I Gusti Made Raka Ngetis Belajar Sembunyi-Sembunyi Memahat Topeng dari Pohon Ubi
Minggu, 28 Oktober 2018,
08:56 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com,Denpasar. Punya bakat dalam bidang seni ternyata tidak otomatis berarti mudah untuk mengembangkannya lebih jauh dan mendalam. Setidaknya itulah yang dialami seniman serba bisa I Gusti Made Raka Ngetis, yang meninggal pada usia 64 tahun, pada tahun 1981 silam.
[pilihan-redaksi]
Seniman sangging yang jago membuat tapel, tetopengan, terutama topeng bebondresan (kocak,lucu), sekaligus undagi (arsitek) dan pembuat wadah atau bade tangguh ini sejak kecil sebenarnya sudah menampakkan bakat seni yang unggul.
Seniman sangging yang jago membuat tapel, tetopengan, terutama topeng bebondresan (kocak,lucu), sekaligus undagi (arsitek) dan pembuat wadah atau bade tangguh ini sejak kecil sebenarnya sudah menampakkan bakat seni yang unggul.
Namun, bakat itu tak begitu saja bisa dikembangkannya karena dihalangi pihak keluarga. Alasannya demikian pragmatis sekaligus ironis, pihak keluarga takut Ngetis tumbuh jadi miskin. Nyatanya Gusti Made Raka Ngetis bukanlah tipe orang yang bermental lembek. Ia tak mudah menyerah. Dalam perjalanan kesenimanannya kemudian, laki-laki kelahiran Banjar Abasan, Kelurahan Dangin Puri, Denpasar Timur, ini tidak lepas dari peranan kakak sepupunya yang juga dikenal seniman besar Bali. Dialah I Gusti Ketut Kandel, seniman kondal pembuat aneka tapel bebarongan, termasuk barong landung, barong ket, yang juga membangun museum Bali, di jantung kota Denpasar.
Menurut Drs I Gusti Made Peredi, putra kedua I Gusti Made Raka Ngetis, setiap kali ayahnya mau belajar seni, dia dilarang oleh I Gusti Ketut Kandel. Dia ditundung alias diusir. Tapi, dasar Gusti Made Ngetis, selain memiliki bakat luar biasa, kemauannya juga sangat keras untuk belajar seni. Sekali waktu secara sembunyi-sembunyi, ketika Gusti Ketut Kandel bekerja seni atau membuat topeng, mata Gusti Made Raka Ngetis selalu liar mencuri kesempatan mengintip kakak sepupunya bekerja seni.
Dengan waktu tidak begitu lama, Gusti Made Raka Ngetis cukup paham, apa yang dikerjakan kakak sepupunya itu. Dan, secara diam-diam pula ia memanfaatkan kesempatan membuat tapel alias topeng di dalam kamarnya. Tetapi, tapel yang dibuat itu bukan dari kayu yang diperoleh dari pohon keramat, melainkan cuma dari sela (ketela).
Karena setiap hari membuat tapel dari sela (ketela) secara sembunyi-sembunyi, maka tak terelakkan jumlahnya pun bertambah banyak. Tapel-tapel itu kemudian ditaruh di lengatan. Akhirnya, sang ibu bernama Jro Desa mengetahui, bahwa di lengatan kamar Gusti Made Raka Ngetis banyak sekali tersimpan tapel dari sela. Tapel itu, suatu hari, diperlihatkan kepada I Gustu Ketut Kandel.
Maka, resmilah Ngetis belajar seni pahat dari kakak sepupunya, Kandel. Kandel tak pernah mengajari Ngetis teori membuat tapel, melainkan dengan melatihnya tahap demi tahap langsung, entah dengan melihat entah dengan menyuruhnya mengerjakan suatu tahap pengerjaan. Setiap ada tawaran membuat tapel, misalnya, Gusti Ketut Kandel pun menyuruh Gusti Made Raka Ngetis ngulig (menggilas warna). Disinilah Gusti Made Raka Ngetis secara perlahan-lahan bisa membuat aneka topeng, lalu berkembang menjadi togog (topeng) untuk di pajang di pura, bahkan sampai akhirnya bisa membuat lembu sendiri.
Dari situlah kesenimanan I Gusti Made Raka Ngetis terus merambah jagat seni pahat di Bali. Ia pun dikenal sebagai pembuat benda-benda yang disakralkan di Pura, seperti pretima dan arca-arca. Karya-karyanya tersebar ke seantero jagat Bali, bahkan hingga ke desa-desa pedalaman.
[pilihan-redaksi2]
Ngetis bukan tipe seniman yang cepat puas pada pencapaian kesenimanannya. Meskipun sudah dikenal sebagai pemahat yang tangguh, dia tetap saja belajar dan belajar. Ia tak berhenti mengebor sukmanya untuk melahirkan karya kreatif yang tangguh dan ulung. Setelah Gusti Ketut Kandel meninggal, I Gusti Made Raka Ngetis kemudian belajar lagi kepada Anak Agung Rai dari Jro Gerenceng, Denpasar. Dari sang guru inilah dia merasa mantap untuk menapaki pilihan hidupnya sebagai seniman.
Ngetis bukan tipe seniman yang cepat puas pada pencapaian kesenimanannya. Meskipun sudah dikenal sebagai pemahat yang tangguh, dia tetap saja belajar dan belajar. Ia tak berhenti mengebor sukmanya untuk melahirkan karya kreatif yang tangguh dan ulung. Setelah Gusti Ketut Kandel meninggal, I Gusti Made Raka Ngetis kemudian belajar lagi kepada Anak Agung Rai dari Jro Gerenceng, Denpasar. Dari sang guru inilah dia merasa mantap untuk menapaki pilihan hidupnya sebagai seniman.
Perputaran hidup pun dijalaninya. Setelah lama belajar, akhirnya dia pun bertumbuh menjadi pengajar. Semasa kolonial Belanda di Bali, sekitar tahun 1939, Ngetis mulai menerima murid. Muridnya, di antaranya Nyoman Cegeg dan Sarin yang terkenal sebagai penari gandrung dari Ketapean. Muridnya yang berasal dari Banjar Abasan, diantaranya Made Regig. Pada tahun 1950, ketika Gusti Made Raka Ngetis membuat gambelan di Sadmerta, banyak warga sari Selekarang belajar memahat, di antaranya I reneh dibina dalam bidang seni pahat kayu, I Gusti Ngurah Kadet memilih spesialis mengukir batu, dan lain-lainnya. (bbn/rls/rob)
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: bbn/rls