberikan peluang penyalahgunaan wewenang oleh pengurus, yang berujung merugikan dan membangkrutkan sebuah LPD.
“Bila tidak didukung oleh sistem manajemen operasional yang memadai, LPD bisa hancur karena ulah oknum pengurus dan karyawannya,” tegasnya.
Untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, menurut Prof. Suardana, tata kelola LPD sangat membutuhkan tim pemeriksa yang berlapis-lapis agar LPD tetap sehat.
Reporter: bbn/rls