search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
I Dewa Putu Badra "Pawang" Keroncong dari Kayumas Klod
Minggu, 22 Juli 2018, 09:00 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Alunan music keroncong telah melambungkan nama I Dewa Putu Badra dalam kancah musik daerah Bali. Berkat musik dan kesukaannya mengalunkan gending-gending (nyanyian) keroncong ia bisa melanglang Pulau Dewata sekaligus berpredikat seniman musik ternama di jagat Bali.
 
[pilihan-redaksi]
Sebenarnya, laki-laki kelahiran Banjar Kayumas Klod 1943 ini adalah seorang guru SD di Denpasar. Namun karena kepiawaiannya bermusik menjadikan Ia lebih dikenal sebagai pemusik dibandingkan dengan profesi aslinya sebagai pendidik. Padahal, sebenarnya ia tidak pernah menganaktirikan dua bidang yang menempel pada jiwanya itu.
 
Di kalangan seniman daerah Bali, Badra dikenal sebagai sosok seniman yang tekun dan kreatif. Sejak usia Sembilan tahun ia telah mengakrabkan dirinya dengan alunan musik lewat pertunjukan di berbagai tempat di Denpasar. Ketika bocah ia suka permainan musik yang dimainkan orang-orang Jepang antara lain Kayumas, Wangaya, dan di aula sejumlah perkantoran di Denpasar. Tidak hanya suka menonton, Badra kecil juga tertarik memperhatikan bagaimana pemusik Jepang itu memulai permainannya, sejak memasang alat sampai pertunjukan musik itu selesai.
 
Pengalaman menonton musik itu dijadikan sebagai proses awal penekunannya pada dunia musik. Sepulang dari panggung musik, Badra biasanya tidak langsung tidur melainkan pikirannya terbayang pada permainan musik yang ia saksikan. Kadang-kadang, dalam tidurnya ia bermimpi indah sebagai pemain musik.
 
Sebagai anak yang suka permainan, Badra berprinsip lebih baik memilih permainan yang bisa melegakan hati sendiri sekaligus bisa menghibur orang lain. Padahal, ketika itu anak-anak seusianya lebih suka bermain dolanan, main tembang, atau main layang-layang di sawah usai petani memanen padi.
 
Prinsip demikianlah yang diaplikasikannya lewat latihan musik di seputar Denpasar. Kebiasaan ini ia lakukan sepulang ia sekolah SR (Sekolah Rakyat) di Denpasar. Ia amat sering mencuri kesempatan untuk menengok orang belajar musik. Kendatipun begitu, Badra bocah bukan anak nakal karena ia sangat rajin membantu ibunya berjualan di Pasar Badung.
 
Dari mencoba melihat orang main musik, ia lantas tertarik belajar langsung bermain musik dengan pemusik daerah di banjar Kaliungu, Ida Bagus Puja. Dengan musisi keroncong yang seniman alam inilah ia berguru. Sebagai muridnya, Badra tidak ingin disebut murid yang bermodal ‘nol’ alias tanpa penguasaan dasar bermusik. Sebelum menemui gurunya itu, ia sudah sedikit menguasai tangga nada terutama jenis instrument biola. Alat gesek ini pernah ia mainkan sendiri karena ia sempat meminjamdari orang lain. Tahap demi tahap latihan musik ia tekuni, hingga ia bisa memegang alat musik yang benar. 
 
Melihat kesuntukannya berlatih, empu musik Ida Bagus Puja yakin suatu ketika Badra akan menjadi pemain musik yang terkenal. Di bawah asuhannya, Badra bisa berlatih music bersama murid music lain antara lain, I Gusti Putu Berata, Anak Agung Made Cakra, Raka Danu, dan Merta Suteja.
 
Pelajaran musik dasar hanya ia geluti hingga tamat SR di Denpasar karena ia harus melanjutkan SGA (Sekolah Guru Atas) di Yogyakarta. Ketka di Jawa, ia makin berkesempatan menekuni musik. Selain di sekolah ia juga sering mengunjungi tempat-tempat latihan musik sekaligus nonton pentas musik. Selain musik ia juga sering belajar main sulap, antara lain sulap ringan: makan dan memuntahkan kertas dan sebagainya. Dua bidang seni ini sering ia pentaskan ketika ia sebagai guru SD di Yogyakarta. Hingga tahun 1958 ia pindah tugas dan menetap di Bali.
 
Selain tempat menempa ilmu music dengan berguru, Badra banyak bisa menguasai pengetahuan music dengan cara membedah ilmu music dari buku-buku music. Ia malah tak pernah menyangsikan sekalipun buku yang ia pelajari buku music yang sudah tua dan usang. Baginya, dalam konsep belajar music apa pun tidak perlu melihat wajah buku atau alat, melainkan bagaimana menggali isinya.
Begitulah, aktivitasnya sebagai guru, kepala keluarga dengan enam anak, dan pemain music memang terkesan melelahkan. Namun ia bisa mengubur penat badannya dengan menggesekkan senar biola di tangannya. Anehnya ia tidak pernah merasa terganggu jika ketika sedang memainkan sebuah alat music, anaknya tiba-tiba menangis. Ia justru terbiasa mengasuh anak sendiri dengan alunan alat music yang dimainkan. Biasanya ia melenyapkan tangis anaknya dengan sebuah nyanyian dan music yang ia mainkan. 
 
Begitulah, Badra sangat susah mengungkap dengan kata-kata tentang kepuasannya bermusik. Menurutnya, semua instrument musik jika dimainkan bisa menimbulkan kepuasan tersendiri. Selain terkenal sebagai pemain biola, ia juga bisa memainkan suling, kendang rebana, bass, dan gitar akustik. Biasanya, dengan satu alat gitar dan biola ia bisa melambungkan pikirannya ke istana keindahan.
 
Selain mengajar di SD, Badra juga dipercayai mengajar seni musik di SLUA Saraswati dan SMP PGRI 1 Denasar. Dua sekolah ini menjadikan ia lebih dikenal banyak kalangan tanpa perlu promosi di media massa. Sejumlah pecinta musik di Denpasar kagum dengan permainannya. Ia amat disukai anak-anak didiknya terutama saat mengajar musik di dalam kelas. Cara mengajarnya yang praktis dengan sedikit humor dengan menjadikan ia guru seni yang cukup favorit di kalangan pelajar SLUA.
 
Sebagai seniman musik asli Bali, Badra dalam permainan musiknya sering dilatari konsep menyamabraya alias persaudaraan. Sebab ia bisa puas bermain musik bukan untuk diri sendiri melainkan ia wajib ---dengan musik--- memuaskan bahkan meluhurkan hati nurani orang lain. Karenanya, ia tak ingin disebut seniman pelit. Satu bukti ia sering menumpahkan segala ilmu musiknya untuk orang lain baik untuk dipelajari maupun sekadar sebagai hiburan.
 
Dalam berbagai kesempatan ia sering dimintai acara hiburan mulai dari jenis hiburan kenaikan kelas hingga hiburan kelas elit di hotel-hotel. Dialah salah satu awak group musik keroncong Puspa Taruna yang dipimpin Raka Danu. Ketenaran nama Badra juga berkat keaktifannya membina sejumlah vocal group baik disekolah maupun di luar sekolah. Ia juga sempat menjadi ketua tim paduan suara PGRI Bali baik untuk lomba paduan suara di PKB (Pesta Kesenian Bali) maupun di tingkat nasional.
 
Kendatipun menekuni musik lebih banyak daripada belajar otodidak Badra telah memiliki konsep yang amat mandiri di bidang musik.baginya bermusik tidak ubahnya sebuah proses perlakuan penyuaraan alam, sebab selain menyuguhkan suara/bunyi, seniman musik juga harus mampu menyiasati bunyi tersebut untuk dijadikan keindahan. Peran estetika musik sangat penting dalam kehidupan manusia. Musik juga sebuah perangkat hiburan yang bisa membebaskan kesusahan hati.
 
Sebagai seniman yang lahir dari pergulatan lingkungan, Badra juga tidak luput dengan pengalaman pahit. Ia sering merasa tidak enak badan jika pentasnya dilakukan terburu-buru. Biasanya kondisi ini terjadi saat pentas di hotel ia bersama group musiknya dijemput telat atau terjadi perubahan jadwal pentas. Ia merasa tersiksa jika kondisi seperti itu terus berlanjut. Sebab, sebagai seniman ia tidak hanya memuaskan tamu dan penonton, tapi harus dapat menikmati permainan itu sendiri.
 
[pilihan-redaksi2]
Baginya, kepuasaan sebagai seniman tidak bisa diukur dari berapa banyak imbalan yang harus diterima. Sebab, hatinya akan merasa tersiksa jika ukuran kepuasaan diukur Cuma dengan uang atau kesuksesan pentas dari kacamata penonton. Sebab, biasanya penonton sangat lemah dalam mengapresiasikan permainan. Tapi, ia sendiri tidak akan bisa menutupi hatinya jika apa yang dipentaskan sangat kurang dari apa yang dikuasainya.
 
Badra menyadari musik keroncong yang dikuasainya bukanlah kesenian yang lahir di Bali. Namun, ia menyarankan agar kesenian musik ini juga memperoleh tempat di hati masyarakat, karena jika salah satu cabang seni dikesampingkan itu sama saja artinya dengan menciptakan kegundahan hati sekelompok masyarakat, khususnya yang mencintai musik. Setidaknya pesan ini telah dicermati keluarganya terutama oleh salah seorang anaknya, Dewa Ketut Wijaya Kusuma, yang sekaligus mewarisi keahlian ayahnya. Pesan Badra ini juga tetap melekat di sejumlah murid musiknya kendatipun ia telah meninggal dunia, 20 Oktober 1997 lalu. (bbn/rls/rob)

Reporter: bbn/rls



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami