Akun
guest@beritabali.com
Beritabali ID: —
Langganan

Beritabali Premium Aktif
Nikmati akses penuh ke semua artikel dengan Beritabali Premium
New (Bali Era Baru) Normal?
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Bali kembali mengajukan “kearifan lokal” untuk merespon kebijakan new normal dari pemerintah pusat. Gubernur Koster menyatakan bahwa diperlukan pemetaan terlebih dahulu terhadap penyebaran Covid-19 di seluruh wilayah Bali. Lebih dari itu, Gubernur Koster mengadaptasi himbauan new normal dengan visi kepemimpinannya.
[pilihan-redaksi]
“Kami di Bali menggunakan judul sesuai visi Nangun Sat Kertih Loka Bali. Di dalamnya mengandung aspek New Normal. Lebih luas jangkauannya dari tatanan kehidupan yang akan dijalani ke depan. Karena itu kami belum memberikan kepastian kapan akan dibuka. Kami masih memetakan dulu,” ungkapnya.
New normal ala Bali diberinya nama tata kehidupan Bali Era Baru. Pelaksanaannya dilaksanakan secara bertahap, terbatas, dan selektif. Bahkan penerapannya harus berdasarkan keputusan bersama para bupati dan walikota di Bali (Bali Express, 29 Mei 2020).
Penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintah provinsi Bali dibagi dalam tiga level. Level pertama adalah di tingkat provinsi dengan mengeluarkan kebijakan berupa surat edaran, imbauan dan instruksi mendetailkan arahan dari Presiden. Level kedua pada tingkat kabupaten untuk mengkoordinasi pelaksanaan penanganan operasional Covid-19 di wilayah kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali.
Terakhir di level ketiga adalah menerapkan kebijakan di wilayah desa adat dengan membentuk satgas gotong royong yang melibatkan unsur-unsur desa dinas, kelurahan, babinsa, dan babinkamtibmas serta berbagai elemen yang ada di masyarakat.
New Normal Desa Adat?
Jauh sebelum pandemi ini, desa adat di Bali telah mengalami suasana “Bali Era Baru”. Lahirnya Perda No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali menjadi momentum penting penetrasi kekuasaan supra-desa terhadap desa adat. Terlebih kemudian terbentuk Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (DPMA) di tingkat provinsi. Seluruh bendesa (ketua) desa adat di Bali juga bergabung dalam organisasi bernama Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali yang bersama dengan DPMA mengelola dana bantuan pemerintah terhadap seluruh desa adat di Bali senilai Rp. 300 juta. Lahirnya kebijakan Perda Desa Adat di Bali tersebut menjadi alat kontrol negara terhadap desa adat.
Usaha kooptasi (pencengkraman) yang dilakukan oleh kekuasaan supra-desa adalah sejarah panjang pergulatan desa adat yang tak ada hentinya di Bali. Studi kolonial terhadap desa adat mengkonstruksi gambaran bahwa desa-desa Bali yang eksotik dan otonom. Imajinasi kuasa kolonial mengkonstruksi desa agar kemudian memiliki otoritas untuk mengaturnya. F.A. Liefrinck (1927), seorang pejabat administrasi kolonial Belanda yang tinggal di Buleleng Bali, meneliti desa-desa tua di Bali utara pada tahun 1886-1887 menggambarkan kondisi desa-desa di Bali yang eksotik dan tanpa pengaruh dari dunia global.
Perspektif orientalis dan eksotik ini mengungkapkan bahwa desa di Bali yang sesungguhnya adalah sebuah republik kecil yang memiliki hukum, atau aturan adatnya sendiri. Susunan pemerintahan lebih bersifat demokratis, dimana setiap anggota memiliki hak-hak hukum yang sama. Orang yang ditunjuk menjadi pemimpin adalah orang yang paling lama menjadi anggota (tetua). Dalam konsepnya, desa di Bali digambarkan sebagai sebuah wilayah dengan suatu pemerintahan yang merdeka dari kekuasaan luar (Leifrinck, 1927; Parimartha, 2013: 61).
Konstruksi pengetahuan kolonial yang menyebutkan desa sebagai wilayah yang otonom dilanjutkan oleh V.E. Korn (1932). Ia menyebutkan bahwa desa-desa di Bali sebagai republik desa (Dorpsrepubliek) yang otonom, demokratis, dan tertutup. Hal ini ia ungkapkan setelah melakukan penelitian di Desa Tenganan, Karangasem. Imajinasi tentang republik desa yang “merdeka” dan otonom dibentuk birokrasi kolonial. Hal ini dilakukan melalui serangkaian akumulasi pengetahuan yang diciptakan oleh para birokrat maupun etnolog kolonial. Parimartha (2013: 62) mencermati bahwa sasaran politik kebudayaan kolonial yang dilakukan oleh Liefrinck adalah usaha untuk meniadakan peranan dan otoritas para bangsawan kerajaan terhadap desa-desa di Bali.
Politik kebudayaan kolonial yang ingin dilakukan oleh Liefrinck dan Korn adalah ingin membiarkan Bali tidak tersentuh. Hal ini artinya menjadikan desa sebagai wilayah yang tidak mudah dipengaruhi oleh budaya luar. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda pada saat itu terkenal dengan nama Baliseering atau “Balinisasi Bali”. Inti dari kebijakan Baliseering adalah membuarkan dan bahkan melindungi orang Bali untuk meneruskan pola hidupnya sendiri yang dinilai “indah dan bebas” dari gangguan dari luar. Orang Bali dengan kehidupannya yang unik itu dipandang sebagai “museum hidup” dunia yang mesti dilindungi dan dipertahankan keberadaannya.
Sistem tradisi yang ada pada desa inilah yang akan dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk kepentingan administrasi pemerintahannya. Pemerintah colonial Belanda membangun jaringan birokrasi pada tingkat yang paling bawah. Mereka mengembangkan administrasi colonial ini sebagai desa dinas (dienst) yang tidak mengganggu keberadaan desa adat yang sudah ada sejak zaman pra-kolonial. Desa dinas berkaitan dengan kekuasaan politik administrasi dan birokrasi pemeirntah kolonial Belanda, sedangkan desa adat berkaitan dengan pemerintahan masyarakat adat, yang pengelolaannya tetap otonom mengikuti gagasan colonial Baliseering (Nordholt, 1991; 1994; Robinson, 1995; Gunawan, 2014: 119-122).
Konstruksi pengetahuan pemerintah kolonial Belanda tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari keinginannya “melestarikan” desa di Bali dari pengaruh bangsawan kerajaan dan juga dari pengaruh perkembangan agama Islam. Ini sejalan dengan ideologi Baliseering yang dicanangkan. Pengaruh-pengaruh supra-desa selalu berkontribusi pada perkembangan desa. Pemerintah Belanda berusaha untuk membentengi desa adat dari pengaruh luar, namun pada sisi yang lain melakukan introduksi yang berpengaruh besar terhadap perkembangan desa adat di Bali pada masa mendatang.
Jika merujuk kepada studi yang dilakukan Scott (2009), desa-desa di wilayah Asia Tenggara sejatinya tidak pernah sepi dari penetrasi pengaruh kekuatan pemerintahan supra-desa atau negara. Apakah pengaruhnya itu dalam bentuk kekuatan pemerintahan kerajaan, pemerintahan colonial, ataupun pemerintahan nasional. Desa-desa, khususnya di wilayah pegunungan Asia Tenggara sudah sejak lama menjalankan strategi bertahan agar tetap otonom dari pengaruh supra-desa, terutama dari berbagai pengaruh kekuasaan negara.
Kesiapan Bali Era Baru tidak bisa dilepaskan dari siasat negara untuk mengakomodasi berbagai macam kepentingan yang mengintarinya. Salah dua kepentingan tersebut yang dilematis adalah mengakomodasi kelompok investasi pariwisata pada satu sisi, dan pada sisi lainnya adalah menampilkan eksistensi adat dan kearifan lokal Bali. Negosiasi diantara kedua kepentingan itulah yang kini ditampilkan oleh pemerintah Bali.
Negara, dengan demikian, bukanlah aktor tunggal yang bisa dengan semaunya menentukan berbagai kebijakan pada masa pandemi ini. Negara “tersandera” dengan begitu banyaknya kelompok kekuasaan lainnya yang, mencoba dengan berbagai cara, mempengaruhi kebijakan yang (akan) diambil oleh Negara. Merujuk Choiruzzad (2020) dalam esainya ‘Memahami Ekonomi Politik Penanganan Covid-19” yang mengungkapkan bahwa negara dalam menjaga kekuasaanya, mendistribusikan kekuasaan dan sumber daya kepada berbagai kekuatan ekonomi dan sosial. Namun, tarik-menarik antara kepentingan Negara dan kelompok ekonomi dan sosial ini tidak pernah selesai. Mereka selalu berusaha bagaimana agar kekuasaan dan sumber daya itu menguntungkan kelompoknya sendiri dibandingkan kelompok yang lain.
Kita menyaksikan kelas menengah urban yang bergantung pada Negara bisa bekerja dari rumah, namun kita juga tidak bisa menampik banyak warga negara yang bekerja dan mengandalkan penghasilan harian. Itu artinya mereka terpaksa harus bekerja untuk bisa tetap menyambung hidup. Dengan akses pada sumber daya ekonomi politik, kelompok kelas menengah ini permasalahannya paling tidak bisa teratasi. Penghasilan masih terus berjalan dan kelangsungan hidup masih terus terjaga. Lalu bagaimana dengan kelompok kelas bawah yang masih harus berjuang untuk makan hari esok? Secara terang-benderang kita menyaksikan bagaimana para pekerja informal yang masih terus berjuang melanjutkan hidup di masa pandemi ini.
Pada level policy (kebijakan) di masa pandemi ini, para penguasa merumuskan kebijakan dipandu oleh rezim para ahli kepengaturan (distribusi kuasa dan sumber daya) daripada suluh ahli kesehatan masyarakat. Menjadi sangat penting untuk berkalkulasi secara rasional dengan pilihan-pilihan yang tersedia. Merujuk pada studi penting yang dilakukan Gaddes (1993), ketika seorang terpilih di puncak kekuasaan eksekutif, ada paling tidak tiga hal yang akan ia lakukan yaitu: pertama, memastikan bahwa ia akan bertahan setidaknya dalam periode kepemimpinannya, kedua, menciptakan mesin politik yang loyal dan akan mendukungnya, dan ketiga, menciptakan pemerintahan yang efeketif. Pemerintahan yang efektif berarti pemerintahan yang mampu melakukan fungsi pelayanan pada masyarakat, regulasi dan fungsi control. \
Menafsirkan kebijakan pemerintah Bali dalam penanganan pandemi, kita sebenarnya sedang melihat bagaimana kekuatan ekonomi politik dan sosial budaya saling bersiasat, bernegosiasi untuk bersepakat pembagian kekuasaan dan akses pada sumber daya. Pada sisi lainnya, berbagai kebijakan pada masa pandemi ini semakin menggamblangkan struktur ekonomi politik yang timpang di daerah seribu pura dan sejuta investor ini.
I Ngurah Suryawan
Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Warmadewa
Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC)
Reporter: bbn/opn
Berita Terpopuler
Bajang Karangasem Tewas Tertabrak Truk di Depan Depo Pertamina Antiga
Dibaca: 3057 Kali
ABOUT BALI

Film Dokumenter Hidupkan Kembali Sejarah Tari Kecak di Bedulu

Makna Tumpek Landep Menurut Lontar Sundarigama

Tari Sanghyang Dedari Nusa Penida Diajukan Jadi Warisan Budaya Tak Benda

Mengenal Tetebasan Gering, Topik Menarik di Festival Lontar Karangasem
