Manusia "Bali Baru", Mereka yang Apatis dan Praktis Terhadap Budaya
Minggu, 13 Januari 2019,
21:00 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, GIANYAR.
Penulis Oka Rusmini mengidentifikasi adanya gugus baru dalam manusia Bali kini yang disebut "Bali Baru", yakni generasi remaja yang apatis dan praktis terhadap Adat dan budaya.
“Saya yang sehari-hari menjalani hidup sebagai orang Bali, menulis dan bekerja di media, saya benar-benar memotret kejadian-kejadian yang terjadi di Bali dan saya merasa ada golongan Bali Baru, yaitu (angkatan yang seusia) anak-anak saya, yang mereka tidak peduli. Misalnya, mengapa harus susah-susah membuat banten, ‘kan sekarang ada swalayan. Ada mekanisme kepraktisan modern,” ujar Oka Rusmini saat berdiskusi Buku "Mencari Bali yang Berubah" karya Antropolog I Ngurah Suryawan, di Bentara Budaya Bali (BBB), Gianyar, sabtu (12/1).
Sebagaimana pendapat Gde Aryantha Soethama dalam pengantar buku, kajian Suryawan perihal dinamika sosial kultural Bali modern bermuara pada dua gugusan besar. Pertama adalah golongan yang selalu bimbang pada kelangsungan Bali, yang meyakni Bali akan redup, bahkan pada akhirnya tinggal sejarah.
Gugus kedua adalah mereka yang selalu yakin Bali akan tetap Bali. Mereka optimis perubahan-perubahan yang terjadi di Bali cuma permukaan saja, tidak menyentuh inti. Bali diyakini memiliki benteng sosial kultural yang tangguh, ketaatan warganya pada tradisi memperteguh keyakinan itu. Nada optimis ini sejalan dengan keyakinan bahwa masyarakat Bali akan sanggup beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.
Ia juga mengungkapkan bahwa penting bagi anak-anak muda Bali untuk lebih reflektif. “Saya memutuskan ke Papua hanya karena ingin tahu dunia saya ini bukan hanya Bali. Penting bagi kita di republik ini untuk belajar menjadi orang lain. Agar horizon pemikiran kita sebagai manusia lebih luas, agar kita tidak lagi diadu domba, tidak lagi tersekat-sekat. Karena itulah persoalan kita saat ini,” ungkap I Ngurah Suryawan.
“Saat ini saya berusaha meriset daerah-daerah Bali Kuno dan saya melihat satu kekosongan studi teks tentang Bali. Kita selalu bicara data empiris kontemporer, fenomena kekinian, Bali Baru, tetapi kita lupa, teks Bali kuno menyimpan pengetahuan luar biasa. Teks Bali kuno itu perlu dipelajari agar kita punya fondasi yang kuat.
Mari saling menginspirasi, saling bertukar ide dan gagasan. Karena Bali memerlukan kelompok-kelompok yang gelisah dan kelompok terus mencari. Dan itu tidak akan dikekang apapun,” pungkas Suryawan.
I Ngurah Suryawan merupakan alumnus Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali (2006) dan menyelesaikan Magister di Program Magister Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana (2009). Pendidikan Doktor diselesaikan di Program Ilmu-ilmu Humaniora (Antropologi) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2015) dan memulai penelitian pascadoktoral dari tahun 2016-2017 tentang ekologi budaya orang Marori dan Kanum di Merauke, Papua dalam skema ELDP (Endangered Languages Documentation Programme) dan Australian National University (ANU).
Menjadi peneliti tamu di KITLV (Koninklijk Instituut voor taal-, Land- en Volkenkunde), Universiteit Leiden 2017 – 2018 untuk menulis penelitiannya tentang terbentuknya elit kelas menengah di pedalaman Papua.
Bukunya tentang Papua diantaranya adalah: Jiwa yang Patah (2014), Mencari Sang Kejora: Fragmen-Fragmen Etnografi (2015), Papua Versus Papua: Perpecahan dan Perubahan Budaya (2017), Suara-Suara yang Dicampakkan: Melawan Budaya Bisu (2017), Ruang Hidup yang Redup: Gegar Ekologi Orang Marori dan Kanum di Merauke, Papua (2018), Kitong Pu Mimpi: Antropologisasi dan Transformasi Rakyat Papua (2018), Mencari Bali yang Berubah (2018).
Berita Gianyar Terbaru
Reporter: bbn/rls