Mempertanyakan Dasar Sastra "Nyepi Sipeng" untuk "Nyomia Bhuta Kala"
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Om Swastiastu, Menanggapi wacana "Nyepi Sipeng" serentak di Bali selama 3 hari yang dipublikasikan oleh Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali, dimana hal ini dikaitkan dengan sasih yang masih ada kaitan atau di puncak sasih keenem, kepitu keulu dan kesanga, yang menurut beliau merupakan sasih bhuta kala, jadi dilakukan penyepian untuk menjadikan para Bhutakala somia dan seterusnya.
Berdasarkan pernyataan Beliau tersebut, kami melihat suatu kejanggalan dan sangat menyimpang dari makna nyepi yang dilakukan pada tanggal sepisan sasih kedasa setelah tilem kesanga. Dimana nyepi bukan bermakna untuk penyomian bhuta kala, tapi lebih untuk perenungan diri yang dilaksanakan melalui Catur Berata Penyepian. Sedangkan penyomian Bhuta Kala adalah melalui prosesi pecaruan.
Disamping hal itu, juga prosesi penyepian yang sudah diputuskan oleh PHDI adalah adanya ritual-ritual yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan, seperti melasti, pengerupukan, Nyepi dan Dharma Santi.
Sebagai komponen masyarakat adat Bali, kami Swastika Bali memberi masukan sebagai pertimbangan tentang wacana tersebut sebagai berikut:
1. Upaya rencana Nyepi Sipeng tanggal 18, 19 dan 20 April 2020 tidak punya dasar sastra sama sekali dari ajaran Agama Hindu Bali.
2. Statemen bahwa sasih keenem, kepitu, keulu, dan kesanga adalah sasih butha kala, dan di puncak sasih tersebut yaitu Sasih Kedasa masih merupakan sasih untuk para Buthakala sampai Panca Maha Butha untuk memberi kesempatan melakukan penyomiaan. Sesuai dengan ajaran Agama Hindu Bali, sasih keenem, kepitu bukan sasih butha kala, sedangkan penyomian Butha kala harus melalui prosesi Butha Yadnya, seperti prosesi pecaruan, bukan penyepian. Statemen ini bisa merusak pemahaman Umat Hindu.
3. Terkait dengan penanggulangan Covid 19, dan niat baik PHDI dan MDA untuk berkontribusi active untuk mencegah penularan serta berkembangnya sampai memutuskan rantai penyebaran Covid-19, sehingga wabah ini tidak memberikan dampak buruk, berupa fatality yang begitu tinggi di masyarakat, khususnya masyarakat Bali.
Maka PHDI dan MDA melihat sisi ritual keagamaan, dalam hal ini Agama Hindu di Bali sebagai ajaran yang memiliki ajaran untuk mencegah sampai menghadapi wabah (merana/gerubug), sehingga perlu menggali ajaran tersebut untuk menghadapi Pandemi Covid-19 ini.
Untuk hal itu, kami sangat mendukung, hanya saja harus jelas sastra yang dipakai adalah sastra yang terkait dengan ritual nangluk merana atau yang sejenis ini. Bukan ritual penyepian. Karena penyelewengan ajaran, akan merubah dasar ajaran, dan ini memberi dampak buruk terhadap ajaran agama Hindu Bali.
4. Semua upacara adat di Bali adalah berdasarkan filosofi Desa Mawicara dan Desa Kala Patra. Untuk itu upacara adat apapun yang melingkupi wilayah Bali yang akan dilakukan harus dibicarakan dengan seluruh Desa adat yang ada di Bali, dan tentunya tidak melanggar falsafah Desa Kala Patra, disamping untuk tetap ajegnya wilayah desa adat yang indipenden, sebagai dasar keberadaan desa adat.
5. Wacana penyepian yang diwacanakan tersebut, sejatinya adalah upaya isolasi. Terkait dengan itu, seyogyanya semua mengacu kepada keputusan pemerintah yang sudah ada. Sehingga pelaksanaannya pun harus mengkaitkan pemerintah. Karena disana ada hak dan kewajiban pemerintah yang harus dipenuhi, sehingga hak dan kewajiban masyarakat terlindungi.
Jangan sampai ada upaya untuk keluar dari aturan pemerintah dengan memakai tameng ritual penyepian atau ritual keagamaan yang mengada ada. Apalagi dilakukan ritual agama ini kental dengan aroma politik, yaitu melakukan tindakan yang meniadakan tanggung jawab pemerintah, dimana pemerintah daerah bisa cuci tangan terhadap kewajibannya, dimana ini akan justru
membuat penderitaan masyarakat.
Om Shanti. Shanti, Shanti Om
Pengurus Pusat Swastika Bali
Ketua Umum
Drs Wayan Bagiartha Negara, MM.
Reporter: bbn/opn