search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Putu Liong dan Gunung Es Korupsi Politik
Rabu, 29 Juni 2016, 19:20 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Beritabali.com, Jakarta. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana dan sejumlah pihak lainnya, Rabu (29/6/2016) kembali mengkonfirmasi tentang korupsi politik yang bersumber dari Parlemen. Negara harus memutus praktik ini dengan penataan sistem politik yang akuntabel dan transparan.
 
Penangkapan I Putu Sudiartana oleh KPK dan sejumlah pihak swasta lainnya menambah daftar korupsi politik yang melibatkan anggota parlemen. Sejumah barang bukti berupa uang dolar Amerika Serikat turut diamankan KPK. Staf I Putu juga turut ditangkap.
 
Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengaku terkejut dengan penangkapan koleganya di Komisi III DPR itu. 
 
"Tentu kami terkejut apa yang terjadi atas saudara Putu dari Partai Demokrat," ujar Bambang di gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (29/6/2016).
 
Politisi Partai Golkar ini berharap Putu dapat menjalankan proses hukum dengan baik dan kooperatif. Menurut Bambang, komunikasi antara KPK dan Komisi III saat ini berjalan dengan baik. "Yang bersangkutan ikut berbuka puasa pada Senin (27/6/2016) di KPK. Tapi itulah. Makanya publik harus paham bahwa kami berhubungan dan bermitra baik tapi soal dosa ya harus diproses sesuai dengan hukum," cetus Bambang.
 
Penangkapan Putu ini, kian menambah daftar praktik korupsi politik yang melibatkan anggota DPR, pihak swasta dan pemerintah. Meski, publik masih nunggu dalam kasus apa Putu tertangkap dalam OTT KPK.
 
Sebelumnya, KPK juga melakukan OTT terhadap anggota Komisi V dari Fraksi PDI Perjuangan Damayanti Putranti terkait proyek infrastruktur di Maluku. Tidak hanya Damayanti, KPK juga telah menetapkan Budi Santoso politisi Partai Golkar sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
 
Sejumlah kasus korupsi politik yang melibatkan anggota DPR dan pihak eksekutif serta swasta memiliki benang merah terkait kewenangan DPR dalam menjalankan fungsi anggaran. Fungsi konstitusional ini sebenarnya memang disadari rawan dijadikan ruang gelap antara DPR dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tak lagi memberikan kewenangan bagi DPR membahas satuan 3 dalam pembahasan APBN, tak sepenuhnya berhasil menekan praktik korupsi politik DPR.
Praktik korupsi politik ini juga menepis asumsi pendapatan sebagai anggota DPR tak linier dengan praktik korupsi yang dilakukan. Karena bila menelisik penghasilan anggota DPR, saat ini bisa disebut lebih dari cukup. Sejumlah komponen penghasilan yang tersedia bagi anggota DPR jauh lebih baik dari DPR periode sebelumnya.
 
Pendapatan bulanan berupa take home pay di kisaran angka Rp60 juta, anggaran setiap kunjungan reses di sekitar angka Rp150, anggaran sosialisasi empat pilar, belum lagi anggaran rapat dan kepesertaan sebagai anggota pansus atau panja.
 
Fakta tersebut menepis asumsi, korupsi politik oknum anggota DPR dikarena kebutuhan (corruption by need) lantaran gaji tak mencukupi. Justru yang menjadi masalah terbesar di partai politik saat ini terletak di pembiayaan dan pendanaan partai politik. Aktivitas partai politik tentu membutuhkan anggaran yang tidak murah. Mengandalkan iuran anggota yang selama ini lazim dilakukan hampir semua partai politik, hanyalah menguatkan peribahasa populer "besar pasak daripada tiang".
 
Gagasan pendanaan partai politik dibantu oleh keuangan negara bisa saja menjadi solusi alternatif. Meskipun, ide itu terasa tidak kontekstual di tengah defisit anggaran negara di kisaran angka Rp200 triliun imbas target penerimaan negara yang meleset jauh.
 
Pemerintah, partai politik dan seluruh stakeholder sudah semestinya mengeluarkan keputusan politik untuk menghentikan praktik korupsi baik yang bersumber dari DPR maupun eksekutif. 
 
Jargon revolusi mental oleh pemerintahan ini semestinya juga menyentuh persoalan fundamental di tubuh partai politik. Bila persoalan pendanaan partai politik tak segera dibereskan, gelaran OTT akan tetap muncul di publik. [bbn/inilah/psk]

Reporter: bbn/psk



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami